Mohon tunggu...
Devina Vanesa Oktaviani
Devina Vanesa Oktaviani Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mereka yang Terjerat "Pasal Karet" UU ITE

2 Januari 2021   17:25 Diperbarui: 2 Januari 2021   17:40 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hidup di era modern membuat teknologi informasi menjadi salah satu aspek yang tidak dapat dipisahkan dari manusia. Tidak sedikit orang yang tidak bisa lepas dari ponselnya. Hal ini disebabkan ponsel dipakai dalam kegiatan mereka sehari-hari dan ini membuktikan bahwa manusia sudah bergantung pada teknologi informasi.

Menurut Martin (1999), teknologi informasi adalah teknologi yang tidak hanya pada teknologi komputer (perangkat keras dan perangkat lunak) yang akan digunakan untuk memproses dan menyimpan informasi, melainkan mencakup teknologi komunikasi untuk mengirim atau menyebarluaskan informasi. Informasi-informasi ini kemudian menjadi awal untuk menciptakan teknologi-teknologi baru yang lebih baik dari generasi sebelumnya dan membantu hidup manusia menjadi lebih cepat, praktis, dan efisien sehingga selalu berkembang.

Semakin besar teknologi informasi berpengaruh di kehidupan manusia maka semakin besar pula risiko untuk disalahgunakan untuk hal buruk. Dalam implementasinya, di kehidupan masyarakat banyak hal buruk yang dapat terjadi lewat teknologi informasi ini. Contohnya adalah kasus pencemaran nama baik, penyebaran konten pornografi, penyebaran hoax atau peretasan. Oleh karena itu, pemerintah merasa teknologi informasi perlu diatur dalam hukum agar mengurangi risiko tersebut. 

Saat ini, Indonesia sudah mempunyai instrumen hukum yang mengatur teknologi informasi yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas  UU No. 11 Tahun 2008.

Berdasarkan UU ITE, Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Electronic Data Interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. UU ITE  mengartikan transaksi elektronik sebagai perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.

UU ITE juga dibuat dengan tujuan dapat menjamin kepastian hukum terhadap infromasi dan transaksi elektronik. Tetapi realitanya, sejak disahkan tidak sedikit kasus-kasus yang disebabkan oleh UU ITE. UU ITE menjadi perbincangan di masyarakat karena pasal-pasal UU ITE yang dinilai mudah disalahgunakan untuk membungkam suara-suara kritis atau berbeda pendapat dari negara.

Beberapa pasal yang dipermasalahkan adalah Pasal 27 ayat 1, Pasal 27 ayat 3, dan Pasal 28 ayat 2. Pasal-pasal ini disebut dengan “pasal karet” di masyarakat. Bukan tanpa alasan sebutan ini dibuat tetapi karena pasal-pasal tersebut penerapannya mudah disalahgunakan sehingga dapat menjadi senjata untuk menyerang seseorang.

Kasus “pasal karet” UU ITE yang pertama disorot di Indonesia adalah kasus Prita Mulyasari pada tahun 2008 yaitu seorang Ibu dua anak yang dijerat pidana karena mengirimkan kritik lewat surat elektronik kepada sebuah Rumah Sakit tentang ketidakpuasan pelayanannya. Rumah Sakit tersebut merasa dicemarkan nama baiknya, sehingga ia melaporkan Prita Mulyasari ke Pengadilan Negeri Tangerang dan Prita divonis 6 bulan penjara dan dikenai denda sebesar Rp. 240.000.000. Ia kemudian dibebaskan oleh MA dengan pengabulan permohonan Peninjauan Kembali (PK)

Kasus selanjutnya yaitu menimpa Baiq Nuril seorang guru honorer di salah satu sekolah di Mataram. Kasus ini diawali dengan percakapan Baiq Nuril dan orang yang menjabat sebagai Kepala Sekolah di tempat Baiq Nuril bekerja. Percakapan tersebut  berisi Kepala Sekolah yang menceritakan perselingkuhannya dan dia mengatakan hal yang tidak pantas kepada Baiq sehingga Baiq Nuril merasa dilecehkan dan Baiq Nuril pun merekam percakapan tersebut sebagai bukti. Baiq Nuril menceritakan hal tersebut kepada salah satu rekannya dan setelah itu rekannya melaporkan hal tersebut. Mengetahui hal ini Baiq kemudian dilaporkan ke pengadilan dan dijerat Pasal 27 ayat 1 UU ITE karena dianggap mentransmisikan informasi elektronik yang muatannya dinilai melanggar kesusilaan.

Kasus UU ITE juga datang dari Garuda Indonesia. Kasus tersebut bermula ketika penumpang bernama Rius Vernandes yang menggunggah foto menu makanan kelas bisnis di story akun Instagram pribadinya. Merasa dicemarkan nama baiknya, Garuda Indonesia melaporkan Rius ke polisi.

Berdasarkan kasus-kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa UU ITE mempunyai kekurangan yang harus ditinjau kembali agar penerapannya sesuai dengan tujuannya dan tidak disalahgunakan menjadi hal yang negatif sehingga tidak ada korban selanjutnya yang terjerat “pasal karet” UU ITE. Selain itu, masyarakat juga dalam mengemukakan kritik dan  menggunakan media teknologi informasi harus berhati-hati agar tidak merugikan pihak lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun