Maka lahirlah para pemuja fanatik. Para pembela yang dapat meneruskan cerita-cerita baik yang sudah dijejalkan media ke dalam kesadaran mereka. Padahal yang sedang berlangsung adalah penerimaan sosok rakitan, yang sementara ini memang berhasil bercokol di benak kosong si pemuja sebagai proyeksi pencitraan.
Sosok yang bisa saja raib tiba-tiba, ketika voltase daya serap terganggu sengatan ingatan dan persepsi lain. Inilah yang sengaja dilakukan para lawan si capres, dengan menghadirkan data-data yang semula disembunyikan si capres. Seperti nama masa kecil dan berbagai identitas masa lalu, yang bagi publik boleh jadi akan menimbulkan kontroversi, yang lebih jauh bisa diikuti pembuyaran citra.
Bila penghadiran data masa lalu adalah faktual, publik pun dapat menilai kembali capres pilihannya apakah memang ideal atau tidak. Tambahan informasi yang berbeda dari rakitan, membuat publik berkesempatan menyusun ulang atau menyempurnakan pengenalan.
Akibatnya, si capres bisa saja terjungkal dan raib sebagai figur capres pilihan. Atau tetap bercokol bila publik sudah terpengaruh sampai ke dasar kesadaran. Hingga publik apatis terhadap tambahan informasi apa pun. Apakah itu positif atau negatif tentang si capres. Apakah itu positif atau negatif bagi si publik.
Bila hal ini yang terjadi, maka publik dan si capres boleh jadi telah terseret arus yang sama: gelombang pencitraan. Dunia antah berantah. Tak bisa tidak, seperti kata Rendra, ”Orang-orang harus dibangunkan!”
Sumber : jurnas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H