Plastik, salah satu bahan yang menjadi material penyusun utama barang-barang yang erat kaitannya dengan kehidupan manusia tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Keberadaannya memberikan kemudahan bagi manusia dalam urusan perbelanjaan dan juga konsumsi untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya. Keberadaannya saat ini menimbulkan kontroversi karena bahan yang terbuat dari polimer sintetis ini menjadi salah satu faktor terbesar penyebab kerusakan bumi, tetapi di satu sisi pengunaannya yang sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari manusia sejak dahulu, menyebabkan ketergantungan yang tinggi.
Permasalahan utama yang menyebabkan munculnya larangan penggunaan barang yang terbuat dari  plastik adalah karena penggunaannya tidak diimbangi dengan pengelolaan sampahnya. Data statistik dalam website Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia menunjukkan bahwa sampah plastik menempati urutan ke-2 dalam komposisi sampah di Indonesia tahun 2023 yaitu sebesar 18,6% dari total sampah di Indonesia atau sebanyak 18,811 ton.
Pemerintah Indonesia kemudian menggencarkan langkah preventif untuk membatasi penggunaan plastik ini, yaitu melalui opsi kebijakan fiskal dengan merencanakan pengenaan cukai terhadap plastik. Cukai plastik ini diusulkan dalam rangka untuk mengendalikan eksternalitas negative yang ditimbulkan dari konsumsi produk plastik, terutama yang terkait dampak pada lingkungan, mengingat plastik membutuhkan waktu minimal 20 tahun dan maksimal 500 tahun untuk dapat terurai, sehingga bisa dibayangkan dengan konsumsinya yang terus meningkat secara progresif setiap tahunnya sementara luas bumi tidak bertambah, sampah plastik bisa menimbulkan permasalahan yang serius terkait keberlanjutan lingkungan.
Usulan pengenaan cukai plastik disampaikan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR 19 Februari 2020 (Kompas, 2020). Pada awalnya, Sri Mulyani hanya mengusulkan cukai kantong plastik namun diperluas objek cukainya menjadi produk plastik lainnya seperti botol minuman dan kemasan makanan (Tempo, 2020). Tarif cukai plastik diusulkan sebesar Rp 30 ribu per kilogram atau Rp 200 per lembar, besaran tarif ini termasuk rendah jika dibandingkan dengan tarif di negara lain.
Plastik sama halnya dengan rokok dan juga karbon yang memberikan eksternalitas negatif baik terhadap kesehatan masyarakat maupun keberlanjutan lingkungan, namun pertanyaannya kini, mengapa plastik menjadi objek cukai sementara karbon menjadi objek pajak begitu pula rokok yang saat ini sudah menjadi objek cukai namun dikenakan pajak juga?
Penulis berpendapat bahwa pemilihan kebijakan pengenaan cukai terhadap plastik sudah tepat. Terdapat beberapa alasan mengapa kebijakan cukai terhadap plastik lebih tepat dibandingkan dengan kebijakan pajak. Pertama, pengenaan cukai akan menginternalisasi biaya yang ditimbulkan oleh penggunaan plastik terhadap lingkungan seperti misalnya pencemaran tanah, laut, dan lain sebagainya. Cukai plastik dikenakan atas per unit plastik, hal ini menunjukkan bahwa pengenaan cukai sudah tepat sasaran dan sejalan dengan tujuan yang sebenarnya yaitu mengendalikan konsumsi plastik dan mengatasi eksternalitas negative yang ditimbulkan dari penggunaan plastik. Dengan dikenakan per unit plastik maka akan membuat harga plastik per unitnya akan meningkat sehingga diharapkan dapat mengurangi daya beli masyarakat terhadap plastik dan beralih menggunakan bahan lain yang ramah lingkungan dan dapat didaur ulang.
Kedua, pengenaan cukai juga mendorong produsen untuk mengembangkan inovasi terkhususnya terkait pengkategorisasian ulang permesinan, mengingat tarif cukai disesuaikan dengan kategori dari plastik itu sendiri. Dengan dikenakannya cukai plastik pada plastik sekali pakai, produsen di industri plastik dapat mencari strategi untuk memisahkan produksi plastik sekali pakai dengan plastik yang dapat didaur ulang, sehingga dapat dilakukan pemisahan perhitungan biaya produksi secara jelas yang berujung pada penentuan harga produk yang tepat dengan memperhitungkan cukai sebagai biaya tambahan pada produksi plastik sekali pakai. Pengenaan cukai juga meningkatkan pencarian alternatif lain yang lebih ramah lingkungan oleh produsen mengingat biaya produksi plastik sekali pakai yang bertambah sehingga berpotensi menurunnya daya beli masyarakat. Dengan mencari alternatif seperti misalnya pembuatan plastik yang lebih ramah lingkungan, membuat produsen industri plastik dapat mempertahankan daya beli perusahaannya.
Ketiga, kebijakan cukai lebih fleksibel dibanding dengan pajak. Melalui cukai, pemerintah lebih fleksibel untuk dapat menentukan besaran tarifnya dengan mempertimbangkan karakteristik dan kategori dari plastik yang menjadi objeknya. Pengenaan tarif cukai dapat disesuaikan dengan tujuan kebijakan yang spesifik untuk mengurangi konsumsi plastik dan eksternalitas negatif yang ditimbulkan dari sampahnya, yaitu dengan menyesuaikan sesuai tingkat eksternalitas negative yang ditimbulkan dari penggunaan plastik, semakin tinggi dampak eksternalitas negatifnya seperti misalnya semakin sulit jenis plastik tersebut untuk diuraikan, maka semakin tinggi pula tarif cukai yang dikenakan. Hal ini berbeda dengan pajak yang besaran tarifnya bersifat rigid, lebih seragam, dan pengenaan pajak tidak berfokus pada tujuan pembatasan konsumsi dari objeknya melainkan berfokus pada keempat fungsi yaitu budgetair, regulerend, stabilitas, dan redistribusi.
Keempat, cukai plastik ini merupakan bentuk ekstensifikasi cukai yang sedang dilakukan oleh pemerintah. Ekstensifikasi ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor cukai. Data dalam Publikasi APBN KITA Desember 2023 menunjukkan bahwa sektor cukai hingga tahun 2023 lalu masih didominasi oleh cukai hasil tembakau, kemudian disusul dengan cukai MMEA dan cukai ethil alcohol. Hal tersebut menunjukkan bahwa proporsi cukai Nusantara saat ini masih memiliki lingkup yang sangat sempit yaitu hanya meliputi 3 sektor saja, dan mengindikasikan adanya ketergantungan yang tinggi terhadap hasil tembakau sementara menurut data APBN KITA 2023, penerimaan cukai terkontraksi akibat penurunan produksi HT pada Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM). Sehingga cukai plastik dapat menambah kemampuan sektor cukai untuk andil dalam porsi penerimaan negara. Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kemenperin, Saiful Bahri sebagaimana dimuat dalam artikel yang dibuat oleh Nurdifa (2023) dalam laman ekonomi.bisnis.com, menyatakan bahwa konsumsi produk plastik Indonesia per kapita pada tahun 2022 mencapai 22,5 kilogram atau setara dengan 6,156 juta ton, dan diproyeksikan akan bertambah 7% per tahun. Jika tarif cukai plastik diusulkan sebesar Rp30.000/kg, maka potensi penerimaan cukai dari plastik bisa diperkirakan mencapai Rp184,68 triliun. Jumlah potensi yang sangat besar untuk dapat menambah penerimaan negara.
Namun, apakah ada kemungkinan plastik dapat dikenakan cukai sekaligus pajak? Jawabannya bisa saja. Seperti halnya rokok yang sudah dikenakan cukai namun dikenakan lagi pajak rokok yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah tingkat I atau Pemerintah Provinsi. Dikenakannya dua kali pemungutan melalui mekanisme yang berbeda ini didasarkan tujuan untuk menekankan pembatasan konsumsi rokok oleh masyarakat Indonesia dengan menambahkannya sebagai objek piggyback tax. Penulis berpendapat ketentuan yang sama juga dapat diterapkan pada plastik. Berkaca dari pengenaan pajak rokok, pajak plastik nantinya juga dapat dijadikan kewenangan pemerintah daerah untuk memungutnya. Hal ini bertujuan agar pengurangan konsumsi plastik masyarakat juga menjadi fokus pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah juga ikut andil melakukan pengawasan atas konsumsi plastik oleh masyarakat di daerahnya masing-masing. Harapannya dengan mekanisme tersebut, volume penggunaan plastik oleh masyarakat Indonesia secara keseluruhan akan menunjukkan penurunan yang signifikan. Pajak plastik ini nantinya juga bertujuan untuk menambah kemampuan daerah untuk mempergiat pelaksanaan program kelestarian lingkungan dengan memanfaatkan pendapatan dari pajak plastik.
Akan tetapi, kebijakan penambahan pajak terhadap plastik untuk saat ini masih dikategorikan sebagai opsi terlebih dahulu, mengingat hingga saat ini, penerapan cukai plastik yang sudah direncanakan sejak tahun 2020 lalu, masih belum terlaksana dikarenakan beberapa pertimbangan pemerintah salah satunya masih menyesuaikan kondisi pasca pandemi Covid-19. Untuk saat ini, cukai plastik menjadi fokus utama pemerintah untuk ditegaskan pelaksanaannya melalui aturan teknis yang jelas dan pasti. Kemudian apabila sudah mulai dilaksanakan, pemerintah dapat melakukan kajian terlebih dahulu terkait pelaksanaan cukai plastik, terutama terkait dampaknya terhadap perekonomian masyarakat Indonesia, kemudian terkait efektivitas pencapaian tujuan pembatasan konsumsinya serta bagaimana efeknya terhadap pengurangan sampah plastik di lingkungan. Apabila dirasa cukai plastik belum cukup memberikan efek yang baik terhadap pengurangan sampah plastik di lingkungan, dan berdasarkan hasil kajian masih dapat ditambah dengan penetapan pajaknya, maka pajak plastik menjadi opsi yang dapat dipertimbangkan.
Kelestarian dan keberlanjutan lingkungan menjadi tanggung jawab baik masyarakat maupun pemerintah. Diperlukan kerja sama yang sinergis antara seluruh pihak untuk memastikan kepentingan utama dalam kehidupan manusia tersebut tetap terjamin dan terjaga. Segala upaya termasuk melalui jalur kebijakan dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, akan tetapi selayaknya hidup berdampingan, antara pemerintah dan masyarakat juga harus memastikan kebijakan yang dibuat tersebut dapat diterima dan dilaksanakan dengan baik, sehingga tidak menimbulkan permasalahan baru serta lingkungan yang lestari dan berkelanjutan akan terwujud. Saat ini cukai plastik menjadi salah satu kebijakan yang dapat menjadi jalan keluar untuk mencapai dua tujuan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H