Kemudian, ternyata saudaraku itu tidak mau membayar angsurannya. Entah alasan tidak maunya ini karena apa. Yang jelas setiap kita ingatkan dia justru marah-marah dan 'menyerang' seolah-olah kami yang bersalah. Tidak pernah ada pembicaraan 'baik-baik' untuk mendiskusikan perkara tanggung jawab hutang ini.
Maka mau tidak mau tanggung jawab angsuran berpindah ke ayahku. Masalahnya adalah, bahwa ayahku tidak menggunakan sepeserpun uang pinjaman bank itu. Jadi rasanya lebih seperti keluarga kami diperas.
Dan ayahku dengan 'keterbatasan' anggarannya harus membayar angsuran setiap bulan. Maka secara tidak langsung para anggota keluarganya terkena dampak secara keuangan. Ini masalah selanjutnya.
Aku pernah mencari-cari referensi seputar permasalah ini di internet. Dan hasil yang kudapatkan adalah bahwa jalan keluarnya adalah ayahku bisa melunasi pinjaman jika ingin 'terbebas'. Pertanyaanku, apakah pihak bank memiliki kebijakan untuk 'mendesak' agar tetap saudaraku yang menanggung tanggung jawab pinjaman ini ?
Kedua, ini seputar diriku sendiri. Sebagai anak pertama, aku terjebak antara membantu ayahku membayar hutang dan mengejar mimpiku. Namun disini aku memutuskan untuk memperjuangkan keduanya. Aku membantu ayahku, namun juga tetap memperjuangkan cita-citaku.
Aku, Amelia, memutuskan untuk tidak melepaskan apa yang telah kugenggam. Meski aku benci janji masa depan, namun aku tetap percaya bahwa suatu hari nanti aku dapat menemukan hari dimana aku tersenyum saat mengenang masa lalu. Ya, tersenyum saat mengenang hari ini.
Ketiga, ini soal adikku. Ini bukan Amelia, namun adik kandungku. Dia berada disekolah menengah tahun pertama ketika masalah pinjaman menghampiri keluarga kami. Sayangnya kini dia memutuskan untuk merantau ke Pekan Baru alih-alih fokus pada studinya.
Maybe dia memang sudah mempertimbangkan untuk memutuskan sesuatu dalam hidupnya. Toh dia juga memasuki umur dimana membuat keputusan tidak harus dibimbing. Namun sebagai anak pertama, aku merasa sedikit menyesal tidak bisa mendukungnya secara finansial agar dia fokus pada studinya.
***
Sekian kegelisahan hati ini Amelia sampaikan. Di dunia nyata aku tidak bisa menceritakannya secara bebas, maka kuputuskan untuk sedikit membaginya di lingkup digital.
Maafkan kalau Amelia terkesan lebay. Tulisan ini sendiri digarap pada malam sunyi, tepatnya malam minggu, dikamar kos yang sunyi sekitaran wilayah kampus IAIN Ponorogo. Jadi suasana memang support untuk sedikit menulis diary.