Sumbsr gambar: www.merdeka.com
Joko Widodo atau Jokowi kembali mangkir dari panggilan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Calon presiden (capres) nomor urut 2 ini sudah dua kali absen dari pemanggilan. Sesuai Undang-undang, Bawaslu bisa memanggil paksa Jokowi yang diduga melakukan pelanggaran kampanye pemilu presiden.
Seperti diketahui pelanggaran yang dituduhkan pada Jokowi adalah kampanye yang terjadi pada saat pengundian nomor urut capres-cawapres di kantor KPU, Jakarta, Minggu (1/6). Dalam sambutannya, Jokowi mengajak memilih nomor dua.
Adapun pemanggilan oleh Bawaslu terhadap Jokowi itu tidak ada bedanya seperti ketika KPK memanggil paksa seseorang dalam perkara korupsi. Dalam hal ini Bawaslu menduga ada pelanggaran terhadap UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden oleh dua pasangan kandidat. Hatta Rajasa sendiri pada Kamis (5/6) datang menghadap Bawaslu.
Ketidakhadiran Jokowi beralasan karena sibuk kampanye dan agenda kampanye yang sudah disusun sejak lama, alasan atas ketidakhadirannya bukanlah satu hal yang mendesak atau Alasan yang tidak bisa dikompromikan misalnya karena sakit atau ada halangan luar biasa lainnya yang obyektif.
Pimpinan Bawaslu, Nasrullah mengaku kecewa atas ketidakhadiran Jokowi. Dalam panggilan pertama, Jokowi hanya mengirimkan sebuah surat. Bawaslu menganggap, keterangan dari surat klarifikasi Jokowi tidak cukup, dan kembali memanggil Jokowi pada panggilan kedua dan ketiga. Bawaslu karenanya sangat berharap, agar Gubernur DKI nonaktif itu, bisa hadir memenuhi panggilan. Karena tuduhan Bawaslu yang lain pada Jokowi adalah untuk mengklarifikasi mencuri start kampanye di media elektronik.
Terkait tentang pelanggaran yang dituduhkan bawaslu kepada Jokowi, Pakar Hukum Tata Negara dari Universias Parahyangan, Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf menjelaskan harus ada 3 unsur yang memenuhi. Yaitu capres sudah memiliki nomer urut, menawarkan program dan mengajak memilih dirinya.
Bawaslu secara adimintrasi selanjutnya bisa melaporkan ke kepolisian. Jokowi juga menurutnya tidak bisa membantah bahwa aksinya itu hanya spontanitas belaka. “Sama seperti maling yang tidak bisa mengelak saat mengambil telepon genggam di meja seseorang karena alasan spontanitas,” ujar Asep.
Dalam Pasal 213, UU 42/2008 disebutkan setiap orang yang dengan sengaja melakukan Kampanye di luar jadwal waktu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan. Dan denda paling sedikit Rp3 juta atau paling banyak Rp12 juta.
Sangat disayangkan Jokowi yang tidak memberikan contoh untuk menegakan UU. Sebagai calon presiden, Jokowi seharusnya sadar bahwa dirinya harus memberikan contoh dan sekaligus menyadari bahwa semua orang kedudukannya sama dimata hukum. Kalau baru jadi capres saja sudah menolak dipanggil lembaga yang diberikan kewenangan oleh UU untuk menegakan hukum, bagaimana kalau sudah jadi presiden?
Jakarta, 07 Juni 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H