Hay perkenalkan aku adalah seorang gadis berusia 21 tahun. Sebut saja namaku Amelia. Bukan nama asliku, tapi aku sangat menyukai nama Amelia. Selain karena nama ini hilir mudik dalam novel penulis favoritku, Amelia juga nama adik perempuan yang rasanya sulit untuk kujumpai lagi.
Amelia bukan adik kandungku, namun kita sangat dekat seperti saudara kandung. Sebuah konflik keluarga membuatku tidak bisa menemuinya dengan mudah. Terhitung sudah setahun lebih aku tidak melihatnya.
Sedangkan Amelia dalam tokoh novel penulis favoritku diceritakan sebagai anak yang kuat. Terlahir sebagai anak bungsu dari empat bersaudara, Amelia tidak lantas manja. Dia menjadi anak dengan pendirian yang kuat.
Oke kembali ke aku. Jadi di usia ke-21 ini aku merasa sebagai gadis yang hancur. Maybe hanya perasaanku saja, karena pada dasarnya usia ini adalah waktunya bagi seseorang untuk beralih dari mode bersenang-senang menuju memikiran hidup dengan serius. Beralih dari mode hura-hura ke mode siap berumah tangga. (Jodoh mana jodoh)
Akupun merasa harus memikirkan hidup yang terarah. Aku tidak akan berfikir tentang masa depan, karena aku tau masa depan hanya angan yang euforianya mengotori pikiran.
Kukatakan seperti ini karena masa depan membuatku berfikir bahwa akan selalu ada hari esok yang lebih baik dari hari ini. sedangkan setelah sekian tahun berlalu, rasanya yang pernah kuharapkan itu tidak pernah kutemukan.
Entah aku yang kurang berusaha, kurang beruntung, atau memang konsep masa depan itu sendiri yang keliru. Jadi mulai sekarang kuputuskan saja untuk fokus menjalani target-target jangka dekat, menjalani hari ini dengan sebaik mungkin dan no lazy-lazy club.
Meski demikian aku tetap dipenuhi kegelisahan. Tidak peduli betapa serius aku memetakan apa yang akan kulakukan, aku tetap tidak bisa berhenti memikirkan akan hari-hariku yang kacau dan konsep hari esok yang sangat abu-abu.
Jadi izinkan aku sedikit bercerita tentang kegelisahanku...
Pertama, ini bisa dikatakan masalah keluarga dan juga masalah uang. Saudaraku meminjam uang bank dengan sertifikat tanah milik ayahku. Jumlahnya bisa dikatakan sangat fantastis mengingat pinjaman itu menggunakan 2 sertifikat tanah sekaligus.
Kemudian, ternyata saudaraku itu tidak mau membayar angsurannya. Entah alasan tidak maunya ini karena apa. Yang jelas setiap kita ingatkan dia justru marah-marah dan 'menyerang' seolah-olah kami yang bersalah. Tidak pernah ada pembicaraan 'baik-baik' untuk mendiskusikan perkara tanggung jawab hutang ini.
Maka mau tidak mau tanggung jawab angsuran berpindah ke ayahku. Masalahnya adalah, bahwa ayahku tidak menggunakan sepeserpun uang pinjaman bank itu. Jadi rasanya lebih seperti keluarga kami diperas.
Dan ayahku dengan 'keterbatasan' anggarannya harus membayar angsuran setiap bulan. Maka secara tidak langsung para anggota keluarganya terkena dampak secara keuangan. Ini masalah selanjutnya.
Aku pernah mencari-cari referensi seputar permasalah ini di internet. Dan hasil yang kudapatkan adalah bahwa jalan keluarnya adalah ayahku bisa melunasi pinjaman jika ingin 'terbebas'. Pertanyaanku, apakah pihak bank memiliki kebijakan untuk 'mendesak' agar tetap saudaraku yang menanggung tanggung jawab pinjaman ini ?
Kedua, ini seputar diriku sendiri. Sebagai anak pertama, aku terjebak antara membantu ayahku membayar hutang dan mengejar mimpiku. Namun disini aku memutuskan untuk memperjuangkan keduanya. Aku membantu ayahku, namun juga tetap memperjuangkan cita-citaku.
Aku, Amelia, memutuskan untuk tidak melepaskan apa yang telah kugenggam. Meski aku benci janji masa depan, namun aku tetap percaya bahwa suatu hari nanti aku dapat menemukan hari dimana aku tersenyum saat mengenang masa lalu. Ya, tersenyum saat mengenang hari ini.
Ketiga, ini soal adikku. Ini bukan Amelia, namun adik kandungku. Dia berada disekolah menengah tahun pertama ketika masalah pinjaman menghampiri keluarga kami. Sayangnya kini dia memutuskan untuk merantau ke Pekan Baru alih-alih fokus pada studinya.
Maybe dia memang sudah mempertimbangkan untuk memutuskan sesuatu dalam hidupnya. Toh dia juga memasuki umur dimana membuat keputusan tidak harus dibimbing. Namun sebagai anak pertama, aku merasa sedikit menyesal tidak bisa mendukungnya secara finansial agar dia fokus pada studinya.
***
Sekian kegelisahan hati ini Amelia sampaikan. Di dunia nyata aku tidak bisa menceritakannya secara bebas, maka kuputuskan untuk sedikit membaginya di lingkup digital.
Maafkan kalau Amelia terkesan lebay. Tulisan ini sendiri digarap pada malam sunyi, tepatnya malam minggu, dikamar kos yang sunyi sekitaran wilayah kampus IAIN Ponorogo. Jadi suasana memang support untuk sedikit menulis diary.
Aku dulu cukup suka menulis diary. No day without diary, begitulah kira-kira. Namun sekarang sudah tidak lagi. Lebih seringnya kalau punya unek-unek hanya tertuang lewat quotes singkat dan dipost sebagai cuitan di twitter atau status di facebook. Itupun kata-katanya akan dipoles sedemikian rupa sehingga tidak terkesan curhat.
Jadi intinya, ditengah semua kegelisahan yang melanda, entah yang telah disebutkan diatas atau yang masih dalam unek-unek, aku mencoba untuk tetap ready for the day. Siap dalam artian aku tidak akan menyerah. Lebih lanjut aku akan tetap hidup untuk kemudian melihat masalah terselesaikan satu persatu.
Fighting Amelia ! You can do it !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H