Pengundian terhadap  nomor calon presiden sudah dilaksanakan beberapa waktu yang lalu. Hasilnya, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mendapat nomor 1 dan Joko Widodo-Jusuf Kalla memperoleh nomor 2. Pengundian nomor itu dapat disaksikan rakyat Indonesia karena disiarkan langsung oleh sejumlah televisi.
Pemberian nomor itu, pada hakikatnya, adalah hanya kegiatan administratif semata. Sesungguhnya siapa mendapat nomor berapa itu tidaklah penting. Nomor 1 atau 2 hanya ihwal numerik belaka. Tak ada makna sama sekali kecuali kepentingan administratif bahwa calon presiden harus diberi nomor.
Jadi, jangan didik rakyat Indonesia yang sudah pintar ini dengan penjelasan makna angka-angka itu. Kalau masing-masing calon sibuk dengan makna angka-angka itu, berarti sang calon tengah mendidik rakyat tidak rasional. Tak perlu rakyat diajak masuk dunia untung rugi sebuah nomor. Juga tak perlu rakyat diberi profanisasi angka-angka. Rakyat juga tak perlu dibawa ke alam mistik atas angka-angka itu. Pemberian nomor telah selesai begitu Prabowo-Hatta mendapat nomor 1 dan Joko-JK memperoleh nomor 2.
Dalam pengundian itu, masing-masing calon presiden diberi waktu tiga menit untuk berpidato. Dalam prolognya, Prabowo menyampaikan rasa hormat kepada yang hadir, termasuk para ketua umum partai. Kepada semua petinggi partai politik, termasuk Megawati Sukarnoputri, Prabowo mengulurkan tangan. Sayang, Megawati tak mau berdiri ketika menerima uluran tangan Prabowo. Ia menerima jabat tangan dengan duduk. Sementara Prabowo berdiri tegap dengan salam hormatnya. Prabowo juga menyapa dan menyampaikan salam kepada pesaingnya, Joko Widodo dan JK. Momen tiga menit itu, dimanfaatkan Prabowo dengan baik. Ia berpidato secara efisien, santun, termasuk santun dan hormat kepada para pesaingnya.
Sementara Joko Widodo, dalam pidato tiga menitnya itu, hanya menyapa orang lain dengan kata "senior". Entah siapa yang dimaksud dengan senior itu. Bisa jadi yang dimaksud Megawati, orang yang sangat dihormatinya karena merupakan ketua umum partai politik yang mengsungnya sebagai calon presiden. Subjek lainnya, tidak dianggap oleh Joko Widodo.
Joko Widodo lebih banyak menjelaskan makna angka dua dengan "teori" keseimbangan. Dijelaskannya bahwa 2 adalah keseimbangan, ada capres ada cawapres, ada telinga kanan telingan kiri, ada tangan kanan tangan kiri, dan sebagainya. Inti keseimbangan adalah harmoni.
Kemudian di akhir pidatonya, Joko Widodo mengunci dengan kalimat bernada kampanye, "pilih nomer 2". Kalimat pengunci itu kini sedang dimasalahkan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum karena dianggap bermuatan kampanye (padahal jadwal kampanye belum dimulai).
Dari pidato kedua calon presiden itu, tampak bahwa Prabowo lebih matang. Dia lebih santun, menghormati pihak lain termasuk "lawannya". Sedangkan Joko Widodo tampak "tidak tenang" sehingga tidak menyampaikan hal-hal yang mendasar, yaitu etika atau cara menyapa orang. Kepala Joko Widodo dipenuhi nafsu berkompetisi yang begitu kuat sampai-sampai dia tidak menyapa orang lain.
Kita, warga bangsa, perlu mencermati hal-hal "kecil" seperti itu, demi melihat sesuatu yang lebih besar, yaitu karakter calon pemimpin. Kita ini sedang memilih calon pemimpin sebuah negara yang sangat besar. Karena itu, kita perlu teliti. Dan banyak besar hal dimulai dari yang kecil-kecil. Hal-hal yang kita mampu melakukannya.
Jakarta, 05 Juni 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H