Kasus yang diangkat pada analisis penulis merupakan kasus kriminal berupa penganiayaan dan pengrusakan barang oleh seorang pria AR (40), warga Dukuh Karanglegi, Desa Tangkil, Sragen, disebabkan pelaku merasa cemburu kepada kekasihnya, MY (43) warga Sidoharjo, Sragen yang kemudian menganiaya serta membakar sepeda motor korban. Kasus ini akhirnya diselesaikan oleh pihak ketiga yakni pihak kepolisian dan pelaku dijerat hukum sesuai dengan pasal yang berlaku (Duhri, 2020). Judul artikel berita ini “Cemburu, Pria Sragen Tega Aniaya Pacar dan Bakar Sepeda Motor” diunggah pada 3 Desember 2020 pukul 12.04 WIB dalam laman berita online Solopos.com.
Ting Toomey (dalam Baldwin, dkk, 2014. h. 281) menjelaskan konflik merupakan suatu persepsi seseorang yang memiliki ketidakcocokan akan suatu harapan, proses, atau hasil sebenarnya antar pihak yang berkonflik. Maka, konflik timbul akibat adanya ketidakcocokan yang dirasakan atau tujuan yang diharapkan tidak searah. Konflik juga dapat terjadi ketika pihak yang berkaitan memproses masalah mereka dengan melibatkan ego masing-masing dimana salah satu ego dari pihak yang berkonflik mendominasi.
Berdasarkan konflik yang terjadi pada kasus kriminal di atas, pelaku memiliki suatu persepsi ketidakcocokan akan harapannya dan perbedaan tujuan terhadap kekasihnya tidak searah. Dimana seharusnya sang kekasih memiliki komitmen dengan pelaku karena adanya hubungan percintaan yang terjalin, namun korban dan pelaku ternyata tidak memiliki tujuan yang searah. Pelaku merasa terkhianati oleh kekasihnya sehingga terbakar oleh api cemburu akibat dari ketidaksesuaian harapannya dan tujuan yang diharapkan dalam hubungan ini tidak searah.
Karena adanya perbedaan harapan dan ketidakcocokan disertai dengan ketidakseimbangan ego antar pelaku dengan korban, maka terjadi pergesekan dan timbul konflik. Maka konflik ini terjadi pada tahap felt conflict dimana Pondy (dalam Baldwin, dkk., 2014, h. 281) mengatakan bahwa konflik bisa terjadi ketika dua atau lebih pihak mempersonalisasikan konflik mereka dan melibatkan ego masing-masing dalam menilai motif individu. Dibuktikan dengan adanya ego dari pelaku yang mendominasi korban dan berusaha untuk menilai motif korban dari apa yang pelaku pikirkan mengenai hal yang sudah dilakukan oleh korban.
Dan pada tahap manifest conflict, Pondy (dalam Baldwin, dkk., 2014, h. 218) mengatakan bahwa konflik yang terjadi ditandai dengan tindakan fisik, ekspresi verbal, dan perilaku yang tidak manusiawi, seperti sabotase dan penganiayaan. Dimana penyebab konflik terletak pada pikiran pelaku. Dalam dalam kasus ini pelaku menganiaya korban dengan cara memukul bagian pelipis dan belakang kepala hingga pengrusakan barang milik korban karena ego pelaku yang mendominasi.
Bisa dikatakan bahwa penyebab dari konflik dalam kasus ini adalah pelaku terbakar api cemburu dan berada di bawah pengaruh minuman keras, sehingga emosi, pikiran, dan egonya tidak terkendali dan melakukan tindakan kejam itu. Disini, faktor kebudayaan sebagai penyebab suatu konflik tidak terjadi dalam kasus ini.
Walaupun faktor kebudayaan memang menjadi salah satu penyebab munculnya konflik, namun tidak selamanya sebuah konflik hadir akibat dari adanya faktor kebudayaan. Konflik bisa terjadi karena faktor lain, termasuk perbedaan atau ketidakcocokan harapan dengan realitas dan ketidakseimbangan ego pada setiap individu.
Tahap terakhir pada konflik yaitu conflict aftermath yang dimana menurut Pondy (dalam Baldwin, dkk. 2014, h. 281) membahas mengenai hasil dari suatu konflik, apakah hasil dari konflik ini produktif atau tidak. Ternyata hasil hari konflik pada kasus ini tidak produktif dikarenakan konflik ini sudah menjadi kasus kriminal berupa tindakan penganiayaan dan pengrusakan barang. Hasil konflik dikatakan produktif apabila konflik yang muncul tidak terdapat korban yang terluka secara fisik maupun mental.
Terkait dengan bagaimana individu dalam menyeimbangkan antara tujuan yang tidak cocok dengan harapan di sebuah hubungan dalam menangani sebuah konflik, ada beberapa manajemen konflik yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan konflik. Pada kasus ini, konflik diselesaikan dengan salah satu pihak menyerahkan kepada pihak perantara yakni pihak kepolisian setempat sebagai arbitrator dimana menurut Baldwin (2014, h. 284) arbitrator bersifat netral, objektif, dan pihak ketiga yang dapat menyelesaikan konflik berdasarkan fakta yang sebenarnya. Dan berbeda dengan mediator, dimana arbitrator dapat menjatuhkan keputusan yang mengikat para pihak yang berkonflik.
Dalam kasus ini, pihak kepolisian menjatuhkan hukuman penjara kepada pelaku sebagai keputusan pihak kepolisian yang bersifat mengikat dan akan memberi efek jera kepada pelaku. Pengelolaan konflik ini menggunakan cara akomodasi dimana menurut Rahim & Ting Toomey dalam Baldwin, dkk. (2014, h. 281-282) salah satu pihak menyerahkan tuntutan kepada pihak lain. Korban pun melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian keesokan harinya dan polisi pun segera menyelesaikan kasus ini sebagai pihak lain yang menyelesaikan pertikaian dengan cara menghukum pelaku dengan pasal yang berlaku. Korban menyerahkan tuntutan kepada pihak kepolisian untuk diselesaikan secara adil.
Konflik yang terjadi pasti akan menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif dari konflik memang ada walaupun dalam kasus kriminal sekalipun. Menurut Saefulrahman & Suwaryo (2016, h. 35) dampak positif pada konflik dapat dijadikan kebijakan untuk mencegah dan menyelesaikannya guna untuk meminimalisir kerugian yang ditimbulkan. Hal ini menjadi dampak bagi korban setelah melalui konflik ini dengan pelaku dimana korban menjadikan ini sebagai pembelajaran untuk kedepannya agar lebih baik lagi dalam memilih pasangan dan bisa menjaga perasaan pasangannya. Karena dalam sebuah hubungan percintaan, salah satu faktor munculnya konflik adalah rasa cemburu.
Penulis belajar dari kasus ini mengenai rasa kepercayaan dan komunikasi dalam suatu hubungan, karena walaupun komunikasi bukanlah “obat” untuk segala konflik, namun ketika suatu konflik disebabkan kurangnya komunikasi, maka komunikasi bisa menjadi solusi yang tepat dan diimbangi dengan rasa kepercayaan satu sama lain. Memiliki hubungan dengan orang lain pasti akan memiliki konflik, tergantung setiap individu bagaimana mereka mengelola konflik yang ada.
Mengelola konflik tidak selamanya menggunakan cara kekerasan, bisa dengan cara yang lebih halus yaitu dengan mengkomunikasikannya terlebih dahulu. Dalam kasus ini, pasti terdapat kurangnya komunikasi di antara kedua pihak, alhasil menimbulkan konflik hingga kasus penganiayaan dan pengrusakan barang. Tak lepas pula dengan dampak negatif yang ada. Dampaknya akan menimbulkan emosi dan stress negatif, berkurangnya komunikasi, menimbulkan sikap otoritatif, menimbulkan prasangka buruk, dan tekanan pada korban (Normalia, 2016, h. 24). Hubungan yang semula adem bisa menjadi berantakan hanya karena salah paham, emosi, pikiran, dan ego yang tidak terkendali.
Daftar Pustaka:
Baldwin, J. R., Coleman, R. R. M., Gonzales, A., & Shenoy-Packer, S. (2014). Intercultural Communication for Everyday Life. West Sussex : John Wiley & Sons.
Duhri, M. K. (2020, 3 Desember). Cemburu, Pria Sragen Tega Aniaya Pacar dan Bakar Sepeda Motor. Solopos.com.
Normalia, P. (2016). Pengaruh Sosial Masyarakat Pasca Konflik terhadap Psikologis Remaja. (Skripsi, Universitas Lampung, 2016).
Saefurahman, I. & Suwaryo, U. (2016). Transformasi Otonomi Desa : Pudarnya Kekuasaan Formal Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintah pada Masa Orde Baru (Kasus Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya). Jurnal Ilmiah Wahana Bhakti Praja, 6(2), 35.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H