Mohon tunggu...
Devi P. Wihardjo
Devi P. Wihardjo Mohon Tunggu... Editor - Hidup Yang Menghidupkan

Pemerhati Pemerintahan, Politik, Sastra, Filsafat, Ekonomi Indonesia, Pendidikan dan Teknologi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Jalan Tengah Ala SBY

18 Oktober 2019   16:00 Diperbarui: 18 Oktober 2019   17:10 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi negarawan di Indonesia yang beragam ini haruslah yang punya rasa rela dan ikhlas mengurus bangsa dan punya niat baik, meskipun kadang niat baik saja tidak cukup. SBY yang hadir menjadi pemimpin Indonesia dimasa transisi pasca reformasi membuat SBY memahami karakteristik mobilitas politik di Indonesia. Rasa semangat untuk membangun bangsa merupakan niat baik yang harus dipenuhi oleh para politisi, sehingga terhindar dari perilaku destruktif.

SBY juga agaknya melihat struktur berfikir para tokoh bangsa, sebab Pancasila itu sendiri merupakan jalan tengah sebuah kompromi dan konsensus yang menjadi jalan terbaik bagi bangsa Indonesia.  Pemikiran politik baru merupakan tindakan atas perubahan sosial yang terjadi, SBY mungkin saja melihat ada dua kutub yang bersebrangan yang sulit sekali menyatu akibat berbagai macam perbedaaan yang tak bisa lagi disatukan dengan keihlasan sekalipun harus ada kesepakatan bersama yang menguntungkan bangsa Indonesia bukan hanya menguntungkan kedua kutub itu.

Dua kutub yang berseberangan ini memungkinkan benarnya seorang strukturalis asal Inggris Anthony Giddens dalam tesisnya "sebuah jalan tengah". Namun, jalan tengah dimaksudkan di sini adalah bagaimana ideologi Pancasila yang berada di antara keduanya sebab kearifan lokal Indonesia sudah lebih tua dibanding Pancasila itu sendiri.

Giddens menyebutkan jalan tengah itu masih mempertahankan nilai-nilai dasar kedua ideologi, tetapi dengan melakukan modifikasi terhadapnya. Misalnya, mendamaikan nilai "kebebasan" dengan "keimanan". Kompromi ideologis justru bermuara pada konsensus ideologi yang sama, yaitu Nasionalisme-Agama. Dalam konteks kini, masyarakat baru itu adalah konstruksi sosial yang berpegang kuat pada kebebasan, keadilan dan solidaritas sehingga masyarakat hidup makmur sekaligus bertanggungjawab secara sosial,  ini yang disebut demokrasi sosial.

Kita patut bersyukur hidup di Indonesia dengan segala kopleksitasnya dan konfliknya, orang Indonesia sudah terbiasa dengan budaya musyawarah dan gotong royong, jika dua budaya itu hilang, ada pertanyaan yang harus kita ajukan kepada diri kita masing-masing, sudahkah kita mengenal Indonesia dengan baik?. Sudahkah kita ikhlas ditakdirkan menjadi bangsa Indonesia?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun