Di era digital ini, fenomena rasa iri di media sosial telah menjadi topik yang semakin relevan. Mengapa demikian? Media sosial, yang awalnya dirancang untuk mendekatkan orang dan berbagi pengalaman, kini justru menjadi cermin besar yang memantulkan kehidupan "sempurna" orang lain. Meski tidak semua yang terlihat benar-benar mencerminkan kenyataan, efek yang ditimbulkan tetap nyata dan mendalam.
Media sosial memungkinkan pengguna untuk memamerkan sisi terbaik hidup mereka. Foto liburan di pantai eksotis, makan malam di restoran mewah, hingga pencapaian karier sering kali mendominasi linimasa. Hal ini membuat banyak orang merasa hidup mereka tidak seindah yang terlihat di layar ponsel mereka. Dalam konteks ini, muncul rasa iri sebagai respons alami terhadap perbandingan sosial.
Siapa saja yang menggunakan media sosial dapat terpengaruh, dari remaja hingga orang dewasa. Penelitian menunjukkan bahwa generasi muda, terutama yang sering menggunakan media sosial, cenderung lebih rentan terhadap rasa iri. Namun, rasa iri ini tidak terbatas pada kelompok usia tertentu. Setiap individu yang membandingkan dirinya dengan orang lain di media sosial berpotensi merasakan hal yang sama.
Fenomena ini terjadi kapan saja dan di mana saja, selama seseorang memiliki akses ke media sosial. Dengan ponsel di tangan, kita dapat terhubung dengan dunia maya 24/7. Rasa iri pun tidak mengenal batas waktu atau tempat; bisa muncul saat makan siang, di perjalanan, bahkan sebelum tidur.
Menurut filsuf kuno Aristoteles, iri hati adalah rasa sakit terhadap keberuntungan orang lain. Definisi ini menjadi lebih relevan di era media sosial. Melalui media sosial, pengguna dapat memilih dengan cermat apa yang mereka bagikan, menciptakan ilusi kehidupan yang sempurna. Ini memicu rasa iri karena pengguna lain merasa hidup mereka tidak sebanding.
Rasa iri sebenarnya bukan hal yang sepenuhnya buruk. Ada dua jenis iri hati: iri hati yang tidak berbahaya (benign envy) dan iri hati yang jahat (malicious envy). Iri hati yang tidak berbahaya dapat memotivasi seseorang untuk menjadi lebih baik, seperti belajar lebih giat atau mengejar tujuan tertentu. Namun, jika rasa iri berubah menjadi dengki, ini dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mental.
Ada beberapa cara untuk mengelola rasa iri di media sosial:
Akui Rasa Iri
Langkah pertama adalah menerima bahwa kita merasa iri. Dengan pengakuan ini, kita dapat memilih untuk memanfaatkan rasa iri tersebut untuk perbaikan diri, alih-alih membiarkannya menjadi emosi negatif.
Seleksi Akun yang Diikuti
Mengikuti akun yang memotivasi dan memberikan inspirasi dapat membantu mengubah rasa iri menjadi dorongan positif. Sebaliknya, berhenti mengikuti akun yang memicu rasa iri berlebihan adalah langkah bijak untuk menjaga kesehatan mental.
Gunakan Media Sosial Secara Bijak
Batasi waktu penggunaan media sosial dan fokuslah pada kehidupan nyata. Ingat bahwa apa yang kita lihat di media sosial hanyalah sebagian kecil dari kenyataan seseorang. Tidak semua yang terlihat indah di layar ponsel mencerminkan kebahagiaan sejati.
Praktikkan Syukur
Melatih diri untuk bersyukur atas apa yang dimiliki dapat membantu mengurangi rasa iri. Fokus pada pencapaian pribadi dan hal-hal positif dalam hidup dapat membawa perasaan damai dan bahagia.