Semenanjung Korea sebagai salah satu titik panas geopolitik dunia semakin memasuki fase ketegangan yang kritis dewasa ini. Dilansir dari The Associated Press, pada Kamis, 12 September 2024, Korea Utara (Korut) kembali meluncurkan uji coba rudal jelajah bermuatan nuklir yang mendarat di antara perairan Semenanjung Korea dan Jepang (The Associated Press, 2024). Aksi ini merupakan kelanjutan dari klaim Korut pada tanggal 1 Juli 2024 lalu yang menyatakan telah melakukan pengujian senjata taktis baru yang mampu mengirimkan hulu ledak super dengan skala 4,5 ton. Manuver tersebut menandai eskalasi signifikan dalam program senjata Korut.
Secara lebih lanjut, pergerakan yang dilakukan di tengah serangkaian perjanjian strategis dengan Rusia ini telah memicu gelombang reaksi di kawasan tersebut, terutama dari Korea Selatan (Korsel) dan Jepang. Penandatanganan perjanjian strategis oleh Korut dengan Rusia (DPRK-Russia Comprehensive Strategic Partnership), diikuti oleh kerja sama militer Korsel, Jepang, dan Amerika Serikat (AS) (Joint Statement of the 15th Republic of Korea-United States-Japan Defense Trilateral Talks), semakin memanaskan atmosfer di Asia Timur. Ketegangan ini tidak hanya berdampak pada stabilitas regional tetapi juga memiliki implikasi yang jauh lebih luas bagi geopolitik global.
Potensi Pemanfaatan oleh AS dan Kepemimpinan Trump
Ketegangan ini juga membuka peluang bagi AS untuk memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan strategisnya. Menurut laporan Reuters, Korut menunjukkan minat untuk melanjutkan negosiasi nuklir dengan AS jika Donald Trump memenangkan pemilihan presiden 2024 (Reuters, 2024).
Jika Trump kembali terpilih sebagai Presiden AS, ada kemungkinan besar bahwa ia akan memanfaatkan ketegangan yang meningkat di Semenanjung Korea untuk memperkuat posisi strategis AS di kawasan tersebut. Trump dikenal dengan pendekatan “America First” yang tidak konvensional dan sering kali agresif dalam kebijakan luar negerinya.
Trump juga dapat bermain di dua kaki jika rencana kooperasi nuklir dengan Korut benar-benar dilanjutkan. Dapat dikatakan seperti itu karena di satu sisi Trump dapat menerapkan strategi kombinasi antara diplomasi langsung dan tekanan maksimum yang memungkinkan AS untuk menawarkan dialog dan insentif sambil tetap menjaga tekanan ekonomi dan militer yang signifikan terhadap Korut. Dengan memanfaatkan ketegangan ini, Trump dapat memperkuat posisi negosiasinya dengan menawarkan konsesi terbatas sambil menegaskan tekanan pada Korut.
Di sisi lain, ketegangan di Semenanjung Korea juga dapat digunakan AS untuk memperkuat aliansi dengan negara-negara sekutunya di Asia Timur. Korsel dan Jepang, yang merasa terancam oleh program nuklir Korut, mungkin akan mencari penguatan komitmen keamanan dari AS. Trump dapat memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat kerjasama pertahanan dan meningkatkan kehadiran militer AS di kawasan tersebut, sekaligus memperoleh dukungan politik domestik.
Implikasi pada Geopolitik Dunia Internasional dan Indonesia
Tidak dapat dipungkiri, ketegangan di Semenanjung Korea berdampak besar pada konstelasi geopolitik global. Ancaman nuklir yang terus meningkat dari Korut menciptakan situasi yang sering dijelaskan melalui konsep "security dilemma" (dilema keamanan). Konsep ini menggambarkan bagaimana upaya sebuah negara untuk meningkatkan keamanan nasionalnya, seperti pengembangan senjata nuklir, sering kali menyebabkan ketidakamanan di negara tetangga, yang pada gilirannya berusaha untuk memperkuat kemampuan militernya sendiri (Jervis, 1978). Fenomena ini menciptakan spiral ketidakamanan yang sulit dihentikan.
Dalam konteks ini, Korsel dan Jepang, yang merasa terancam oleh program nuklir Korut, telah memperkuat aliansi militer mereka dengan AS. Perkuatan ini termasuk peningkatan kerjasama dalam sistem pertahanan misil dan latihan militer bersama. Sementara itu, Rusia, yang memiliki kepentingan strategis di kawasan ini, cenderung mendukung Korut sebagai bentuk penyeimbang kekuatan terhadap dominasi AS di Asia Timur.
Konflik ini juga berdampak pada stabilitas pasar energi global. Ketegangan di Semenanjung Korea mempengaruhi jalur perdagangan energi yang penting, terutama di Selat Korea. Eskalasi ketidakpastian politik dan militer dapat menyebabkan lonjakan harga energi dan gangguan pasokan yang berdampak pada ekonomi global, termasuk negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia.
Indonesia, sebagai negara yang tergantung pada perdagangan internasional dan energi berpotensi merasakan lonjakan harga energi akibat ketegangan di Asia Timur sehingga dapat mempengaruhi biaya energi di Indonesia, yang pada gilirannya berdampak pada ekonomi domestik dan kesejahteraan masyarakat (Baldwin & Ghosh, 2021).
Secara regional, kondisi di Semenanjung Korea juga dapat mempengaruhi dinamika keamanan di Asia Tenggara. Ketegangan yang meningkat di Asia Timur bisa mendorong negara-negara besar seperti AS, China, dan Rusia untuk memperkuat kehadiran militer mereka di kawasan tersebut. Ini dapat menyebabkan perlombaan senjata atau peningkatan aliansi militer yang mempengaruhi stabilitas regional di Asia Tenggara. Indonesia, sebagai negara dengan posisi strategis di ASEAN perlu meningkatkan kesiapsiagaan dan kerja sama pertahanan regional untuk mengatasi kemungkinan spillover dari ketegangan ini (Mok, 2021).
Rekomendasi Strategis dan Kesimpulan
Sebagai tokoh utama dalam konflik ini, Korut perlu melanjutkan dialog dengan AS dan komunitas internasional dengan sikap konstruktif dan melakukan langkah-langkah konkret menuju denuklirisasi untuk mengurangi ketegangan dan memperoleh manfaat dari pengurangan sanksi. Melalui langkah tersebut, dampak dari isolasi ekonomi dapat dikurangi dan peluang untuk bantuan internasional serta investasi yang dapat mendukung pembangunan ekonomi dapat ditingkatkan.
Sementara itu, Korsel sebagai aktor yang secara langsung bersinggungan dengan Korut dapat terus memperkuat keamanan nasionalnya sambil tetap aktif dalam diplomasi multilateral. Korsel harus terus berkoordinasi dengan Jepang dan AS dalam membangun strategi pertahanan yang efektif sambil mendorong dialog dengan Korut untuk mencapai solusi damai. Korsel juga perlu berinvestasi dalam strategi pertahanan yang dapat melindungi kepentingannya di tengah ketidakpastian regional.
Selanjutnya, bagi negara berkepentingan seperti Rusia dan AS, keduanya juga harus mengambil sikap dalam problematika ini. Rusia harus mempertimbangkan untuk mengurangi dukungannya terhadap Korut dan berpartisipasi lebih aktif dalam solusi diplomatik. Kerjasama dengan AS dan negara-negara lain dalam kerangka kerja sama keamanan regional dapat membantu meredakan ketegangan. Sedangkan AS, di bawah kepemimpinan yang akan datang, harus mengevaluasi kembali kebijakan "America First" dan memprioritaskan strategi yang lebih multilateral. Pendekatan seimbang dalam berurusan dengan Korut yang mencakup insentif untuk denuklirisasi dan mekanisme verifikasi yang transparan dapat menjadi kunci untuk penyelesaian jangka panjang.
Di tingkat regional, negara-negara Asia Timur perlu mengadopsi pendekatan yang lebih kooperatif dalam mengelola ketegangan. Pembentukan mekanisme forum regional untuk dialog keamanan dan pencegahan konflik dapat menjadi langkah positif dalam menciptakan lingkungan yang lebih stabil.
Sedangkan secara global, komunitas internasional harus bersatu dalam mendukung upaya denuklirisasi Semenanjung Korea. Sanksi ekonomi harus dijalankan dengan tegas namun tetap mempertimbangkan aspek kemanusiaan, sementara dialog diplomatik harus didorong melalui platform-platform internasional seperti PBB. Dengan kerangka keamanan internasional yang lebih efektif dan inklusif, resolusi damai atas konflik lebih dapat difasilitasi.
Kemudian, meskipun tidak terdampak secara langsung, Indonesia juga harus meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi dampak ketegangan di Semenanjung Korea. Indonesia harus memantau situasi dengan cermat dan mempertimbangkan langkah-langkah untuk melindungi warganya di luar negeri. Selain itu, pemerintah Indonesia perlu meningkatkan kerjasama dengan negara-negara ASEAN untuk menangani dampak ketidakstabilan regional dan memastikan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia tetap responsif terhadap perubahan dinamika geopolitik. Sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dan negara yang berkomitmen pada keamanan regional, Indonesia dapat turut serta memperkuat perannya dalam diplomasi internasional melalui promosi dialog antarnegara secara aktif.
Pada akhirnya, ketegangan nuklir di Semenanjung Korea memang sebuah tantangan besar bagi stabilitas regional dan global. Kunci untuk menyelesaikan krisis ini terletak pada kombinasi diplomasi yang cermat, kerjasama internasional, dan komitmen yang kuat untuk denuklirisasi. Semua pihak yang terlibat harus memperhitungkan konsekuensi dari tindakan mereka dan bekerja menuju solusi yang konstruktif demi keamanan global dan kesejahteraan umat manusia.
Referensi:
Baldwin, D. A., & Ghosh, S. (2021). Global Economic Impacts of Regional Conflicts. Routledge.
Jervis, R. (1978). "Cooperation Under the Security Dilemma." World Politics, 30(2), 167-214.
Mok, K. (2021). Regional Security Dynamics in Southeast Asia. Cambridge University Press.
Reuters. (2024). "North Korea Wants to Restart Nuclear Talks if Trump Wins, Says Ex-Diplomat." Retrieved from https://www.reuters.com/world/asia-pacific/north-korea-wants-restart-nuclear-talks-if-trump-wins-says-ex-diplomat-2024-07-31/
The Associated Press. (2024). “North Korea launches multiple ballistic missiles after Kim vowed to bolster war readiness.” Retrieved from https://apnews.com/article/north-korea-missile-launch-south-a6ec6af18b153b46ff14999e1599f57d
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI