Uhuk.. Uhuk..
Untung tidak banyak mata bersaksi, pikirnya. Bisa banyak anggapan menghakimi dari dahak ini.Â
Lagi, wanita itu menangis sepanjang malam, mengelus sebuah jaket parka bermotif bunga. "Andai saja aku tidak mengijinkanmu pergi jauh.", Perandai-andaian lain selalu jadi teman setia wanita paruh baya ini. Andai aku, andai kamu, andai saja. Sayangnya, semua telah terjadi. Bujang semata wayang tidak lagi di atap yang sama. Tak dipungkiri rencananya apik, merealisasikan pepatah klasik tentang ilmu dan Jiran. Lagi-lagi wanita ini hanya mampu menyesal dan tidak bisa memberontak atas keadaan yang ia tidak tahu siapa bersalah.Â
Seorang diri, ya itulah dirinya. Terdiam meratapi sebuah keputusan yang berakhir penjemputan nyawa. Penyakit modern katanya, sebaran virus jahat kata orang-orang. Hatinya yang sudah sepi tanpa canda tawa, atau kadang perkataan kasar si gadis, kini makin lebih dari sepi.Â
Apa ada kata lain di atas sepi?
Jauh tingkat diatas kata sepi, yang ia rasakan.Â
Matanya semakin berat, terpejam meringkuk.
Uhuk.. Uhuk..
Semoga tidak ada yang dengar, batinnya lagi.
Uhuk..
 Terlelapnya dalam sepi.
Ahh... Rupanya gelap ini menjadi abadi untuknya. Kini gelapnya dan gelap sang gadis sama.
-The end-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H