Mohon tunggu...
Devi Puspita
Devi Puspita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Bisa bila ditekuni

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hati-hati Belanja Online!

29 Maret 2021   17:35 Diperbarui: 29 Maret 2021   17:38 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin Anda sudah tidak asing dengan meme di atas, atau bahkan pernah menjadi korban? 

Meme tersebut dapat kita golongkan sebagai salah satu contoh dari culture jamming. 

Sebelum membahas lebih jauh tentang culture jamming, lebih baik kita mengenali asal-usulnya yang sangat erat dengan konsep postmodernisme.

Apa itu Postmodernisme?

Berdasarkan pada Storey (2015), istilah postmodernisme muncul sebagai reaksi penolakan terhadap perbedaan budaya tinggi atau yang kita tahu sebagai modernisme. Salah satu pemikiran pada postmodernisme yang dipaparkan oleh Ilham (2018) adalah materialisme. Pemikiran ini memperjelas gambaran bahwa ada budaya yang melekat pada masyarakat dunia yaitu budaya konsumerisme. 

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa budaya yang terbentuk ini tidak lepas dari tindakan para kapitalis dengan tujuan kepentingan ekonomi tentunya. Lalu, bagaimana peran para kapitalis dalam membentuk budaya konsumerisme ini?

Budaya konsumerisme semakin terlihat jelas dengan adanya platform digital yang mempermudah masyarakat dalam melakukan aksi konsumtif. Platform digital ini kemudian dibuat oleh siapa? dan apa tujuannya? Jawabannya dapat kemudian juga menjawab bagaimana peran para kapitalis.

Sederhananya, para kapitalis mempunyai kekuatan untuk membentuk sebuah platform digital misalnya Shopee yang kemudian menggiring masyarakat untuk melakukan pembelian atas produk yang ditawarkan dan berujung pada keuntungan para kapitalis itu sendiri. 

Nah, kemudian peristiwa ini memunculkan culture jamming. 

Mengenal Culture Jamming

Culture jamming muncul pada tahun 1980-an dan 1990-an sebagai bentuk baru dari politik representasi postmodern. Culture jamming merupakan usaha perlawanan atas budaya konsumerisme. 

Culture jamming berusaha untuk menumbangkan praktik semiotika media khususnya periklanan dengan mengubah pesan menjadi anti-pesan. 

Usaha yang dilakukan oleh para jammers (sebutan bagi orang yang melakukan culture jam)  adalah dengan melakukan rekonstruksi visualisasi logo, membuat pernyataan ataupun produk untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait konsumsi, dan praktik sosial yang tidak adil (Baker & Jane, 2016).

Dalam praktiknya, Jammers seringkali mengadopsi salah satu pesan konsumerisme kemudian dikemas menjadi pesan baru yang mengkritik pesan sebelumnya. Lantas, bagaimana keterkaitan culture jamming dan meme di atas? 

Culture Jamming pada Meme

Kembali lagi ke kehadiran platform digital. Jammers juga memanfaatkan platform digital untuk menciptakan pesan kritik terhadap budaya konsumerisme dan kaum kapitalis. Salah satu contohnya adalah meme.

Jammers mempercayai bahwa meme dapat menjadi pembelajaran kritis publik meski masih berada dalam ranah dunia maya (digital). Mungkin sering Anda temui, meme merupakan praktik penyampaian pesan melalui gambar yang disertai tulisan yang dibuat secara kreatif dan terkadang nyeleneh untuk mengekspresikan perasaan dan tujuan pembuatannya melalui media digital.

Meme tersebut dapat kita kategorikan sebagai produk dari praktik para Jammers. Hal ini dilihat dari pengolahan pesan yang dilakukan, bertujuan untuk mengkritik para penjual (re: kaum kapitalis) pada e-commerce (dalam hal ini yaitu Shopee yang identik dengan promo gratis ongkos kirim) yang terlihat menjualkan koper mainan, namun dengan pengambilan foto seperti layaknya koper asli (sebelah kiri).

Koper seharusnya merupakan barang yang dapat digunakan untuk berpergian, mengisi barang bawaan, sedangkan ternyata yang dijual adalah koper mainan yang tidak sesuai dengan penggunaan koper seharusnya. Hal ini juga tidak disampaikan pada deskripsi produk. Sehingga menimbulkan salah kaprah pada pembeli. 

Kemudian Jammers menggabungkan foto produk (gambar kiri) dengan testimoni pembeli (gambar kanan) dan kemudian secara langsung ataupun tidak membentuk pesan "Hati-hati kalau belanja online. Jangan karena harga murah, lalu seenaknya melakukan pembelian tanpa mengetahui detil dari produk tersebut"

Kritik yang secara tidak langsung juga disampaikan oleh Jammers melalui meme kepada masyarakat yang erat dengan budaya konsumerisme. Dimana, terkadang masyarakat sangat mudah terkecoh oleh pesan-pesan iklan dan melakukan pembelian-pembelian secara tergesa-gesa tanpa memeriksa detil produk.

Secara teoritis, melalui meme ini, Jammers menumbangkan praktik semiotika yang diproduksi oleh para penjual dengan mengambil salah satu produk yang ditawarkan pada iklan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait perilaku konsumtif.

Semoga bermanfaat !

Daftar Pustaka 

Baker, C. & Jane, E. A. (2016). Cultural studies: Theory and practice (5th ed). London: SAGE Publications.

Ilham, I. (2018). Paradigma postmodernisme: Solusi untuk kehidupan sosial?. Jurnal Sosiologi USK, 12(1): 1 - 23. 

Storey, J. (2015). Cultural theory and popular culture: An introduction (7th ed.). Oxon, UK: Routledge.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun