Mohon tunggu...
Devia Nalini Sheera
Devia Nalini Sheera Mohon Tunggu... lainnya -

Banyak hal yang perlu diluruskan, jadi temani aku untuk memahaminya..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nusantara: Kemala yang Terpendam

11 Agustus 2013   02:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:27 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kondisi alam. Iya. Alasannya karena adanya perbedaan pada kondisi alam. Ketika para Leluhur Bangsa Indonesia menginjakan kakinya di daratan Sunda dan Sumatera atau Melayu, maka jelas pola pikir manusia yang harus dirubahbukan alam setempat yang harus mengalami perubahandiubah paksa. Kembali cara yang sama pun dilakukan: memahami kondisi dan gejala alam setempat. Setelah itu akan dilakukan kolaborasi budaya yang dibawa semula atau membuang beberapa aturan yang tidak sesuai karena faktor ketidak-cocokan dengan kondisi dan gejala alam setempat. Dari cara itu, maka lahirlah aturan baru untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Karena itu kita melihat Nusantara kini terkenal memiliki banyak budaya. Sekali lagi, kita harus sangat berterimakasih pada para Leluhur Bangsa Indonesia yang membangun Nusantara dengan cara mereka yang arif dan bijaksana lagi sangat brilian: sejatinya manusia.
Budaya lalu Agama
Jika dengan pemikiran awam atau terlepas pemahaman kita akan Al-Quran sebagai pedoman atau aturan kehidupan karena mengingat para Leluhur Bangsa Indonesia terlahir jauh sebelum Al-Quran diturunkan (sebelum Nabi Muhammad SAW lahir: abad ke 7 Masehi), dapat kita tarik benang merah tentang dari mana sebuah aturan kelembagaan manusia bahkan aturan kehidupan berasal. Sungguh beruntung kita yang disebut sebagai manusia kekinian karena terlahir setelah Allah menurunkan Al-Quran. Pasalnya kita tak perlu lagi berpikir keras mempelajari alam semesta untuk melahirkan sebuah aturan guna menjaga keseimbangan alam semesta guna keberlangsungan manusia. Karena hal itu telah dituliskan Allah dalam QS. Ibrahim, 14:1Alif Lam Ra. (ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Terpuji.

Begitu juga Allah tuliskan tujuan Kitab Allah diturunkan dalam QS. Al Mumin 40:54untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang berpikir. Karena itu berarti tidak serta merta manusia kekinian tak lagi harus berpikir tentang bagaimana menjaga keseimbangan alam semesta guna keberlangsungan manusia itu sendiri. Itu pula alasan mengapa Allah memberikan akal kepada manusia sebagai makhluknya yang sempurna dari makhluk ciptaan Allah yang lain. Pun itu alasan mengapa Allah menyematkan kodrat manusia sebagai Khalifah di muka bumi yakni menjaga bumi dari kerusakan yang sekali pun juga ada kerusakan disebabkan dari golongan manusia itu sendiri.

Sebagian orang berpikir: Allah sudah menciptakan alam semesta dalam keseimbangan. Tapi semua itu tetap akan binasa pada waktunya. Jadi kenapa harus takut ketika alam semesta tidak lagi seimbang dan mendapati kehancuran itu sendiri. Dan itu kebanyakan manusia kekinian berpikir seperti itu. Maka tidak heran jika kasus korupsi dimana-mana, pembalakan hutan habis-habisan, ekosistem hutan hancur dan mengalami kepunahan, sumber daya alam dieksploitasi gila-gilaan hinga meyisakan bukti nyata semburan lumpur Sidoarjo, Jawa Timur yang tidak berhenti hingga saat ini. Kita harus sadar, ketidak-seimbangan alam semesta itu sudah terjadi. Dari kondisi dan gejala alam yang kita rasa hingga kondisi sosial masyarakat yang terjadi saat ini. Para Leluhur Bangsa Indonesia telah mengupayakan cara bagaimana menjaga keseimbangan alam semesta sebagaimana kodrat manusia itu sendiri sebagai penjaga bumi dari kerusakan sejak dulu dan telah menjadi ilmu tinggi yang diwarisi dan dikemas dengan nama Budaya.

Jika kita berpikir bahwa Kitab Allah diciptakan dan diturunkan sebagai peringatan maka sudah jelas bahwa Budaya lahir lebih dulu. Karena itu Kitab Allah diciptakan dan diturunkan dengan tujuan sebagai peringatan manusia yang berpikir. Dan itu sangat jelas dituliskan Allah pada QS: Ar Rahman. Lantas mengapa kita memperdebatkan sebuah paham atau konsep ini salah dan itu benar? Seperti halnya Komunal Kalimantan yang dikenal hingga kini merupakan penganut Animisme menjadikan pemahaman masayarakat umum bahwa mereka tidak mempercayai adanya Tuhan. Karena itu sebuah paradigma Komunal Kalimantan menjadi lebih ke arah mistis atau dengan kata lain menyeramkan karena lebih mempercayai roh-roh yang sudah mati atau yang biasa digeneralkan dengan sebutan hantu atau setan.

Kecenderungan perubahan paradigma ini lahir karena lahirnya labelitas aturan dengan sebutan Agama. Karena dituliskan dalam Kitab Suci Agama bahwa Setan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Mari kita berpikir sebagai manusia sebelum labelitas aturan dengan sebutan Agama lahir atau sebelum Allah menurunkan Al Quran 14 abad lalu. Kemudian mari kita pikirkan mengapa para Leluhur Bangsa Indonesia yang menginjakan kakinya di Kalimantan menggunakan paham atau aturan mempercayai bahwa setiap benda memiliki roh atau jiwa. Ini bukan tentang pemahaman menuhankan roh atau benda-benda, melainkan sebuah bentuk implementasi penghargaan manusia terhadap alam. Ini juga salah satu bentuk upaya menjaga keseimbangan alam semesta guna keberlangsungan manusia.

Manusia yang diciptakan dengan akal memiliki hati yang welas asih atau penyayang yang terlahir dari rasa kebersamaan atau tepatnya lahir dari kehidupan yang berdasarkan pada kekeluargaan. Menjaga adalah bentuk menghargai. Maka menjadikan pemahaman bahwa setiap benda memiliki roh atau jiwa tidak melulu tidak mempercayai adanya Tuhan yang menciptakan. Lantas bagaimana pandangan manusia kekinian akan kepercayaan Komunal Kalimantan dengan adanya Ranying Hattalalangit (Tuhan Yang Maha Tunggal) yang memiliki sifat di antaranya Maha Pencipta dan Maha Penyayang. Kepercayaan itu sangat jelas dipegang teguh oleh Komunal Kalimantan dalam suatu aturan adat bernama Kaharingan (Kehidupan). Maka telah jelas, para Leluhur Bangsa Indonesia, khususnya Komunal Kalimantan jauh sebelum datangnya bangsa kolonial Belanda telah memahami Ilmu Tauhid dan Makrifat.

Maka dari kepingan pemahaman yang didapat dari tanah Kalimantan yang semula bernama Tajung Nagara (daratan yang memiliki aliran air) itu, aku dihadapkan dengan berbagai pola-pola tentang bagaimana Nusantara terbentuk, bagaimana persebaran manusia dan aturan hidup menjadi sebuah budaya yang luhur hingga menghantarkan Nusantara mencapai masa kegemilangannya menjadi Mercusuar Dunia pada masa Abad ke 7 Masehi. Dari berbagai pola yang kutemukan: tidak ada satu pun cerita yang mengarah pada penjelasan perpecahan karena masalah perebutan kekuasan antar keluarga. Sekali lagi, bangsa kolonial Belanda sangat pandai dalam agitasi dan propaganda memecah-belah persatuan Nusantara dalam politiknya yang bernama Devide et Empire.
Jangan Terprovokasi karena Kesukuan dan Konsep Aturan Hidup
Realita mencatatkan rangkaian Sejarah Nusantara pasca hadirnya bangsa kolonial Belanda: perang saudara karena Kesukuan dan Konsep Aturan Hidup yang kini dilabelitaskan dengan sebutan Agama. Tragedi Sampit merupakan pelajaran hidup Bangsa Indonesia yang cukup membekas sebagai peringatan bagi manusia yang berpikir. Sudah semesetinya kita berpikir mengapa harus ada kesukuan bagi manusia Nusantara yang mendiami daratan atau pulau tertentu. Padahal budaya luhur yang diwarisi para Leluhur Bangsa Indonesia jelas berasal dari akar pohon yang sama. Hakikat perbedaan bukan pada budaya melainkan kondisi alam yang kita diami atau tempati. Faktor itu yang kemudian melahirkan perubahan pada budaya yang dibawa dalam persebaran manusia di Nusantara.

Catatan lain adalah Tragedi Poso. Perang saudara karena perbedaan konsep aturan hidup yang melatarbelakangi peristiwa ini. Jika para Leluhur Bangsa Indonesia mengajarkan bahwa Tuhan Maha Tunggal maka konsep apa pun itu tidak akan menjadi perdebatan yang meruncing pada pecahnya perang saudara. Karena konsep apa pun itu: Tuhan Yang Maha Tunggal hanya akan mengajak manusia untuk menerapkan prilaku benar. Yakni menjaga bumi dari kerusakan sebagaimana Tuhan telah menetapkan kodrat makhluk golongan manusia sebagai Khalifah di muka bumi. Istilah menjaga bumi dari kerusakan maka sudah mutlak tidak akan mengajak manusia untuk berperang dengan keluarganya sendiri karena itu akan menyebabkan ketidak-seimbangan alam semesta yang berdampak pada keberlangsungan manusia.

Maka jika budaya Nusantara berasal dari akar pohon yang sama dan konsep aturan hidup semuanya tentang bagaimana Tuhan Yang Maha Tungal mengajarkan manusia untuk hidup yang benar, mengapa kita masih mudah terprovokasi untuk memilah melepaskan mandau, keris, parang, pedang, golok, atau senapan dari sarungnya untuk membasahi Tanah Nusantara dengan darah keluarga kita sendiri? Jadi berhentilah memperpanjang perdebatan bahwa suku A lebih benar atau lebih tua dari Suku B atau Suku Z. Dan atau perdebatan soal konsep aturan hidup 1 lebih benar dari konsep aturan hidu 2. Nusantara Satu menaungi banyak alam yang berbeda dengan budaya yang berasal dari akar pohon yang sama yakni aturan adat tentang bagaimana menjaga keseimbangan alam semesta guna keberlangsungan manusia. Sedangkan aturan adat yang dibuat oleh para Leluhur Bangsa Indonesia tidak terlepas dari pemahaman mereka akan alam semesta dan Penciptanya Yang Maha Tunggal.

Terkhususkan soal pemahaman para Leluhur Bangsa indonesia yang mempercayai Tuhan Yang Maha Tunggal perlu dipahami dengan benar. Penyebutan paham ini acap kali berbeda di setiap daratan karena adanya perubahan budaya yang disebabkan kondisi dan gejala alam yang berbeda. Namun perbedaan ini menjadi suatu pemahaman yang general oleh kolonial bangsa Belanda. Kekurangan informasi karena kondisi dan gejala alam yang berbeda di Belanda dengan di Nusantara yang menyebabkan pola pikir pemahaman kolonial bangsa Belanda seperti ini. Alhasil penyebutan dan cara yang berbeda digeneralkan oleh kolonial bangsa Belanda dengan sebutan Agama. Mengapa demikian? Karena kolonial Bangsa Belanda tidak melewati fase awal lahirnya budaya. Mereka terlahir saat pemahaman Agama sudah lahir dan jauh sesudah Budaya mengalami banyak perubahan. Karena itu juga mengapa masyarakat Indonesia harus berbangga hati sebagai bangsa yang memiliki budaya. Jelas sekali bukan? Karena bangsa lain tidak memiliki budaya. Pemahaman mereka tentang alam semesta lahir setelah labelitas Agama lahir. Karena itu mereka tidak mampu memahami benar bagaimana formula menjaga keseimbangan alam semesta. Kecuali jika mereka adalah manusia berpikir.

Pemahaman kolonial bangsa Belanda yang minim itu yang kemudian menjadikan ambigu di kalangan masyarakat Indonesia. Pemahaman kolonial bangsa Belanda tentang ketatanegaraan atau pemerintahan Nusantara dari catatan Sejarah Nusantara diperoleh bahwa sistem pemerintahan Nusantara dipengaruhi oleh keyakinan yang dipegang saat itu yang notabene dimaksudkan oleh mereka sebagai agama ini maka lahirlah penyebutan-penyebutan untuk setiap keyakinan yang ada: Hindu Syiwa, Budha Mahayana, dan lainnya. Sekali lagi masih berdasarkan pemahaman kolonial bangsa Belanda tentang itu semua, mereka menjadikan pemahaman itu sebagai dasar memilah politik perang mereka untuk melakukan ekspansi ke Nusantara. Rangkaian itu masih melekat kuat pada pola pikir masyarakat Indonesia hinga saat ini. Sekali lagi, kecuali jika mereka adalah manusia berpikir.
Luruskan Sejarah Nusantara
Luruskan sejarah! pekik kebanyakan orang hari ini. Mengapa pernyataan itu harus dibuat? Haruskan ada upaya untuk meluruskan sejarah? Khususnya catatan perjalanan panjang Sejarah Nusantara. Bagaimana meluruskannya? Kita hanya bisa saling berpandangan dalam sebuah ruang bernama kolom opini. Lantas perdebatan panjang dari semua institusi akan mengusik eksistensi masing-masing dalam ruang itu. Kemudian akan ada sebuah pertanyaan di antara banyaknya pertanyaan: untuk apa kita memperdebatkan itu semua?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun