Mohon tunggu...
Devi Valentina W
Devi Valentina W Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Akuntansi Syariah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Saya suka menulis dan membaca buku

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Eksistensi Instrumen Derivatif pada Instrumen Keuangan Islam

22 Maret 2024   07:44 Diperbarui: 22 Maret 2024   07:44 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah instrumen keuangan sering kali mengacu pada suatu kontrak antara dua pihak yang menimbulkan nilai atas aset keuangan dari satu entitas dan liabilitas keuangan atau ekuitas entitas lainnya. Instrumen keuangan merupakan kontrak atas aset yang dapat diperjualbelikan di pasar keuangan.

Dalam dunia investasi, terdapat jenis Instrumen Keuangan Derivatif. Kata Derivatif menurut KBBI, ialah suatu turunan atau produk yang dihasilkan dari hal lain. Instrumen derivatif merupakan kontrak keuangan yang nilainya diturunkan dari nilai aset sebagai dasar transaksi (underlying product), seperti mata uang, saham, obligasi, sumber daya, dan indeks saham. Instrumen derivatif dikembangkan untuk mengelola risiko bisnis yang mungkin dapat terjadi akibat dari perubahan harga pasar (Abdi, et.al, 2023). Instrumen keuangan derivatif umumnya berupa perjanjian sintetis, forward, futures, opsi, dan swap.

Di dalam keuangan islam berkembang produk-produk serupa dengan keuangan konvensional. Munculnya instrumen keuangan derivatif syariah menjadi bukti adanya produk berdasarkan prinsip syariah. Derivatif syariah adalah suatu produk keuangan yang diharapkan dapat menghasilkan profil ekonomi yang serupa dan sebanding dengan instrumen keuangan konvensional, namun tetap berlandaskan prinsip syariah (Dr. Darmawan, M.A.B., 2022).

Akan tetapi, masih banyak perdebatan yang muncul diantara para cendekiawan muslim terkait Instrumen Keuangan Islam Derivatif ini. Perdebatan ini muncul dikarenakan dalam derivatif konvensional mengandung riba, maysir, dan gharar yang tentunya tidak sesuai dengan prinsip syariah.

TRANSAKSI DERIVATIF DAN RIBA

Larangan atas bunga dan pengambilan risiko sangat relevan dengan konteks instrumen derivatif. Akan tetapi, perlu diingat bahwa meskipun syariah melarang riba, ia tidak melarang adanya jual beli atau perdagangan. Hal ini secara tegas termuat dalam QS. Al-Baqarah ayat 275, yang artinya "Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..." (QS. Al-Baqarah (2):275).

Menurut tafsir Ibnu Katsir, di dalam QS. Al-Baqarah ayat 275, "Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba." Dengan kata lain, sesungguhnya mereka mengatakan hal tersebut tiada lain karena mereka menentang hukum-hukum Allah. Mereka menyamakan riba dengan jual beli, karena orang-orang musyrik tidak mengakui kaidah jual beli yang sesuai dengan syariat di dalam Al-Qur'an. Sekiranya hal ini termasuk ke dalam kiasan (analogi), niscaya seharusnya mereka mengatakan, "Sesungguhnya riba itu seperti jual beli," tetapi ternyata mereka mengatakan: sesungguhnya jual beli sama dengan riba. Dengan kata lain, maksud mereka tentang hual beli sama dengan riba adalah mengapa yang ini (riba) diharamkan, sedangkan yang itu (jual beli) tidak? Hal ini menunjukkan bentuk pembangkangan mereka atas hukum syara'.

"Padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." Makna ayat ini dapat ditafsirkan untuk menyanggah protes yang mereka katakan, padahal mereka mengetahui bahwa Allah membedakan antara jual beli dan riba secara hukum.

Secara substansi perberbedaan jual beli dan riba dapat dilihat dari keuntungannya, jual beli menguntungkan kedua belah pihak antara pembeli dan penjual. Sedangkan, riba sangat merugikan salah satu pihak.

Salah satu syarat terjadinya jual beli adalah adanya barang atau jasa yang diperdagangkan. Sedangkan, dalam transaksi derivatif, tidak ada barang dan jasa yang diperjualbelikan. Mereka hanya memperdagangkan surat berharga dan mata uang untuk tujuan spekulasi (Wibowo,2014). Tambahan (gain) yang diperoleh dari proses jual beli derivatif termasuk kepada riba, karena gain diperoleh tanpa adanya sektor barang dan jasa yang dipertukarkan, kecuali mata uang atau surat-surat berharga. Transaski inilah yang dilarang Al-Qur'an dan Hadits yang disebut dengan istilah riba dan gharar.

Larangan riba berasal dari prinsip syariah bahwa uang bukanlah sebuah komoditas dan tidak ada imbalan atas penggunaannya. Dalam transaksi syariah, uang dianggap sebagai nilai tukar dan unit pengukuran. Transaksi derivatif syariah, proses jual beli harus terbebas dari setidaknya lima elemen berikut: riba (bunga), risywah (korupsi), maysir (perjuadian), gharar (ketidaktahuan), dan jahl. Maka, jual beli yang baik ialah jual beli yang berlandaskan kejujuran, transparansi, dan tidak adanya spekulasi yang tidak jelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun