Mohon tunggu...
Devia Husna
Devia Husna Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Jurnalistik

will beyond

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ruang Abu-Abu Peradilan Anak, Masalah Nyata yang Tak Kunjung Sirna

12 Desember 2024   22:35 Diperbarui: 12 Desember 2024   22:35 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peran Paralegal dalam Diversi Tingkat Masyarakat

Dudu, ketua paralegal Desa Cibiru Wetan. (Sumber: Doc.Pribadi)
Dudu, ketua paralegal Desa Cibiru Wetan. (Sumber: Doc.Pribadi)

Dudu, ketua paralegal Desa Cibiru Wetan menuturkan pada kami bahwa 15 orang paralegal yang terbentuk bukan berasal dari latar belakang hukum, melainkan berangkat dari pembekalan materi hukum dan hukum anak yang mereka dapat secara berkala dari jalinan kerjasama dengan LAHA dan pihak-pihak lain seperti instansi pendidikan.

Hadir di tengah masyarakat sejak tahun 2017, paralegal di Desa Cibiru Wetan telah mendampingi dan menjadi bagian dari proses diversi anak-anak yang terjerat konflik. Sebagian besar kasus berhasil diselesaikan dengan musyawarah antar pelaku-korban, yang juga melibatkan keluarga dari kedua belah pihak.

Meski paralegal dapat mengambil fungsi sebagai salah satu komponen penting dalam sistem diversi, tentunya di lapangan, diversi tak serta-merta selalu berjalan mulus. Menurut Dudu, diversi memiliki tantangan tersendiri, baik dari pihak korban, maupun dari pelaku. Sering kali, tantangan muncul dari salah satu pihak yang tidak mau melakukan keadilan restorasi, di mana pihak korban, tetap menginginkan untuk melapor ke aparat kepolisian dan tak ingin melakukan diversi. Tantangan lain juga muncul dari sisi pelaku, terutama keluarganya, di mana terdapat kasus keluarga pelaku enggan melaporkan kasusnya ke paralegal, dengan dalih tak mau membuka aib. Hal ini merujuk kembali pada stigmatisasi yang tak kurun dapat dihindarkan. Meskipun begitu, Dudu menuturkan bahwa paralegal tetap memainkan peran penting dalam diversi dengan harus siap sedia saat ada pelaporan untuk melakukan berbagai cara, agar keadilan restorasi tetap berjalan sebagaimana mestinya. 

"Jadi paralegal itu fungsinya ketika ada pelaporan kasus, kalau bisa sih jangan sampai dulu lapor ke pihak berwajib. Ada namanya restorative justice, jadi kalau bisa diurus dulu deh tingkat keluarga, apa permasalahannya, apakah bisa diselesaikan dengan kita. Tapi kalau yang berat-berat, kami paralegal juga pasti akan menyerahkan ke pihak yang berwajib ya, kalau (kasus) seperti itu kan, hukumannya kalau di atas 5 tahun, itu sudah haknya pihak berwajib. Tapi kalau ancamannya masih 2-3 tahun (misalnya dalam kasus) perkelahian, itu masih kami bisa atasi," jelas Dudu.

Adanya paralegal di tingkat desa, merupakan salah satu perwujudan pemenuhan hak anak, seperti yang telah diamanatkan dalam UU SPPA. Namun, jumlah paralegal di Indonesia masih belum mencapai titik ideal. Dilansir dari laman resmi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), BPHN sebenarnya telah mendorong Desa/Kelurahan Sadar Hukum (DSH) untuk melahirkan paralegal desa, terutama dari Keluarga Sadar Hukum (Kadarkum). Namun, pada praktiknya, data menunjukkan hingga Januari 2020, terdapat 5.744 Desa/Kelurahan Sadar Hukum dari total 81.239 desa/kelurahan di Indonesia. Paralegal di desa bertujuan untuk mengisi kekosongan advokat di wilayah terpencil dan mendukung advokasi kebijakan agar masyarakat rentan tetap mendapat hak setara, salah satunya ialah membantu diversi di tingkat masyarakat pada kasus ABH.

Tantangan Sarana dan Prasarana

Ketika diversi gagal, anak sering kali harus menjalani penahanan. Idealnya, mereka ditempatkan di Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) yang dirancang untuk penahanan sementara, sembari menunggu datangnya sidang selanjutnya.  Tetapi, realitanya, selain permasalahan jumlah paralegal yang belum merata sebagai sarana diversi tingkat masyarakat, salah satu permasalahan yang dihadapi adalah kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana berupa Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) di daerah, khususnya dalam hal ini Kota Bandung. LPAS sendiri berfungsi sebagai tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung, sementara LPKS berfungsi sebagai lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak.

Merujuk pada UU SPPA pasal 33 ayat (4), negara mengamanatkan bahwa "Penahanan terhadap Anak dilaksanakan di LPAS", dan dilanjut dengan ayat (5), "Dalam hal tidak terdapat LPAS, penahanan dapat dilakukan di LPKS setempat". Meski tertuang jelas pengamanatan dalam UU SPPA, sampai saat ini Kota Bandung belum memiliki LPAS dan LPKS pemerintah. Sehingga, anak-anak yang masih dalam masa penahanan, dititip ke LPKS swasta, atau bahkan dititip langsung ke LPKA, yang seharusnya menjadi tempat terakhir dalam proses hukum. Ketiadaan fasilitas ini tidak hanya menjadi bukti ketidaksiapan sarana dan prasarana negara, lebih jauh juga meningkatkan kekhawatiran risiko trauma dan memengaruhi kondisi psikologis mereka.

Asep, Pengacara Anak Lembaga Advokasi Hak Anak (Sumber: Doc. Pribadi)
Asep, Pengacara Anak Lembaga Advokasi Hak Anak (Sumber: Doc. Pribadi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun