Saat ini, ilmu pengetahuan dan teknologi tengah berkembang pesat di dunia. Dalam perkembangan dan penerapannya, IPTEK tentunya memiliki dampak positif dan negatif dalam kehidupan kita. Di bidang ekonomi, salah satu dampak negatif dari perkembangan IPTEK, adalah semakin meningkatnya angka pengangguran akibat diambil alihnya pekerjaan manusia oleh Artificial Intelligence atau biasa kita sebut robot.
Dalam usaha mengatasi pengangguran, pada bulan Januari 2017 lalu, Finlandia, salah satu negara yang terkenal dengan tingkat kesejahteraan dan sistem pendidikan yang di atas rata-rata, membuat dunia tercengang dengan keberaniannya menjadi negara Eropa pertama yang memberikan tunjangan bagi warganya yang tak bekerja.
Peraturan mengenai pemberian tunjangan sosial ini merupakan inisiasi dari pemerintahan Perdana Menteri Juha Sipila dalam usaha mengatasi kemiskinan dan pengangguran di negara tersebut. Program ini dimulai sejak bulan Januari dan dilakukan selama dua tahun dengan target 2000 warga pengangguran dalam rentang usia 25-59 tahun yang dipilih secara acak. Warga-warga yang terpilih akan mendapat penghasilan minimum yaitu sejumlah 560 euro atau Rp 7,8 juta rupiah setiap bulannya.
Dalam 20 tahun teakhir ini, Finlandia mengalami kenaikan angka kemiskinan dan peningkatan jumlah pengangguran. Kesenjangan antara orang kaya dan miskin semakin membesar. Terhitung pada November 2016, jumlah pengangguran di Finlandia tercatat sebesar 8,1% dari keseluruhan jumlah penduduk. Hal inilah, yang mendukung Perdana Menteri Juha Sipila dalam membuat terobosan ekstrem dengan menggaji warganya yang tidak memiliki mata pencaharian.
Tak hanya itu, penerapan sistem tunjangan sosial ini juga rupanya diakibatkan oleh pola pikir para pengangguran di Finlandia yang seringkali menolak pekerjaan dengan upah rendah atau masa kerja singkat karena khawatir akan keuntungan finansial yang bisa sewaktu-waktu menurun drastis dengan sistem jaminan sosial di Finlandia yang rumit. Maka, dengan adanya tunjangan sosial ini, diharapkan para penganggur menjadi terdorong untuk bekerja tanpa khawatir kehilangan tunjangan dari pemerintah.
Dari kebijakan ini juga, dapat sekaligus dilakukan eksperimen terkait perilaku warga khususnya yang pengangguran. "Apakah skema ini akan mendorong mereka mencoba berbagai pekerjaan atau seperti yang disampaikan sejumlah kritikus, skema ini akan membuat mereka lebih malas karena bisa memenuhi kebutuhan dasar tanpa harus bekerja," ujar Olli.
Namun, apakah kebijakan tunjangan sosial ini tepat bila diterapkan di Indonesia?
Di Asia Tenggara, Indonesia berada di urutan ke-3 sebagai negara dengan jumlah pengangguran tertinggi. Secara persentase, sebenarnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia sudah turun 0,11% dari 5,61% para Agustus 2016 menjadi 5,50% pada Agustus 2017. Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa ada kenaikan 10.000 jumlah pengangguran dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Dan tercatat total pengangguran di Indonesia mencapai 7,04 juta orang per Agustus 2017.
Indonesia, berbeda dengan Finlandia tentunya tidak mungkin menerapkan kebijakan untuk memberikan tunjangan sosial kepada para pengangur. Selain karena keterbatasan dana dan keterlibatan hutang yang besar, pola pikir masyarakat Indonesia khususnya para penganggur masih belum terbuka dan dewasa.
Tak hanya itu, penerapan sistem tunjangan sosial kepada penganggur dirasa tidak mampu menyelesaikan menyelesaikan masalah bila diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan antara faktor-faktor penyebab peningkatan angka pengangguran di Indonesia dan Finlandia. Oleh sebab itu, Indonesia memiliki caranya sendiri untuk memperbaiki pengangguran.
Di Indonesia, muncul dugaan bahwa ada ketidaksesuaian antara pendidikan, terutama pendidikan vokasi, dengan kebutuhan pasar. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro mengatakan pemerintah tengah menggali dampak dari digitalisasi terhadap penciptaan lapangan kerja dan berupaya mengantisipasi adanya kenaikan angka pengangguran di masa depan.