Tidak adanya konsep melawan keterbatasan yang juga bisa dilakukan oleh para wanita, membuat kekolotan budaya patriarki tetap ada. Apa yang dirasakan oleh Ibu muda yang saya temui itu adalah bentuk penyimpangan hak dan kedaulatan wanita. Entah bagaimana, ibu tadi merupakan korban sistem yang dianggap paten. Bahwa wanita itu ada di rumah, menjaga anak.
Pemikiran sejenis feminisme yang kontra dengan patriarki di Indonesia sendiri masih sering sekali memperoleh penolakan publik. Baik itu dari para pemikir patriarki atau juga dari para wanita muslimah yang mengaku paham akan feminis, sayangnya abu-abu.Â
Bagaimana tidak abu-abu, feminis dianggap sebagai perlawanan terhadap dogma, agama. Dengan anggapan ketika wanita menjadi feminis akan ditakutkan, mengingkari kodrat wanita melengkapi pria karena bisa menghalalkan LGBT. Nampaknya wanita muslim yang semacam ini harus kembali membaca seperti apa feminis yang sebenarnya.Â
Bahkan jika ditinjau, Siti Khadijah juga feminis. Ia merupakan seorang pedagang sukses di sisi menjadi ibu rumah tangga pada masanya. Tak hanya itu, fakta lain bahwa Siti Khadijah tidak mengikuti batasan yang menyatakan ketegasan hanya dimiliki pria.Â
Buktinya, yang melamar Rasulullah ialah Siti Khadijah, menyatakan cintanya terlebih dahulu. Tanpa kenal adanya paham pada wanita yang selalu rawan dengan jebakan kata "malu dan sungkan". Â
Konsep pemikiran feminis dari Betty Friedan dalam bukunya The Problem Has No Name, juga memberikan pencerahan pada para wanita yang memilih menikah muda dibanding sekolah, dengan anggapan suami tidak boleh berpendidikan tersaingi oleh wanita pada masa itu.
Lantas bagian mana dari konsep ideal feminis yang mengingkari dogma?
Tak dipungkiri ketakutan akan feminis di mata para wanita muslimah ini selain karena kurangnya informasi, juga adanya feminis yang menyimpang. Feminis secara dasarannya harus membawa motivasi pada wanita lain untuk berjuang. Berjuang melawan keterbatasan, kebodohan dengan belajar, dan lain-lain.
Namun ada saja feminis yang salah alamat dengan mendeklarasikan dirinya feminis namun kemudian menjadikan alasan untuk membenci pria. Tidak ingin hidup berdampingan dengan pria. Lebih baik seks bebas dan menyakiti pria. Hal ini feminis salah alamat. Yang harus diperangi ialah patriarki bukan pria.Â
Patriarki tidak hanya selalu seorang pria dan begitupun feminis yang tidak selalu seorang wanita. Dengan feminis salah alamat ini, tentu rawan sekali menyebabkan konsep faedah feminis ditolak masyarakat, mengingat masyarakat yang tidak ingin mengetahui detail lebih lanjut akan apa yang terjadi masih banyak.
Kontribusi wanita untuk merdeka masih minim. Lihat saja pada kontribusi wanita dalam dunia pekerjaan di pasar tenaga kerja Indonesia. Setiap tahun masih stagnansi di angka kontribusi yang kecil.Â