Kau kembali berulah. Kembali menghilang tanpa jejak langkahmu. Menghilang tanpa pernah meninggalkan sisa bayangmu yang terpantul mentari. Entah jalan mana yang kau ambil. Hingga engkau begitu apik bersembunyi dalam ironi. Kau juga jadi seketika membisu. Terdiam karena hening ini menyaru dengan geliat lakumu. Lalu aku? Hanya dapat mengerutkan dahi tak mengerti. Dan seketika tersadar akan sesuatu.
“Apakah hening ini kerena ku?”
Karena lalu ku ungkap rasaku. Karena itukah? Tapi mengapa kau mundur lalu berbalik meninggalkan aku? Aku paham betul dimana aku berada. Aku sadar dimana kau letakkan aku didirimu. Takut kah engkau menyakitiku? Bodoh! Aku berteriak keras karena kau tak mengerti. Atau sekedar mencoba memahami. Karena aku yang memintanya. Karena aku yang menginginkannya. Rasa sakit ini.
Lalu kenapa kau mencoba untuk mengobatinya? Yang ternyata. Hanya memperdalam lukanya. Aku berkata karena aku sudah begitu lama menyimpannya. Dan seketika meluap menumpahkan sejuta bahasa. Hanya agar kau mengetahui. Bukan memaksamu untuk aku miliki. Meski nyatanya aku tak sanggup bertindak berpura. Aku tak bisa menyimpan hasrat untuk mencintai. Tapi biarlah sakit ini menjadi teman abadi.
Meski tak banyak memori tercipta tentangku didirimu. Atau sebaliknya. Tapi biarkan aku juga terus dapat mendengar tawamu meski bukan bersamaku. Atau menjadi sakit karena air matamu. Walau bukan tentang aku. Bolehkan?
“Menunggumu adalah caraku untuk dapat terus mencintai hatimu yang beku”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H