1. Mempelajari bahasa asing!
Di dunia ini terdapat banyak bahasa, dari bahasa nasional sampai internasional. Namun, ketika kita berada di luar negeri, tidak mungkin kita menggunakan bahasa nasional kita kepada warga setempat, itu berarti kita harus berbicara bahasa internasional, seperti Bahasa Inggris, dimana hampir seluruh warga dunia mengerti dan menguasai bahasa internasional ini.
Apalagi ketika kita ingin berlibur ke luar negeri, kita harus bisa menguasai setidaknya satu bahasa internasional. Mempelajari bahasa asing, tidak hanya membuat kita menjadi pintar, tapi kita juga memiliki relasi atau hubungan secara internasional. Kita sudah masuk era globalisasi, dimana kebudayaan luar sudah masuk di Indonesia, maka pasti akan banyak terdapat hubungan skala internasional, seperti di dunia perekonomian, bisnis, dan hubungan lainnya.
Menurut Samovar, dkk (2017, h. 266) mengatakan bahwa, bahasa dan budaya merupakan komponen yang berkolaborasi dalam menciptakan sebuah komunikasi antar budaya dan bahasa juga dapat memungkinkan terjadinya penyebaran dan adopsi budaya. Mengapa? Karena bahasa merupakan sebuah instrumen sosial atau sarana komunikasi.
Singkatnya, bahasa disebut sebagai alat utama yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi mengenai ide, pikiran, dan perasaan kepada orang lain, begitu pula dengan bahasa asing atau internasional. Namun memang, permasalahan utama kita adalah perbedaan bahasa yang ada di dunia ini, dengan beribu-ribu bahasa yang ada, apalagi dilengkapi dengan variasi seperti aksen, dialok, slang, dan lainnya.
Maka kita perlu mempersepsikan bahwa perbedaan bahasa ini bukanlah suatu penghalang untuk kita berkomunikasi dengan dunia luar, mempelajari bahasa asing juga tidak membuat kita merasa rugi akan sesuatu, justru mendapatkan banyak manfaat, salah satunya hubungan atau relasi yang semakin bertambah.
2. Memahami budaya asing
Berbeda tempat, berbeda pula budaya yang dianut dan yang dipercaya. Apalagi ketika kita sudah berada di luar Indonesia, budaya yang ada pastinya sangat berbeda. Maka dari itu kita perlu memahami budaya asing atau budaya apa yang ada di negara yang ingin kita kunjungi. Budaya menjadi suatu hal yang sakral bagi sebuah negara tertentu, maka dari itu ketika kita tidak memahami budaya, bisa saja ada dampak negatif yang akan kita dapatkan.
Misalnya budaya Indonesia dengan budaya Amerika, pastinya sudah sangat berbeda. Indonesia memiliki konteks budaya tinggi dibanding Amerika yang memiliki konteks budaya rendah. Indonesia lebih menekankan kepada hubungan sosial dan keharmonisan suatu relasi maka dari itu ketika orang Indonesia berkomunikasi, banyak kata basa-basi yang “melengkapi” proses komunikasi yang ada. Sedangkan Amerika, tidak terlalu mementingkan hubungan sosial dan relasi yang harmonis, mengingat juga bahwa masyarakat Amerika memiliki budaya individualisme, sedangkan Indonesia memiliki budaya kolektivisme.
Maka orang Amerika pun akan berbicara jika perlu dan langsung menuju ke makna yang dimaksud dalam percakapan mereka, serta untuk menghindari ambiugitas dan ketidakjelasan, dan juga orang Amerika sangat tertutup, melindungi ego sendiri, dan cenderung formal ketika berkomuikasi dengan orang lain.
Ketika kita tidak memahami konteks budaya ini, maka bisa saja kita akan mendapat sanksi sosial dari masyarakat setempat karena dinilai tidak menghargai budaya dan membuang waktu mereka. Maka penting untuk kita dapat mempelajari dan memahami budaya asing tanpa meninggalkan budaya lokal atau nasional. Hal ini juga berhubungan dengan budaya waktu yang pastinya berbeda dengan Indonesia, dimana budaya waktu terdapat dua macam, yaitu monokronik dan polikronik (Baldwin, dkk. 2014, h. 169-170).
Dalam monokronik, orang akan menjadwalkan janji untuk bertemu sebelumnya, mencoba untuk tepat waktu ke rapat, ringkas dalam membuat presentasi, dan memiliki kecenderungan yang kuat untuk mengikuti rencana awal, seperti negara di Amerika. Sedangkan dalam polikronik, waktu dianggap kurang nyata, dan orang biasanya tidak terburu-buru untuk menyelesaikan tugas. Biasanya negara dengan budaya polikronik merupakan orang yang multitasking, dimana seorang individu bisa melakukan beberapa kegiatan di dalam satu waktu, seperti negara-negara di Asia Tenggara, salah satunya Indonesia.
3. Mengetahui dengan siapa kita berbicara
Perhatikan komunikasi non verbal, seperti gesture, sentuhan, kontak mata, postur, ekspresi, dan lainnya (Samovar, 2017, h. 302-322), serta perhatikan komunikasi verbal, seperti intonasi, dan lainnya. Komunikasi verbal merupakan proses komunikasi yang menggunakan kata-kata dan lisan dalam penyampainnya, sedangkan komunikasi non-verbal merupakan proses komunikasi tanpa menggunakan kata-kata melainkan dengan gesture, mimik wajah, ekspresi, dan gerakan lainnya. Mengapa dua hal ini sangat penting? Komunikasi verbal dan komunikasi non verbal ini sangat melengkapi satu dengan yang lain.
Komunikasi non verbal berfungsi untuk lebih mempertegas komunikasi verbal, misalnya ketika ada orang yang ingin menanyakan arah jalan atau suatu tempat, komunikasi non verbal kita akan lebih menjelaskan kalimat yang kita lontarkan dengan menunjukkan arah yang kita maksud dengan tangan kita, maka objek komunikasi kita akan semakin jelas dalam mentafsirkan makna yang kita sampaikan dalam komunikasi. Begitu pula dengan kita berkomunikasi dengan masyarakat luar negeri.
Biasanya kita akan terbata-bata dalam berkomunikasi dengan bahasa kedua kita, maka dari itu kita menggunakan komunikasi non verbal agar memperjelas apa yang kita ucapkan kepada orang tersebut. Dengan begitu juga akan lebih menghargai terhadap siapa yang sedang berkomunikasi dengan kita (orang yang lebih tua, orang yang lebih memiliki kekuasaan atau kekuatan).
4. Pahami faux pas!
Faux pas merupakan Bahasa Inggris yang berarti kesalahan dalam berbicara atau Tindakan atau melanggar tatacara (komunikasi). Menurut Baldwin, dkk (2014, h. 161) mengatakan bahwa faux pas merupakan kesalahan langkah yang berarti dimana kita melanggar etika atau norma kebudayaan, kebudayaan sendiri maupun antar budaya. Disini berhubungan dengan norma yang ada dalam sebuah wilayah dan di setiap wilayah memiliki norma yang berbeda-beda satu sama yang lain. Singkatnya faux pas ini berhubungan dengan norma atau etika yang berlaku di suatu tempat.
Kita harus mengetahui norma dan etika apa yang ada di wilayah tersebut, seperti misalnya di Indonesia, kita seringkali menggunakan V sign untuk berkomunikasi secara non verbal yang memiliki makna angka 2 (dua) atau huruf V. Namun ternyata di negara lain, seperti Australia, V sign bisa bermakna negatif dimana memiliki makna menentang kekuasaan. Maka jangan sembarangan untuk kita menggunakan simbol-simbol tertentu agar kita tidak melanggar faux pas, apalagi bisa saja diproses melalui jalur hukum hanya karena kesalahpahaman akan suatu simbol. Maka mempelajari simbol-simbol atau tanda-tanda yang menggunakan jari atau tubuh kita untuk lebih berhati-hati ketika menggunakannya di luar wilayah kita.
5. Percaya diri!
Yang terakhir dan tidak kalah pentingnya yaitu percaya diri! Dari keempat tips diatas harus dilakukan dengan rasa percaya diri yang tinggi, supaya tetap lancar dalam berkomunikasi dengan orang asing dengan latar belakang budaya dan kepercayaan yang berbeda dengan kita. Dan juga perbanyak latihan untuk berkomunikasi dengan baik dan benar sesuai dengan etika dan norma, serta menyesuaikan dengan bahasa dan budaya yang ada di suatu wilayah, maka percaya diri tersebut juga akan semakin terbentuk.
Daftar Pustaka :
Baldwin, J. R., Coleman, R. R. M., Gonzales, A., Packer S. S. (2014). Intercultural Communication for Everyday Life (ed. 1st). UK : Wiley Blackwell
Samovar, Larry A, Richard E. Porter, Edwin R. McDaniel. (2017). Communication Between Cultures. Boston: Cengage Learning US (ed. 9th). USA : Cengage Learning
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H