Black campaign atau kampanye hitam yang marak terjadi akhir-akhir ini dengan mendeskriditkan kandidat presiden RI, baik Joko Widodo maupun Prabowo, sudah muncul sebelum pendaftaran pasangan Capres-Cawapres ke KPU. Bukannya tambah berkurang malah intensitasnya semakin tinggi dan menggila.
Kampanye hitam adalah kabar tidak benar yang sengaja disebarluaskan untuk menjatuhkan kandidat yang tengah bertarung. Kabar yang dihembuskan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, bahkan sama sekali bertolak belakang.
Yang masih bisa ditoleransi kampanye negatif di mana isu yang dihembuskan dalam kampanye berlandaskan fakta dan data. Hanya saja, fakta dan data yang benar tersebut merupakan kelemahan atau kekurangan lawan, sehingga akan merugikan lawan bila disebarluaskan.
Kampanye hitam harus dikubur. Ia tak boleh dibiarkan merajalela. Kampanye semacam itu ada karena begitu besar syahwat untuk menang. Keinginan menjatuhkan lawan tanding mengalahkan etika politik. Lebih dari itu, kampanye hitam adalah alat untuk mengecoh publik. Apa yang benar diputarbalikkan sehingga pilihan publik terhadap kandidat tertentu dibelokkan.
Pada hari-hari terakhir, tampak bahwa semakin berkibar peserta kompetisi capres, serangan terhadapnya makin gencar. Jokowi yang sementara ini memiliki elektabilitas tertinggi menurut survei tak terhindar dari kondisi itu. Gubernur DKI Jakarta ini meski dari keturunan Jawa dan sudah naik haji, dikabarkan sebagai keturunan Tionghoa asal Singapura, dan mempunyai nama baptis. “Jokowi” berembel-embel nama baptis itu beredar dalam bentuk iklan dukacita. Jokowi yang asli dalam beberapa kesempatan menyebut, lebih baik bertarung adu gagasan dan program. Seolah gayung bersambut, ternyata muncul kampanye hitam program fiktif Jokowi-JK. Pasangan yang didukung PDI-P, Nasdem, PKB, Hanura ini dikabarkan bila menang bakal mencabut kebijakan sertifikasi dan tunjangan guru. Upaya Jokowi yang tak bosan meluruskan isu tak benar, patut diapresiasi.
Karena itu, harus ada upaya penanggulangan maraknya kampanye yang tidak mendidik seperti itu. Pertama, pihak yang tengah bertarung harus bersih diri dari upaya menciptakan kampanye hitam. Dari jajaran tertinggi partai pendukung capres-cawapres maupun kandidat yang tengah bertarung harus sudah membersihkan timnya dari strategi kampanye busuk ini. Mungkinkah? Jawaban berpulang pada mereka yang bertarung. Yang pasti, masih digunakannya kampanye hitam sebagai salah satu strategi pemenangan mencerminkan etika berpolitik para politisi dan pendukungnya masih rendah.
Kedua, kontestan pemilu yang menjadi sasaran harus menangkis serangan kampanye hitam itu dengan cerdas dan elegan. Ketiadaan upaya menangkis alias membiarkan serangan bakal memunculkan kesan bahwa kampanye hitam sengaja dibuat sendiri guna pencitraan bahwa dirinya adalah korban kampanye hitam. Bila ada seribu satu serangan maka sebanyak itu pula tangkisan. Repot memang. Namun, itulah risiko yang harus ditanggung dalam kompetisi menuju kursi tertinggi negeri ini.
Tangkisan dimaksud adalah pelurusan dengan membeberkan data dan fakta yang sebenarnya. Omong kosong bila seorang kandidat tak mampu memberikan pelurusan. Di ajang pilpres, setiap kandidat pasti memiliki tim pemenangan sekaligus tim media yang bisa kapan saja memberikan pelurusan tanpa harus menyerang balik dengan black campaign.
Bertalian dengan upaya menangkis serangan, kandidat yang merasa dirugikan bersama aparat kepolisian menelusuri sumber munculnya kampanye hitam. Bila memenuhi unsur pidana, tak perlu ragu memejahijaukan para penyebar kampanye hitam. Pasal pencemaran nama baik dapat dipergunakan pada kasus ini. Pemutarbalikan fakta dan pencemaran nama baik ini salah satu unsur pembunuhan karakter.
Ketiga, media massa harus ikut serta menyebarkan info yang mendidik kepada publik. Sebagai pilar keempat demokrasi pers paling efektif mengedukasi bangsa dalam pesta demokrasi bertajuk pemilu.
Tantangan terbesar adalah kondisi di mana era digital yang makin berkembang pesat disertai gelondongan informasi yang berseliweran di dunia maya.
Media massa mainstream harus bertarung dengan gempuran media sosial. Informasi di media sosial hampir selalu lebih cepat menyebar ketimbang media massa konvensional. Kondisi ini semoga tidak menyurutkan semangat insan pers dalam memerangi gerakan yang mencederai kompetisi sehat dalam pilpres.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H