Sisanya yang tinggal melanjutkan perjalanan ke nusantara. Namun, di tengah perjalanan, kapal mereka dihantam badai. Ketika semua orang panik, tiba-tiba sebuah suara datang entah dari mana. Suara itu mencoba menenangkan semua orang. Suara tersebut diyakini sebagai suara Dewa Baruna atau salah satu dari Xiongdi Gong.
Setelah mendengar suara tersebut, salah satu penumpang kapal kemudian mencoba menyalakan dupa sambil berdoa. Ajaibnya, badai itu hilang!Â
Maka setelah itu, seluruh kapal berjanji akan membuatkan kuil untuk Dewi Shui, atau Stana untuk Dewa Baruna, jika mereka sampai di daratan. Kapal bersandar di Tanjung Benoa dan kemudian para pedagang yang tersisa membangun Kelenteng Caow Eng Bio.
Menjadi pura tertua di Bali, tak lantas membuat Caow Eng Bio sepi pengunjung. Bahkan, pura ini masih ramai dikunjungi orang yang ingin beribadah. Tidak hanya orang Kong Hu Chu, tetapi juga umat Hindu, karena ini juga merupakan stana Dewa Baruna. Selain ibadah sehari-hari, momen yang paling ditunggu di sini adalah Cap Go Meh.Â
Hari terakhir perayaan Imlek biasanya dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan seni, seperti barongsai, bela diri wushu, dan musik klasik oriental. Riuh suara penabuh kendang, simbal, dan gong memeriahkan suasana pura, ditambah suara tepuk tangan dari pengunjung saat barongsai mulai datang.
Biasanya, perayaan di Klenteng Caow Eng Bio dipadati oleh warga keturunan Tionghoa dan warga setempat. Hal ini mencerminkan kerukunan antar etnis di tanah air. Tak jarang juga ada turis asing yang ingin menyaksikan acara Cap Go Meh di Klenteng Caow Eng Bio.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H