Mengikuti suami pindah ke kota yang terletak di bagian timur Kalimantan adalah keberanian yang saya kumpulkan. Keinginan untuk keluar dari zona nyaman, merantau ke tanah orang dan menemukan lingkungan heterogen. Membuat sebuah pencapaian lain dengan pekerjaan yang berbeda hingga mendapatkan relasi baru.
Rencana memang belum tentu sejalan dengan realita. Tapi, harapan akan langkah awal yang baik dan sesuai skenario adalah sebuah upaya. Tetapi dunia telah berubah, begitu mendadak dan tanpa gejala.Â
Tanpa clue ataupun paling tidak dengan proses pengenalan konflik. Benar, mau tidak mau dan suka ataupun tidak suka, inilah proses perubahan kehidupan yang bermuara ke peradaban ke dimensi yang berbeda. Saya kaget.
Menjadi pasangan muda di kota baru jauh dari kampung halaman dan tanpa sanak saudara sekandung sepupu. Di sebuah kota yang secara struktural sangat jauh berbeda dengan kota kelahiran.Â
Membangun sebuah kehidupan keluarga kecil yang benar-benar dimulai dari nol. Perkiraan saya, tantangan yang akan saya hadapi adalah perubahan ekonomi rumah tangga semenjak memutuskan hidup mandiri (termasuk resign dari pekerjaan yang telah saya jalani selama 5 tahun), hingga adaptasi dengan masyarakat sekitar tempat tinggal yang baru.
Tetapi, adanya kejadian luar biasa berupa pandemi virus korona atau (COVID-19), seakan tantangan kian melebar. Saya yang pada awalnya akan tahan banting dengan segala kemungkinan rupanya mengelak. Â
Keadaan yang saling tumpah tindih, membentuk tembok besar tantangan rupanya benar saya hadapi di tanah rantau. Berkali-kali mendapat penolakan kerja hingga tabungan pribadi (saya sendiri) kian menipis, ditambah situasi yang asing bagi saya. Ya, menjadi ibu rumah tangga.
Semula, saat berada dalam comfort zone, saya dapat menikmati berbagai pekerjaan dan menjalani kesibukan dari fajar hingga tengah malam dengan enjoy. Â
Mulai dari rutinitas sebagai sekretaris di sebuah universitas, mengajar les, menjadi blogger hingga asisten administrasi peneliti. Merasa lelah namun puas dan optimis pantang menyerah. Dengan segala kondisi yang telah direncanakan. Tetapi, ini berbeda.
Deadlock, hadir disaat pikiran saya kacau. Deadlock, atau masa kebuntuan intelektual rupanya menghantui sistem informasi pikiran saya. Deadlock menghalangi produktifitas yang selama ini saya rasakan.Â
Menulis, yang merupakan kegiatan produktif saya seakan dalam hiatus panjang. Tidak ada satupun ide terlintas di benak untuk saya tuang dalam barisan kata-kata. Tidak ada satupun cerita yang bisa saya bagi dalam sebuah cerita.Â
Delapan bulan berjalan, bahkan saya baru sanggup membuat dua artikel tulisan. Bahkan, baru kali ini saya mempublikasikan artikel pertama saya di Kompasiana untuk tahun 2020. Deadlock telah membunuh produktifitas saya untuk menulis.
Walau bagaimanapun saya harus keluar dari kebuntuan deadlock ini. Dimulai dari artikel ini saya akan melawan deadlock. Saya akan menemukan kembali inspirasi saya. Saya bertekad. Benar, deadlock itu nyata.
Borneo Timur, 8 Agustus 2020.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI