Fenomena kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang diputuskan oleh beberapa perguruan tinggi negeri di Indonesia menyebabkan banyak mahasiswa melakukan aksi demo UKT di depan kantor rektorat kampus. Mereka menuntut agar pihak rektorat dan pemerintah meninjau kembali kebijakan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) serta mencari solusi yang terbaik untuk kesejahteraan mahasiswa dan khalayak umum.
Berkat aksi tersebut, Kemendikbud akhirnya buka suara. Hal ini direspon langsung oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yakni dari SD, SMP, hingga SMA/K.
"Sebenarnya ini tanggungan biaya yang harus dipenuhi agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu, tetapi dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar."
Pernyataan tersebut sontak mengundang penolakan dari berbagai lapisan masyarakat. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, tidak setuju dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan itu. Menurutnya Sri Tjahjandarie melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah.
Ubaid menuturkan bahwa pendidikan merupakan public good, bukan kebutuhan tersier. Pendidikan menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh warga negara yang harus dipenuhi. Adapun pihak yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan itu berdasarkan UUD 1945 alinea ke-4 adalah negara
Benarkah Islam Memandang Pendidikan Tinggi Sebagai Kebutuhan Tersier?
Islam sangat mewajibkan kepada umatnya untuk senantiasa mencari ilmu sampai ke liang lahat. Bahkan ayat pertama yang turun kepada Rasulullah SAW saat menjadi nabi adalah tertulis dalam surah Al-'Alaq yang memiliki arti 'Bacalah'. Belajar dalam pandangan Islam memiliki makna yang sangat penting sehingga hampir setiap saat manusia tak pernah lepas dari aktivitas belajar.Â
Keunggulan suatu umat manusia atau bangsa juga akan sangat tergantung kepada seberapa banyak mereka menggunakan rasio dan anugerah Tuhan untuk belajar serta memahami ayat-ayat Allah SWT. Ada pula ayat Al-Qur'an menyerukan kewajiban menuntut ilmu pada QS. At-Taubah ayat 122 memiliki penafsiran dari Ibnu Katsir yaitu berkenaan dengan keberangkatan semua kabilah bersama Rasulullah SAW ke medan Tabuk serta sejumlah kecil dari masing-masing kabilah apabila mereka tidak boleh berangkat semuanya.
Hal tersebut dimaksudkan agar mereka yang berangkat bersama Rasulullah SAW dapat memperdalam agamanya melalui wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Rasul. Begitu mereka kembali kepada kaumnya, mereka bertugas untuk memberikan peringatan tentang segala sesuatu yang menyangkut musuh agar mereka bisa senantiasa waspada. Menurut tafsir ini, menuntut ilmu (belajar agama) sama wajibnya dengan berjihad atau fardhu kifayah hukumnya.Â
Rasulullah SAW juga mewajibkan setiap umatnya untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Hal ini tertulis dalam beberapa hadits berikut:
1. "Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu muslim." (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha'if Sunan Ibnu Majah no.224)
2. "Barangsiapa yang hendak menginginkan dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat hendaklah ia menguasai ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan keduanya (dunia dan akhirat) hendaklah ia menguasai ilmu." (HR. Ahmad)
3. "Belajarlah kalian ilmu untuk ketentraman dan ketenangan serta rendah hatilah pada orang yang kamu belajar darinya." (HR. Thabrani)
Dalam era peradaban Islam, kualitas output pendidikan telah mendapatkan pengakuan dunia. Menariknya, pendidikan itu diberikan secara gratis kepada seluruh warga negaranya. Karena itu, pendidikan gratis dan bermutu dalam sistem Khilafah Islam bukanlah dilihat dari materi, melainkan mempunyai tujuan untuk mencerdaskan umat.Â
Pendidikan gratis tetapi bermutu bisa diwujudkan oleh Khalifah Islam, karena Khalifah mempunyai sumber pendapatan yang sangat besar. Selain itu, kekayaan milik negara dan milik umum dikelola langsung oleh negara yang hasilnya didistribusikan kepada rakyat.Â
Dengan cara yang sama, negara juga bisa membangun infrastruktur pendidikan yang lebih dari memadai, serta mampu memberikan gaji dan penghargaan yang tinggi kepada pengajar dan ulama atas jasa dan karya mereka. Dari pendidikan dasar, menengah hingga atas, yang menjadi kewajiban negara, tidak sepeserpun biaya dipungut dari rakyat. Sebaliknya, semuanya dibiayai oleh negara.Â
Masyarakat golongan bawah maupun atas sama-sama bisa mengenyam pendidikan dengan kualitas yang sama. Begitulah cara Islam memandang pendidikan. Semoga pendidikan gratis dan bermutu bisa segera terealisasikan di NKRI ini.
Diketik oleh Devina Alfiyanti seorang mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga, Surabaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H