Tetes demi tetes cairan infus yang jatuh dari selang nebulizer kian terdengar nyata, mengiramakan detak hidup seorang wanita yang terpejam, terkulai tak berdaya di ranjangnya. Ethellia.
Ya. Akibat kecelakaan kecil itu, ia mengalami masa kritis berupa kelahiran prematur yang disertai pendarahan hebat. Calon bayinya ternyata tidak cukup kuat untuk bertahan dari besar guncangan tubuh Ethellia saat ia terjatuh. Sang anak ternyata tak sanggup melewati masa kritisnya. Dan, hal itu cukup menjadi dasar yang kuat akan hancurnya impian Asada untuk dapat melihat, merasakan, atau bahkan mendekap calon anak yang sangat diimpikannya.
"Mungkin, ini pun terkesan lancang, Asada. Tapi kami terpaksa mengangkat rahim istrimu. Keadaannya terlalu berbahaya karena tingkat pendarahannya terlalu tinggi. Dan meskipun jika rahim itu tetap kami pertahankan, maka..."
Bayang-bayang ucap Nero entah bagaimana hadir lagi dalam benaknya. Semuanya sudah pupus, sirna sudah tak berbekas. Menatap lekat sang istri yang belum sadarkan diri sejak 2 hari yang lalu, Asada terlihat sendu. Suara rekam jantung juga mesin life support-lah yang menjadi bebunyian pengusir sunyi di ruangan itu sekarang. Pita suara dan lidah Asada seakan hilang dalam sekejap, membuatnya tak mampu berkata apalagi berbicara.
Bangkit dari duduknya dan perlahan menyusuri ranjang tempat Ethellia berada, ia pun menatap lekat wajah istrinya. Satu senyum pahit terbentuk diwajahnya, beriringan dengan lembut jemarinya yang menyingkap anak-anak rambut yang menutupi indah wajah Ethellia.
Untuk sesaat, ia tak mampu berkata apa-apa. Namun tak berapa lama, ia merendahkan tubuhnya, mengecup kening Ethellia dan berbisik pelan, "Hanya kau yang aku miliki sekarang. Kumohon, bertahanlah untukku."
***
30 hari berlalu semenjak peristiwa naas itu terjadi. 30 hari sudah Asada terpaku dalam ruangan ini, enggan keluar dan menapaki bebas alam yang sekiranya mampu mengobati luka hatinya. Dan tepat, hari ini, adalah hari ke 30 bagi Ethellia, untuk tetap koma dan senyap dalam ketidak-sadarannya.
"Asada.."
Satu panggilan lembut yang khas dari Nero menyeruak tak lama setelah ia memasuki ruang perawatan Ethellia. Satu bungkus plastik terlihat dalam genggamannya, dan Asada sudah tahu pasti apa isi di dalamnya.
"Tidak usah kau bawakan makanan-makanan itu, Nero. Aku benar-benar tidak lapar."
Nero mendesah pelan, mendekati sahabat karibnya itu dan terduduk di sampingnya.
"Ayolah, Asada. Hargai aku dan istriku. Ini bento buatan istriku yang khusus ia buat untukmu. Dan lagipula, aku tidak mau melihat tubuhmu itu semakin kurus dari hari ke hari. Kau sangat menyesakkan aku, Asada."
Senyuman pahit itu lagi-lagi terulas dalam lesu wajahnya yang kini terlihat berantakan, ditambah dengan tonjolan tulang pipinya yang menandakan seberapa banyak bobot tubuhnya yang berkurang drastis.Menghela nafasnya panjang, Asada memilih bersandar di sofanya.
"Hari ke-tiga puluh, Nero. Apa dia berniat meninggalkan aku sekarang?"
"Hey, apa maksudmu?",tanya Nero tak mengerti.
Asada memejamkan matanya.
"Apa ini hukuman Tuhan karena dosa-dosaku? Apa ia ingin menukar jiwa-jiwa yang telah kubunuh dengan jiwa dari seorang wanita yang paling aku cintai?"
"...."
"Kupikir, Tuhan mengabaikan seluruh dosaku. Memberikan seluruh kebahagiaan yang ingin kugenggam padaku dan keluargaku. Tapi kenyataannya? Dia membiarkan aku merasakan sakit itu, Nero. Sakit karena matinya orang-orang yang paling kau cintai, luka karena perbuatan tak manusiawi yang kulakukan selama ini."
"Asada, kau.."
"Euthanasia, Nero. Aku benar-benar seorang malaikat pencabut nyawa. Aku bukanlah dokter. Aku hanyalah malaikat pencabut nyawa berpakaian dokter. Huh. Benar begitu,kan?"
****
90 hari, Ethellia. Tidakkah kau jenuh dengan hari-harimu yang terus berada diatas ranjang ini selama 90 hari?Semuanya sudah berubah, sayang. Mungkin, aku sudah tidak setampan dulu, tampan seperti yang selalu kau bisikkan padaku dahulu setiap harinya. Aku bahkan memikirkan kegelapan akan masa depanku, karena bayang kegelapanmu dan 'dia yang di surga'.
Ah..Apakah Asada Toshimasa kita baik-baik saja disana?
Maafkan aku, Ethellia. Ini semua salahku.
Tuhan membenciku, Tuhan sebenarnya ingin menghukum aku. Tapi..Dia memilih untuk menghukumku dengan cara seperti ini. Membiarkan hatiku menangis karena terpejamnya matamu dan ketidak-berdayaanku.Maaf, maaf..Aku sudah tidak tahan lagi, sayang. Melihat tubuhmu yang dari hari-hari semakin...
Aku lelah.. Â Aku tidak bisa.Aku tersiksa.Dan aku harus melepaskanmu dari belenggu kesakitan ini..
****
Pigura berisikan selembar foto diri Ethellia yang tengah tersenyum itu kini hanyalah menjadi serpihan kenangan terindah dalam hidup tiap orang yang mengenalnya.
Puluhan, bahkan ratusan pelayat yang tak lain adalah teman dekat, sahabat ataupun saudara jauh Ethellia terlihat hadir. Memanjatkan syair-syair doa untuk menenangkan jiwa Ethellia yang telah tiada.
"Asada.."
Nero memanggil Asada yang terlihat kacau, memastikan keadaan sahabat karibnya. Namun ternyata, yang dipanggil tak menggubris, menyahut atau bahkan sekedar melirik keberadaan Nero dan Kazu pun tidak.
"Asada.. Ini memang keadaan yang sangat sulit. Tapi kumohon, jangan mempersalahkan dirimu. Ini memang pilihanmu, tapi kupikir, ini juga jalan yang terbaik baginya. Kau hanya tidak ingin dia menahan sakitnya. Dan, kau membuatku melihat rasa cintamu yang sangat besar untuknya."
***
Kumpulan manusia berkerubung layaknya para semut dalam kawanan. Sebuah mobil ambulans dengan sirene khasnya terdengar, melintas melewati sudut-sudut kota Bansoku yang gempar dengan satu peristiwa memilukan disana.
Salah seorang tetangga Asada menemukan Asada, tewas dengan kedua buah bola mata yang nyalang dan mulut penuh busa.
"Maaf! Permisi! Tolong jangan halangi kami!"
Tiga petugas rumah sakit tampak keluar dari dalam mobil ambulans, diikuti oleh Nero, yang keluar paling akhir, dengan wajah yang muram dan sangat pasi.
"A-sada.."
Nero terperangah, tak mampu mempercayai realita yang kini terhidang tepat di mata kepalanya sendiri. Kedua matanya melihat sendiri tubuh kaku Asada yang mulai membiru, serta buih-buih busa yang keluar dari dalam mulut jasad Asada.
"Asada.. Kau..",gumam Nero tatkala dirinya terjerembap, jatuh berlutut tak percaya dan menunduk.
"Pak! Ada obat dan alat suntik didalam genggaman korban!"
Mengangkat kepalanya menghadap sang petugas otopsi yang berdiri didepannya, Nero pun mengambil sebuah obat dan alat suntik yang telah ditampung dalam sebuah plastik transparan.
"I-ini.."
Rasa keterkejutan ini semakin bertambah, tatkala obat yang ternyata ditemukan oleh petugas otopsi itu adalah obat yang sangat dikenalnya, obat yang juga adalah penentu kematian dari seorang wanita yang adalah istri sahabatnya sendiri.
"Pak, bukankah itu Sodium Thiopental? Bagaimana bisa dia mendapatkannya?",tanya sang petugas otopsi seraya menyamakan posisinya dengan Nero.
Nero tak menjawab pertanyaan sang petugas. Lidahnya terasa kelu, tubuhnya pun sudah gemetar.
Mungkinkah ini semua....!??
"Asada.. Kau.."
***
[Flashback]
"Asada! Kau..!"
Nero terkejut tatkala mendapati Asada menyuntikkan sebuah cairan yang berasal dari dalam tube kemasan yang telah terbengkalai tanpa guna di lantai.
"Asada! Apa maksudmu!? Kenapa..?!"
Dengan wajah begitu tenangnya, Asada menyuntikkan seluruh cairan Sodium Thiopental ke dalam saluran infus milik istrinya.
"Aku tidak bisa melihatnya menahan semua kesakitan ini, Nero. Aku tidak sanggup melihatnya yang hanya terdiam dan tak bisa menatap atau bahkan tersenyum padaku. Aku tidak sanggup, Nero."
"..."
"Aku sangat mencintainya. Dan aku tidak bisa membiarkan dia menahan sakit karena dosa-dosaku."
E*N*D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H