Bersamaan dengan mengerucutnya dua nama capres yang akan bertarung dalam pilpres 2014, kemarin (19/5) sebuah media nasional ternama kembali membuat berbagai berita dan hasil jajak pendapat tentang kedua capres (lengkap dengan foto dan ilustrasi pendukung). Dengan tren yang jelas: tendensius menyudutkan salah satu capres.
Begitulah pemandangan biasa pada hari-hari “kampanye” ini, dalam mayoritas media cetak kita. Berbagai pemberitaan ditampilkan sesuai agenda tersembunyi sang media, mau mendukung secara samar capres yang jadi teman atau menjatuhkan secara terselubung capres yang jadi lawan.
Sebab media cetak kini sudah memilih berpihak kepada capres tertentu yang ikut bertarung memperebutkan kekuasaan. Hingga pemberitaan tidak lagi netral atau sesuai dengan kebutuhan publik luas, berupa kebenaran faktual, dengan berbagai narasumber berbeda pandangan.
Tapi berita sepenuhnya disajikan, sebagai konstruksi data dan peristiwa, yang tujuannya adalah merakit citra. Proyeksi imej. Gambaran tiruan atas obyek yang diinginkan. Dengan membangun kesan yang dapat diperoleh dengan tingkat pengetahuan dan pengertian tertentu, yang timbul oleh adanya informasi.
Maka ketika media menyampaikan berita atau opini tentang capres tertentu, hal itu akan membawa keuntungan baginya. Dan dengan adanya surplus keuntungan, dengan mudah pemberitaan dapat dikaitkan dengan transaksi ”beragam modal; tidak semata-mata modal ekonomi” sebagai latar belakangnya. “Berita ini sudah dibayar...” itulah ungkapan yang kerap terdengar menggambarkannya. Bukan lagi sebagai cibiran atas perilaku kesediaan menyajikan berita berbayar, tapi jadi penjelasan atas situasi umum yang menegaskan bahwa media cetak kini sudah ikut berpolitik bersama capres.
Hingga si media cetak tidak lagi sekadar menyajikan informasi, tapi juga berupaya membentuk (atau mempengaruhi) opini dengan menampilkan pencitraan. Bila yang disosokkan adalah lawan si capres, yang dilakukan adalah pengecilan dengan menghadirkan citraan negatif. Namun bila yang dibangun adalah citra si capres yang membayar, maka yang diperagakan adalah bayangan semu, meski ditampilkan berupa pembesaran.
Pola yang lazim di dunia periklanan, dengan konsepnya: membangun cerita-cerita baik. Bila sebuah produk diharapkan berhasil mengisi benak publik, maka semakin banyak cerita-cerita baik tentang produk diiklankan, akan semakin kuatlah daya jangkau dan daya takluknya. Itulah sebabnya iklan-iklan di media cetak, televisi dan online, selalu dilakukan berulang, dengan serba-kebaikan yang disusun sebanyak-banyaknya.
Sejak pagi hingga tengah malam, berbagai channel televisi saling berebut menyuarakan aspirasi dari capres yang bertarung. Semuanya hadir sebagai narasi atau visualisasi yang menyebarkan ”nama baik” capres, agar mampu menggerakkan simpati publik.
Berbagai prestasi ditonjolkan, aneka kerja diperlihatkan, dan beragam pendapat atau pujian tentang si capres diperdengarkan dan dipertontonkan secara terbuka. Hingga penonton yang tak memiliki referensi apa pun tentang si capres, akan cenderung terpengaruh dan bahkan jatuh hati.
Inilah yang terjadi pada salah seorang capres kita saat ini. Pemberitaan yang sitematis oleh sebuah media online, sejak hari pertama menduduki suatu jabatan publik sampai si capres kemudian mengikuti gelanggang pemilihan capres secara terbuka, berhasil menjejalkan profil dan sosoknya semata ke dalam persepsi publik.
Sebagian publik seperti tak memiliki pilihan lain. Mereka bagai telah menemukan satu idola yang layak dipilih jadi presiden suatu saat kelak. Dan sebagian publik lagi bahkan dengan antusiasnya membicarakan si capres seolah sangat mengenalnya dengan baik, luar dalam.