Mohon tunggu...
Devi Lestari
Devi Lestari Mohon Tunggu... Guru - guru dan seniman

sederhana saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pernikahan di Indonesia : Mengapa Angkanya Turun dan Bagaimana Mengatasinya ?

11 Mei 2024   11:24 Diperbarui: 11 Mei 2024   11:44 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kompas.com/parapuan/read/533000952/batas-usia-dan-syarat-sebelum-perempuan-menikah-yang-harus-dipahami?debug=1&lgn_method=google&google_bt

Pernikahan merupakan awal dari lembar hidup baru bagi manusia, memilih pasangan  akan menambah keindahan dalam menjalani kehidupan, tapi akhir-akhir ini terjadi penurunan angka pernikahan di indonesia, hal ini tidak sesuai dengan pengertian pernikahan yang di uraikan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik  (PBS) 2024 angka pernikahan di indonesia mengalami penurunan, DKI Jakarta mengalami penurunan sebanyak 4.000. Sementara jawa barat mengalami penurunan sebnyak 29.000. jawa tengah sebanyak 21.000 dan jawa timur 13.000.

Data dari BPS menyebutkan pada 2023 jumlah pernikahan di Indonesia sebanyak 1.577.255. Angka ini ternyata menurun sebanyak 128.000 jika dibandingkan dengan tahun 2022. Sementara jika dalam satu dekade terakhir angka pernikahan di Indonesia menurun sebanyak 28,63 persen

Hal ini tentunya disebabkan oleh berapa faktor di antaranya adalah semakin terbukanya peluang bagi perempuan untuk sekolah dan bekerja sehingga perempuan dapat menghilangkan ketergantungannnya dan mampu hidup lebih mandiri.

Selain itu kondisi ekonomi laki-laki yang tidak mapan hal ini disebab sulitnya mendapatkan pekerjaan serta tingginya angka  perceraian menyebabkan banyak pemuda lebih memilih untuk melajang. Pada tahun 2020 tercatat sebanyak 61.870 pasangan melakukan talak da cerai. Sementara pada tahun 2022 ada 102.065 kasus.

Menurunnya angka pernikahan ini akan menyebabkan penurunan angka kelahiran, sebagaimana yang terjadi di negara jepang, sejarawan lulusan Combridge University, Katria Gulliver, pernah menulis bahwa kondisi dan status perempuan di jepang di pengaruhi oleh modernisasi. Dulu unsur patriarki masih menjadi panutan yang paten sehingga banyak perempuan jepang yang tidak punya pilihan lain selain mengurusi urusan rumah tangga.

Seiring perkembangan zaman, pola fikir seperti itu mulai luntur dan masyarakat mulai membebaskan perempuan untuk menentukan jalan hidupnya, hal ini yang menurut Gulliver, menjadi salah satu faktor terjadinya penurunan angka pernikahan di jepang, karena perempuan jepang lebih memilih untuk bekerja daripada mengurus rumah  tangga hingga menyebabkan penurunan angka kelahiran di jepang.

Hasil penelitian lain dari Tsutsui, bahwa peran keluarga juga sangat mempengaruhi pernikahan, seorang laiki-laki dan perempuan yang tidak memiliki dukungan keluarga akan mengalami kesulitan dalam menikah dibandingka dengan mereka yang mendapatkan dukungan dari berbagai aspek.

Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono, meyebutkan bahwa perubahan paradikma mengenai pernikahan khususnya dari aspek perempuan seperti di jepang dan negara lain dan terjadi juga di indonesia, hal ini di karenakan perkembangan prvatisasi dan melemahnya ikatan moral dan kepercayaan pada institusi keluarga.

Selain di negara jepang pnelitian di indonoseia mengenai permasalah ini  dilakukan oleh Drajat bersama peneliti lain berjudul "Krisis Kluarga dalam perkembangan otonomi perempuan" dalam riset ini menyyebutkan bahwa perubahan paradikma yang terjadi karena perubahan perubahan relasi kuasa dalam keluarga.

Riset ini mengungkap perempuan semakin ingin mandiri dan diakui. menyerahkan Hal ini di karenakan perempuan tidak memiliki kepercayaan untuk menyerahkan seluruh hidupnya kepada institut keluarga dengan realitita kekerasan rumah tangga dan masih banyak lagi kasusu yang menyebabkan perempuan enggan untuk menikah.

Hasil penelitian Drajat juga meyatakan bahwa, perempuan menganggap bahwa pekerjaan atau karier merupakan aspek yang lebih penting daripada menikah, perempuan-perempuan saat ini mengakui bahwa "melalui pernikahan perempuan tidak bisa membagi waktu dan uangnya sendiri sehingga membuatnya tidak nyaman, mereka kemudian membangun otonomi perempuan hidup mandiri dan tidak menggantungkan diri kepada orang lain"

Selain itu dampak yang disebabkan dari pergeseran paradigma terkait pernikahan ini adalah keluarga kecil atau keluarga tunggal (single parent). Keluarga tunggal ini nantinya tidak melibatkan aturan sosial tetapi dilindungi oleh hukum yang berlaku.

Terlepas dari pergeseran paradikma tersebut, Drajat menekankan bahwa pernikahan tetap sangat dibutuhkan untuk menata sosial masyarakat. Keluarga dan pernikahan menjadikan fondasi dari masyarakat untuk memberikan nilai-nilai sosial, tanggungjawab terhadap hubungan seksual, dan upaya prlindungan.

Permasalah ini dapat ditangani dengan peningkatan keperdulian terhadap keluarga, pemerintah dan masyarakat harus lebih perdulu mengenai kesejahteraan keluarga dan jaminan sosial, masyarakat akan mudah kacau apabila satuan terkecilnya yaitu keluarga tidak terjaga dengan baik.

Pernikahan atau membangu keluarga adalah hak setiap individu. Namun satu hal yang pasti, keluarga yang utuh yang saling mendukung satu sama lain akan tetap menjadi tempat yang paling nyaman dan aman untuk pulang dikala lelah menapaki perjalanan kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun