Kita tahu ketika seorang bayi sedang lapar, mereka akan menangis sehingga hal itu memberikan isyarat agar sang ibu segera memberikan mereka ASI (Air Susu Ibu). Pemberian ASI yang tiba-tiba tanpa memandang keadaan ini tentunya menuntut sang ibu untuk sigap di segala kondisi dan situasi.
Oleh karena itu, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Eksklusif, pemerintah memberikan dukungan kepada para busui (ibu menyusui) pekerja agar dapat melaksanakan kewajibannya memberikan ASI eksklusif bagi buah hatinya di tempat mereka bekerja.
Selain itu, Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu. Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah ASI ini selanjutnya disebut dengan Ruang Laktasi.
Ruang Laktasi adalah ruangan khusus yang hanya disediakan bagi busui dan bayi agar merasa aman dan nyaman ketika kegiatan menyusui sedang berlangsung. Selain itu, ruang laktasi juga merupakan tempat bagi ibu pekerja yang tidak sempat tidak sempat atau jauh dari buah hatinya untuk memompa ASI agar sang anak tetap mendapatkan ASI eksklusif dari sang ibunda.
Maka tidak heran apabila sejauh ini telah terdapat tidak sedikit Ruang Laktasi yang diadakan pada fasilitas kesehatan masyarakat dan kantor pemerintahan maupun kantor swasta.
Kegiatan menyusui lumrahnya dilakukan dalam ruang tertutup. Namun, bagaimana jika kegiatan ini dilakukan di ruang terbuka seperti taman, pinggir jalan, tempat umum, dsb? Apakah ada pengaruh terhadap ibu dan bayi, serta terhadap lingkunganya?
Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Tommee Tippee di Inggris, terdapat 26 persen atau sekitar satu dari 6 ibu yang menyusui bayinya di ruang publik memperoleh perhatian seksual yang tidak diinginkan dari orang asing (Abdul Hadi pada tirto.id, 2020).
Alasan utama terjadi hal ini yakni bahwa payudara merupakan aset wanita yang seharusnya tidak ‘dipertontonkan’ di depan umum. Sebagian orang akan merasa terganggu ketika terdapat kegiatan menyusui di tempat umum dan sebagian lainnya menganggap hal tersebut merupakan sebuah tontonan atau hiburan gratis, khususnya bagi kaum adam.
Hal ini tentu akan menimbulkan suasana yang tidak nyaman terhadap orang sekitar terlebih pada sang ibu yang sedang melakukan kegiatan menyusui.
Selain itu, di tengah pandemi yang sedang terjadi seperti saat ini, kegiatan menyusui yang dilakukan di tempat umum dirasa bukan tindakan yang tepat. Hal ini didukung fakta bahwa terdapat resiko tertular virus Covid-19 kepada sang ibu maupun bayi ketika berada di tempat ramai aktivitas manusia.
Lantas bagaimana langkah yang tepat guna mengatasi persoalan busui (ibu menyusui) yang masih kerap dilakukan di ruang terbuka ini?
Menilik persoalan diatas, salah satu solusi paling efektif yang dapat dilaksanakan yaitu mendorong terciptanya “Ruang Laktasi” bukan hanya di fasilitas kesehatan, kantor pemerintah dan kantor swasta, serta ruang terkategori indoor, tetapi juga di berbagai ruang terbuka terkategori outdoor, seperti taman dan pinggir jalan raya.
Ruang publik terkategori outdoor seharusnya lebih diprioritaskan daripada ruang indoor. Selain menghindari taptapa pelecahan terhadap busui ketika kegiatan menyusui sedang berlangsung, tetapi hal ini juga akan memberikan rasa aman kepada ibunda bahwa sang buah hati berada pada tempat yang dijamin bebas polusi udara dan debu.
Pembuatan Ruang Laktasi ini dapat mengacu pada ketentuan pembuatan Ruang Laktasi yang telah ada sebelumnya. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui Dan/Atau Memerah Air Susu Ibu yang menyebutkan persyaratan Ruang Laktasi paling sedikit memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Tersedianya ruangan khusus dengan ukuran minimum 3x4 meter persegi dan/atau disesuaikan dengan jumlah pekerja perempuan yang sedang menyusui
- Terdapat pintu yang dapat dikunci, yang mudah dibuka/ditutup
- Lantai keramik/semen/karpet
- Memiliki ventilasi dan sirkulasi udara yang cukup
- Bebas potensi bahaya di tempat kerja termasuk bebas polusi
- Lingkungan cukup tenang jauh dari kebisingan
- Penerangan dalam ruangan cukup dan tidak menyilaukan
- Kelembaban berkisar antara 30%-50%, maksimum 60%
- Tersedianya wastafel dengan air mengalir untuk cuci tangan dan mencuci peralatan.
Selain itu, setidaknya tersedia sarana minimum berupa kursi, meja, wastafel dan sabun cuci tangan pada ruang laktasi sektor publik. Sedangkan, apabila memungkinkan dapat memenuhi kriteria standar Ruang Laktasi seperti yang terdapat pada fasilitas kesehatan, yaitu terdapat sarana yang terdiri dari
- Lemari pendingin (refrigerator) untuk menyimpan ASI;
- Gel pendingin (ice pack);
- Tas untuk membawa ASI perahan (cooler bag); sterilizer botol ASI;
- Meja tulis; kursi dengan sandaran untuk ibu memerah ASI;
- Konseling menyusui kit yang terdiri dari model payudara, boneka, cangkir minum ASI, spuit 5 cc, spuit 10cc, dan spuit 20 cc;
- Media KIE tentang ASI dan inisiasi menyusui dini yang terdiri dari poster, foto, leaflet, booklet, dan buku konseling menyusui; lemari penyimpan alat; dispenser dingin dan panas;
- Alat cuci botol;
- Tempat sampah dan penutup;
- Penyejuk ruangan (AC/Kipas angin);
- Nursing apron/kain pembatas/ pakai krey untuk memerah ASI;
- Waslap untuk kompres payudara; tisu/lap tangan; dan
- Bantal untuk menopang saat menyusui.
Dari pemaparan diatas, kita dapat mengetahui betapa krusial pengadaan ruang laktasi ini untuk menjaga privasi busui dan bayinya. Selain itu, pengadaan ruang laktasi ini bisa digunakan untuk sarana berbisnis seperti halnya toilet umum sehingga tidak akan menimbulkan kerugian bagi pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H