Mohon tunggu...
Devfrass88
Devfrass88 Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seorang blogger

Halo saya devi, baru belajar di dunia blogging..

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pilihan Hidup Childfree? Apakah Mereka Tidak Merasa Kesepian?

26 April 2022   17:25 Diperbarui: 27 April 2022   11:00 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Iseng-iseng habis membaca salah satu blog tentang cara mendapatkan keturunan perempuan atau lelaki. Jadi teringat ketika orang-orang masih hidup tentang pilihan manusia lain yang ingin Childfree atau seseorang yang masuk ke ranah spektrum LGBT, bahkan dia anggota feminisme, selalu ceramah jangan masuk komunitas profressive dengan alasan "ga sesuai kodrat lah atau hidup seharusnya blablabla.."


Rasanya terbersit dalam pikiran ini ingin merekam suara diri dan bawa speaker atau bahkan TOA (kalau bisa), sambil berkata:

"Banyak bicara kalian! Saya yang punya hidup, kok Anda yang sibuk mengurusi orang lain?"

Lalu orang tersebut mulai berdalih:
"Kan kita sebagai blablabla harus saling mengingatkan"

Jawaban:
"Berisik! Bukan mengingatkan orang lain itu namanya! Tapi memaksa!"

Di jawab kembali:
"Kan ini juga untuk kebaikanmu"

Jawaban:
"Saya sendiri yang tahu hidup Saya sendiri dan lakukan yang terbaik untuk diri Saya sendiri, bukan Anda!"

Oke, saya di sini hanya ingin mengeluarkan unek-unek saja. Mari kita mendongeng sejenak.

I'm not opposed childfree yet not the one who wants to have a child.

 
Bahkan setidaknya kalau Saya mempunyai keturunan pun oke kok, asalkan maks 2; manusia dan pet (binatang peliharaan), manusia dan manusia, atau dua-duanya pet.

Keluarga Saya sendiri generasi boomer (polos atau kolot) dan itu memang apa adanya, tapi dari pihak Ayah Saya ada 3  orang tante yang 'kehidupan relationship' nya tidak umum bagi masyarakat Indonesia.

Pertama, menikah dan tidak punya anak.

Kedua, cerai tidak punya anak.

Ketiga, tidak menikah seumur hidup karena dedikasi pada agama (katakanlah seperti suster, bhikkuni atau apapun itu kalian menyebutnya).

Mereka memiliki alasannya tersendiri memilih jalan hidup mereka tersebut di saat keluarga mereka menentang keputusan mereka. Ayah saya pun tidak luput dengan hal itu, bahkan cukup lama bagi Ayah Saya sampai pada titik akhirnya ia memahami bahwa manusia itu memang berbeda-beda jalan hidupnya.

Pertanyaannya, apakah mereka kesepian tak punya anak?

Rasa kesepian pasti ada, dan kemungkinan itu pasti selalu ada. Tapi, mereka tahu apa yang mereka pilih. Apakah menyesal tidak punya anak? Hal itu mungkin akan terjadi jika mereka hanya  mematikan rasa kesepian. Tapi mereka semua paham satu hal:

"Suatu hari, anak-anak pasti akan menjadi dewasa dan tinggal dengan keluarganya masing-masing. Dan pada akhirnya, kita semua akan sendiri lagi."

Untuk tanteku yang mengabdikan dirinya untuk agama itu sudah jelas, semua manusia pada akhirnya akan pergi dan musnah. Itu sebabnya beliau tidak terlalu memusingkan hubungan antara manusia di bumi.

Di tambah dari pengalaman Ayah saya memiliki saya dan adik-adik saya, Ayah saya belajar kalau punya anak itu harus memiliki dedikasi yang sangat-sangat BESAR.

Saat Ayah saya hanya memiliki saya saja, ayah saya sadar jika punya anak itu tanggungjawabnya benar-benar besar dan harus bisa memastikan anaknya (Saya) hidup minimal 'layak'. Dan layak itu menjadi berat ketika jadi sandwich gen (Saat itu Ayah harus membiayai orangtua plus anak istri). Jika saat itu dia memilih jika punya anak lagi, harus dalam kondisi yang sangat mampu untuk mengurusi anaknya. 

Sekolah di tempat yang layak, ambil les ini dan itu, demi memperbaiki 'nasib' garis keturunan dia, harus mendapatkan penghasilan yang besar agar bisa memfasilitasi anak lebih baik. Dia tidak ingin anak cucunya hanya mampu se'level' dengan dia.

Dia adalah orang yang sangat luarbiasa. Dia bisa sukses dan harta lebih sampai dia dan Ibuku memutuskan untuk memiliki anak lagi. Dan kebetulan ada dua adik saya. Itulah sebab mengapa jarak umur dengan keduanya lumayan jauh dengan Saya.

Dan Ayah saya pun menjawab dengan hal yang sama:

"Berumah tangga itu tanggung jawab besar sekali, apalagi jika sudah punya anak. Masih lebih baik jika tidak ada anak. Jika belum mampu memberikan yang terbaik atau masih setengah-setengah, lebih baik tidak memutuskan untuk memiliki anak. Anak juga tidak memiliki tanggung jawab atas Saya jika sudah tua. Saat sudah tua, saya lebih memilih untuk hidup sendiri, karena anak saya juga akan berkeluarga nantinya."

Bahkan, seorang yang 'boomer' saja bisa melihat dari perspektif yang lain mengapa memiliki anak itu bukan jawaban yang tepat. Kesepian itu urusan belakangan. 

Ini generasi millenial plus gen-Z masih ada saja yang memaksa harus memiliki anak. 

Aduhh.. Pengen tak jitak rasanya hahaha..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun