Mohon tunggu...
Devia Husna
Devia Husna Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Jurnalistik

will beyond

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ruang Abu-Abu Peradilan Anak, Masalah Nyata yang Tak Kunjung Sirna

12 Desember 2024   22:35 Diperbarui: 12 Desember 2024   22:35 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dudu, ketua paralegal Desa Cibiru Wetan. (Sumber: Doc.Pribadi)

Di balik upaya perbaikan sistem peradilan anak, tantangan justru datang dari keterbatasan sarana dan prasarana. Meski berusaha memberikan yang terbaik, anak-anak tetap memerlukan perlindungan utama dari keluarga dan masyarakat. Dengan segala keterbatasan yang ada, serta proses diversi tingkat masyarakat yang belum maksimal, bagaimana kita bisa memastikan hak anak terlindungi dengan sempurna?

Anak Berhadapan dengan Hukum: Pelaku, Korban, atau Saksi?

Di Indonesia, kita sering mendengar tentang kasus-kasus hukum yang melibatkan anak, baik sebagai pelaku, korban, atau saksi. Namun, istilah Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) mungkin masih terdengar asing bagi sebagian orang.

Merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak atau UU SPPA, Anak Berhadapan dengan Hukum mencakup 3 aspek; anak yang berkonflik dengan hukum, adalah anak yang berusia antara 12 hingga sebelum 18 tahun dan diduga melakukan pelanggaran hukum atau tindak pidana; anak yang menjadi korban tindak pidana, yakni anak yang belum berusia 18 tahun yang mengalami kerugian fisik, mental, atau ekonomi akibat tindak pidana; dan anak yang menjadi saksi tindak pidana, yakni anak yang belum berusia 18 tahun dan dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

Meski menyandang label "berhadapan dengan hukum", anak-anak tetap memiliki hak yang berlaku dalam proses hukum tersebut. Korban dan saksi, misalnya. Dalam UU SPPA disebutkan bahwa anak korban dan anak saksi memiliki hak upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga; jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial; dan kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Lantas, bagaimana dengan anak yang berkonflik dengan hukum? Apakah mereka memiliki haknya juga? 

Hak Pembelaan Hukum Bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

Prinsip "semua orang sama di mata hukum" adalah jawabannya. Namun, definisi adil menjadi sorotan ketika negara harus menyikapi persoalan individu dengan batasan usia ini (dibaca: anak). Perlakuan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum memerlukan pendekatan yang lebih hati-hati, yang mempertimbangkan usia, perkembangan, dan kebutuhan anak tersebut.  

Diamanatkan dalam UU SPPA, anak berkonflik dengan hukum juga berhak mendapat hak pembelaan hukum. Pembelaan hukum tersebut tidak selalu melalui jalur penghakiman hakim yang formal. Sebagai gantinya, salah satu bentuk perlindungan yang diberikan adalah diversi, yaitu proses penyelesaian perkara di luar pengadilan. Diversi memberi kesempatan bagi anak untuk menghindari stigma negatif dan dampak buruk dari proses peradilan yang panjang. Dalam mekanisme diversi, pihak yang terlibat, termasuk korban dan keluarga anak, dapat mencari solusi yang lebih rehabilitatif dan restoratif, seperti mediasi atau musyawarah yang mengarah pada pemulihan, bukan penghukuman.

Dengan demikian, hak pembelaan hukum bagi anak berkonflik dengan hukum lebih menekankan pada pendekatan yang memprioritaskan kepentingan terbaik bagi anak, yang merujuk pada pembinaan dan reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Dalam hal ini, diversi memastikan bahwa anak tidak hanya dilihat sebagai pelaku, tetapi juga sebagai individu yang masih memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang dengan cara yang lebih positif, tanpa kehilangan hak-haknya sebagai seorang anak. 

Pemahaman tentang menyelesaikan dan menyikapi hak-hak anak berkonflik dengan hukum saat ini belum merata di lingkungan keluarga dan masyarakat. Data statistik pergaulan bebas pada anak meningkat tiap tahunnya bukan menjadi sebuah pencapaian melainkan sebuah keresahan bahwa ada yang perlu diselesaikan. Ini adalah keresahan sebagian besar orang yang berkecimpung dalam pemenuhan hak-hak dan hukum anak. Lembaga Advokasi Hukum Anak, adalah salah satu lembaga yang mengambil sikap dari persoalan ini. Menggandeng Desa Cibiru Wetan, program LAHA berhasil mengadvokasi pemangku kebijakan desa untuk paham akan hak-hak anak dan diversi anak berhadapan dengan hukum sehingga tercipta pemahaman yang baik pada masyarakatnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun