Kekhawatiran persoalan disampaikan oleh Asep, pengacara anak dari LAHA. Berkaca dari kepribadian anak yang unik, ragam pengalaman pendampingan anak berkonflik dengan hukum sempat ia ceritakan pada kami, dimana anak mengalami intimidasi dan pengaruh negatif dari lingkungan sekitarnya, saat itu terjadi pada sebuah lembaga swasta. Karena merasa tertekan anak memiliki keinginan kabur dan atau mengikuti arahan dari orang-orang yang memberikan pengaruhnya di tempat tersebut.
Selain dibutuhkan oleh anak yang menjalani penahanan, anak yang berhasil diversi tingkat  penyidikan, penuntutan maupun di tingkat pemeriksaan di pengadilan pun, sebenarnya membutuhkan keberadaan LPKS. Sebagai hasil kesepakatan diversi, diamanatkan dalam UU SPPA pasal 10 ayat (2) huruf c, di mana anak diikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 bulan.Â
Namun, jika melihat data administratif dari Kementerian Sosial, pada tahun 2020, hanya terdapat 98 LPKS di Indonesia. Jumlah ini belum sebanding dengan jumlah kabupaten/kota yang ada di Indonesia, meski telah diamanatkan dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 26 Tahun 2018, yakni LPKS dapat dibentuk sampai tingkat kabupaten/kota.
Peran LPKA dan Kebutuhan Regulasi yang Jelas
Di sisi lain, terbatasnya dukungan sarana dan prasarana juga menjadi tantangan bagi LPKA untuk memenuhi hak-hak dan keperluan anak yang tidak sedikit. Meski LPKA Bandung yang kini menjadi LPKA pusat di Jawa Barat sudah ideal dan bersertifikasi ramah anak oleh Kementerian PPA didukung dengan pola pendekatan yang berfokus pada pemulihan dan reintegrasi ke masyarakat dari program-program untuk tumbuh kembang anak, seperti pendidikan formal dan nonformal, hingga kepramukaan dan pendidikan agama. Namun kejelasan dari UU SPPA belum menjamin kewajiban peran dari yang mengelola.Â
"Aturan sudah ada, tapi tanggung jawab siapa kan belum jelas diatur, kaya misal kesehatan, kan harusnya sudah diatur, ya itu tadi dengan segala keterbatasan LPKA tidak punya kewenangan untuk menyelenggarakan, berarti ada instansi lembaga lembaga lain, nah disini belum diatur. Kalo di sini sih alhamdulillah sudah berjalan, tapi ingin lebih jelas lah, ada payung hukumnya, termasuk juga instansi lembaga, kan mereka punya payung hukum, mereka akan didukung anggaran," jelas Roni, Kepala Seksi Pembinaan LPKA Kelas II Bandung, dalam menjawab pertanyaan bahwasanya dibalik jalinan kerjasama mitra dengan Kementerian Negara, LPKA berjalan atas rasa tanggung jawab dan inisiatif, akibat terdapat kerancuan dalam UU yang mengatur.
Nampaknya perjalanan pembenahan boleh jadi masih panjang, yang tertulis dan kenyataannya seringkali masih berbeda. Mencuat untuk ditelusuri kiranya, UU yang tertulis itu, sudah seharusnya bisa menjadi payung hukum yang jelas, bukan hanya sekadar pedoman yang samar. Akankah kita terus bergantung pada inisiatif yang belum tentu terjamin? Ataukah sudah saatnya untuk memperjelas aturan, agar tak ada lagi ruang abu-abu dalam implementasinya?
Tim Penulis:
Devia Husna (210610220006), Malika Dwinissa (210610220014), Ghina Nur syifana (210610220026), dan Ananda Hilma Azizah (210610220040)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H