Mohon tunggu...
devi ana
devi ana Mohon Tunggu... ibu & pembelajar -

Ibu & pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Siaga Bencana: Dari Sandiwara Jadi Kesadaran Bersama

17 September 2016   20:50 Diperbarui: 18 September 2016   05:02 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayangkan suatu pagi yang tenang, kita sedang bersiap-siap untuk beraktivitas lalu tiba-tiba lantai bergetar, lemari dan meja berderak, benda-benda kecil mulai berjatuhan, badanpun limbung karena guncangan dahsyat. Gempa bumi melanda. Pasti panik, lalu apa yang bisa kita lakukan? Berteriak histeris atau Lari keluar rumah mencari tempat aman atau bersembunyi di bawah meja atau berlindung di balik tembok? Kondisi panik seringkali membuat kita tak bisa berfikir jernih bahkan sulit melakukan hal yang biasanya sangat mudah seperti membuka kunci pintu sehingga kita bisa terjebak dalam bahaya.

Bencana alam selalu datang tanpa salam dan sulit diprediksi. Ada beberapa teknologi yang telah dikembangkan untuk mendeteksi tanda awal datangnya bencana tapi belum dapat diterapkan secara optimal. Ketika bencana melanda, semua orang merasa panik dan berusaha menyelamatkan diri tapi seringkali upaya penyelamatan diri itu tidak efektif karena tidak dibarengi dengan pengetahuan dan kesiapsiagaan yang baik. 

Dalam suasana panik, orang berlarian tak tentu arah karena tak mengenali jalur evakuasi, ada yang malah meneriakkan isu yang memancing kepanikan baru, bahkan sebagian orang memilih menyelamatkan harta benda dulu dengan resiko nyawa melayang. Ini adalah potret ketidaksiapan masyarakat ketika berhadapan dengan bencana alam. Ketidaksiapan bisa berakibat meningkatnya jumlah korban nyawa maupun kerusakan bangunan [sumber].  

Siaga kurangi resiko

Secara geografis Indonesia terletak di daerah rawan bencana, sehingga mewujudkan masyarakat siaga bencana adalah suatu keniscayaan. Tuhan menganugerahi kita negeri dengan paket komplit kekayaan alam sekaligus potensi bencana yang tersimpan dibawahnya. 

Kita menikmati kemegahan gunung-gunung yang menjulang tinggi dan harus siap menghadapi kemungkinan erupsi. Kita menikmati keindahan pantai serta kekayaan laut dan harus siap menghadapi kemungkinan tsunami. Kita menikmati keanekaragaman bentang alam dan harus siap menghadapi kemungkinan tanah longsor, angin ribut, atau gempa bumi.  

BMKG mencatat bahwa Indonesia mengalami 3000-4000 gempa skala kecil setiap tahunnya [sumber]. 153 kabupaten/ kota yang dihuni 60.9 juta jiwa terletak di zona gempa bahaya tinggi. Tsunami besar dan kecil telah mengguncang sebanyak 173 kali sejak tahun 1629-2014. Tahun 2016, Indonesia telah mengalami 1.509 kejadian bencana [sumber]. 

Meskipun mengerikan, tapi angka itu memang wajar mengingat negeri ini memang berdiri diatas pertemuan jalur tiga lempeng tektonik: lempeng pasifik, lempeng Eurasia, dan lempeng Indo-Australia. Lempeng pasifik bergerak menuju arah barat, sedangkan lempeng Indo-Australia bergerak ke utara dan menyusup ke dalam lempeng Eurasia. Pertemuan ketiga jalur ini berada di laut dangkal sehingga rawan mengakibatkan tsunami [sumber].

Tinggal dalam lingkungan rawan bencana selama ratusan tahun, harusnya masyarakat kita telah memiliki pengetahuan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Namun sayangnya, survei yang dilakukan BNPB pada tahun 2012 menunjukkan rendahnya indeks kesiapsiagaan masyarakat dan pemda di wilayah rawan bencana. Penanganan bencana merupakan masalah nasional yang harus didukung semua komponen, baik dari jajaran pemerintah, masyarakat, maupun lembaga-lembaga yang menangani kebencanaan secara langsung. Penanganan bencana harus bersifat terencana dan terpadu, dimulai dengan penegakan peraturan yang berhubungan dengan resiko bencana seperti perluasan lahan, perencanaan lokasi bangunan yang aman dari potensi bencana, membangun bangunan yang tahan bencana, sosialisasi kesiagaan dan penanganan bencana, pelatihan aparat profesional, kebijakan penanganan bencana, hingga sistem rehabilitasi pascabencana. 

BNPB telah melakukan program-program untuk membentuk kesiapsiagaan bencana, khususnya untuk masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, seperti:

  1. Penyusunan peta rawan bencana oleh para ahli yang dibagikan kepada seluruh kementrian/ lembaga dan pemerintahan daerah. Sayangnya peta ini belum dimanfaatkan secara optimal, masih banyak bangunan dan pemukiman yang dibangun diatas tanah rawan gempa/ longsor.
  2. Pengembangan teknologi untuk mendeteksi potensi bencana. Misalnya, pemasangan bouy tsunami di 25 titik rawan tsunami, LEWS [sistem peringatan dini longsor], alat peringatan dini tsunami, dan alat peringatan banjir yang dipasang di sungai rawan banjir.
  3. Memanfaatkan media massa untuk membangun kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat, misalnya konferensi pers sesaat setelah terjadi bencana, media center dan posko tanggap darurat yang memberikan data bencana yang kredibel, pelatihan kebencanaan untuk wartawan, sosialisasi langsung melalui media cetak dan media elektronik, dan berbagai kegiatan lomba untuk merangsang kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan bencana secara menyeluruh.
  4. Pembentukan tim relawan profesional dan fasilitator desa tangguh bencana yang membantu penanganan bencana secara lebih mandiri dan cepat. 
  5. Penyediaan sarana prasarana dan fasilitas yang lengkap untuk penanganan bencana dengan menjalin kerjasama dengan lembada dan departemen lain.

Untuk mendapatkan hasil yang komprehensif, BNPB kembali menggencarkan sosialisasi kesiapsiagaan bencana melalui sandiwara radio yang berjudul ‘Asmara di tengah Bencana” atau disingkat ADB. Sandiwara radio yang terdiri dari 50 episode ini disiarkan oleh 20 radio lokal dan radio komunitas di Pulau Jawa sejak akhir Agustus 2016. ADB mengangkat kisah tentang kesiapsiagaan masyarakat ketika terjadi bencana gunung meletus dengan bumbu kisah percintaan dan intrik kekuasaan untuk menarik calon pendengar. 

Radio, masihkah didengar?

Sandiwara radio merupakan salah satu jenis hiburan yang sangat popular di Indonesia pada tahun 1980-1990. Saat itu hampir semua stasiun radio memiliki sandiwara unggulan yang disiarkan selama jam siar utama. Pilihan ceritanya beragam, mulai cerita silat berlatar belakang kehidupan para ksatria dan putri kerajaan, genre drama kisah cinta anak muda, hingga kehidupan masyarakat sehari-hari. Radio memang memiliki basis pendengar setia, bahkan dulu di keluarga kami tiap orang punya radio sendiri karena masing-masing punya acara kesayangan yang tak boleh diganti oleh yang lainnya hehe.

Tapi apakah menghadirkan kembali sandiwara radio masih bisa diterima saat ini, mengingat kecenderungan masyarakat telah jauh berubah? Radio yang semula menjadi sarana hiburan utama, mulai digeser oleh kehadiran televisi, internet, media sosial, dan smartphone. Survey yang dikeluarkan Nielsen pada tahun 2014 menyebutkan bahwa penggunaan media radio berkisar pada angka 20% di seluruh Indonesia [sumber].

Meskipun tak sepopuler dulu, tapi radio tetap memiliki penggemar khusus karena berbagai keistimewaan yang tak dimiliki media lain. Yang pertama, radio sangat terjangkau untuk semua kalangan masyarakat sehingga masyarakat yang bertempat tinggal di pinggiran kota maupun pegunungan tetap bisa menikmati siarannya. Radio bisa digunakan untuk menyasar kelompok masyarakat yang belum tersentuh informasi dari media lain seperti televisi dan internet. Kelompok usia muda dan mereka yang tinggal di perkotaan mungkin mudah mengakses informasi dari televisi dan internet, tapi kelompok usia setengah baya yang tinggal di daerah pedesaan akan lebih mudah menerima pesan dari media radio yang telah lama dikenal sebelumnya.  Yang kedua, radio merupakan media yang sangat dekat secara emosional dengan pendengar karena bersifat lokal, bahkan banyak juga radio komunitas yang dibuat khusus untuk menyiarkan kegiatan khusus bagi komunitas tersebut. Kedekatan emosional yang terbangun antara penyiar radio dan pendengar membuat pesan-pesan yang disampaikan lewat radio lebih mudah diterima masyarakat. Sifat lokal juga memberikan keuntungan karena radio bisa mengatur jalan cerita agar sesuai dengan keseharian dan mengatur setting tempat sesuai dengan kondisi tempat tinggal pendengarnya.

Radio juga menjadi salah satu media yang bisa dinikmati sambil melakukan kegiatan lain tanpa terganggu. Radio mudah dibawa kemanapun sehingga bisa dinikmati sambil mencangkul, memasak, menggembala ternak, dan lainnya. Radio yang merupakan media berbasis suara juga memberikan ruang pada pendengarnya untuk berimajinasi. Agar lebih mudah sampai kepada sasaran, pesan-pesan tentang kesiagaan bencana dikemas dalam sebuah sandiwara radio. Masyarakat kita yang sudah sangat familiar dengan sandiwara radio, pasti bisa menikmati pesan-pesan dalam kemasan sandiwara radio lengkap dengan bumbu-bumbu kisah asmara yang memancing rasa penasaran. Para pengisi suara dalam sandiwara radio sangat khas dan terasa sangat dekat secara emosional dengan pendengarnya. Racikan dialog, musik, dan efek suara juga mampu menerbangkan imaginasi para pendengarnya hingga ke masa-masa kejayaan para raja yang menjadi setting sandiwara radio.

Walaupun angka pendengar radio tak terlalu tinggi, namun jumlah stasiun radio terus bertambah setiap tahun mencapai 1.986 stasiun di tahun 2013 dengan angka pertumbuhan 10% tiap tahun [sumber]. Seiring perkembangan teknologi penyiaran, radio juga mulai berevolusi untuk menghindari kepunahan. Berbagai upaya yang dilakukan para pemerhati siaran radio bisa menjadi angin segar bagi masa depan radio di Indonesia. Saat ini, telah banyak kita jumpai digitalisasi radio seperti radio internet atau radio streaming. Kemajuan teknologi membuat jangkauan radio semakin luas dan mudah diakses dimanapun.

adb-57ddb761707e614f5b12de5b.jpg
adb-57ddb761707e614f5b12de5b.jpg
Dari panggung sandiwara ke dunia nyata

Pemilihan radio sebagai media penyampai pesan sudah tepat sasaran, lalu apakah pemilihan kemasan sandiwara radio sudah cukup tepat? Sandiwara radio dengan latar belakang kehidupan jaman kerajaan ternyata masih sangat diminati sehingga sandiwara ADB yang mengambil setting cerita masa kerajaan Mataram sangat berpotensi digemari masyarakat. Kepiawaian para pengisi suara dan sound effect  menjadi faktor yang sangat penting untuk pendengar, semakin dramatis maka akan semakin seru di telinga pendengar. Sandiwara ADB melibatkan nama-nama besar dalam dunia sandiwara radio seperti S. Tidjab, Nanang Kasila, dan Ivone rose yang telah dikenal sejak dulu sehingga sangat menarik bagi masyarakat.

Untuk mencapai sasaran yang tepat, sandiwara ADB telah memilih 18 radio lokal dan 2 radio komunitas yang akrab di telinga masyarakat daerah rawan bencana. 2 radio komunitas yang menyiarkan ADB adalah radio komunitas lintas merapi [Jawa tengah] dan radio komunitas Kelud [Jawa Timur], keduanya berada di tengah komunitas masyarakat di daerah rawan bencana erupsi gunung merapi. Radio lokal yang dipilih menyiarkan ADB juga memiliki kualitas siaran bagus dengan basis pendengar khusus yang memiliki kedekatan emosional dengan para penyiarnya. Agar semakin optimal, sandiwara ADB mengambil waktu siar pada jam utama, yaitu 19.00 – 19.30, waktu ini merupakan waktu dimana para pendengar paling banyak mendengarkan siaran radio.


Saya dan keluarga dulu merupakan pendengar setia Radio Merapi indah FM [RMI FM], salah satu radio yang menyiarkan sandiwara ADB untuk daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Radio ini termasuk radio legendaris karena sudah beroperasi sejak tahun 1990 dengan sasaran masyarakat kelas menengah ke bawah di kawasan Magelang [Jawa Tengah] dan Sleman [Yogyakarta]. Yang paling betah mendengarkan siaran RMI adalah almarhum kakek, setiap malam setia mendengarkan siaran jenaka berselang-seling dengan alunan musik campur sari dan tak lupa menikmati siaran wayang semalam suntuk. Obrolan yang disampaikan penyiarnya terasa hangat dan dekat jadi seperti mengobrol dengan teman dekat. Radio ini juga termasuk rajin menggelar acara offair untuk menjalin kedekatan dengan pendengarnya sejak dulu hingga saat ini. Dengan siaran utama berupa hiburan musik, berita, dan pendidikan maka RMI menjadi saluran yang tepat untuk mengedukasi masyarakat Magelang dan Sleman. Kecamatan Muntilan di Kabupaten Magelang termasuk salah satu daerah siaga jika terjadi erupsi Merapi karena hanya berjarak kurang dari 25km dari puncak merapi. Tiap kali merapi erupsi, Muntilan akan diguyur hujan abu tebal hingga semua memutih. Muntilan juga memiliki beberapa sungai yang menjadi jalur aliran lahar dingin Merapi sehingga rawan mengalami banjir lahar dingin sebagaimana yang pernah terjadi pada erupsi tahun 2010. Dengan kondisi semacam ini, masyarakat Muntilan memang harus memiliki kesiapsiagaan tinggi menghadapi bencana dan akan sangat efektif bila menggunakan media sandiwara radio yang telah akrab dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Magelang.

Banjir lahar dingin Merapi di Magelang tahun 2010 [lipsus Kompas]
Banjir lahar dingin Merapi di Magelang tahun 2010 [lipsus Kompas]
Program sosialisasi dan edukasi kesiapsiagaan menghadapi bencana dengan media sandiwara radio bukanlah sesuatu yang lumrah dilakukan di jaman internet seperti sekarang. Tapi justru hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi BNPB agar sosialisasi menyentuh segala lapisan masyarakat melalui saluran yang menarik. 

Sebagaimana yang telah dipercayai para ahli psikologi dan komunikasi bahwa informasi yang dikemas dan disampaikan dengan cara menyenangkan akan lebih diterima oleh masyarakat daripada informasi yang disampaikan secara kaku dalam ruang tertutup. Kita semua tentu berharap sandiwara ADB sukses meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai kesiapsiagaan bencana. 

Jika pengetahuan sudah terbentuk, maka dalam jangka panjang dapat lebih mudah diaplikasikan dalam sikap dan perilaku kesiapsiagaan menghadapi bencana. Masyarakat yang memiliki tingkat kesiapsiagaan tinggi dapat meminimalisir resiko bencana sehingga terwujudlah masyarakat tangguh bencana.

Referensi: Sandiwara radio, Asmara di balik Bencana, materi edukasi penganggulangan bencana BNPB

Devi MS | facebook twitter

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun