Mohon tunggu...
Devan Muhammad
Devan Muhammad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

pengiring opini kearah lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Air Saat Ini Tak Seindah Air Dulu

18 Juli 2021   20:00 Diperbarui: 18 Juli 2021   20:26 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Dimana air mengalir sampai jauh", seperti slogan suatu merk pipa yang sudah tidak asing terdengar, begitulah air yang sudah melakukan suatu perjalan panjang untuk memenuhi kebutuhan insan yang tengah dahaga mendambakan hadirnya telaga. 

Suatu komponen yang sangat penting bagi semua makhluk di bumi ini, yang mana ketidakhadirannya akan sangat terasa walau hanya sebentar saja. Karena strukturnya yang halus dan bening bisa membuat yang tadinya lemah menjadi kuat dan dapat merubah hawa yang tidak mengenakan menjadi menyejukan.

Namun air saat ini tak seindah dan seelok dahulu, hal ini disebabkan oleh makhluk yang memiliki akal namun tak berakal, punya hati tapi enggan berperasaaan sehingga air hanya sekedar mampir di setiap tegukan orang yang meminumnya tanpa bisa menyentuhnya lebih mendalam. 

Padahal ada untaian yang sangat indah dalam perkataan seorang bijak terdahulu, ialah "pemberian terbaik adalah air yang engkau beri kepada saudaramu" layaknya fungsi air yang dapat menyambung kehidupan makhluk yang bernyawa.

Maka sungguh pantaslah jika ada seorang diangkat menjadi mulia di sisi pencipta-Nya. Karena perannya dalam memberi air kepada seekor makhluk yang tak berdaya dengan penuh keikhlasan dan kasih saying. 

Kita juga bisa melihat dan berkaca pada kisah terdahulu, dimana ada seorang tampan dan dermawan yang mampu menyelamatkan suatu negeri yang tandus, dengan membeli sebuah mata air dari seorang kikir dan tamak. Lihatlah bagaimana jika air berada pada seorang yang tepat maka ia dapat berubah menjadi suatu yang indah dan menakjubkan.

Layaknya negeri surga bagi para musafir, yang mana air-air ditampung dalam bangunan marmer agar air terjaga dan senantiasa sejuk. Diatas air tersebut juga ada bangunan untuk anak anak membaca dan menghafal kalamullah, maka orang orang yang singgah mendapatkan dua kesejukan sekaligus yaitu, sejuknya air di tenggorokan dan sejuknya hati dengan Al-Quran.

Maka keberkahan air itu mampu menciptakan generasi terbaik di zamannya, serta sampai saat ini air tersebut masih terus mengalir dan memberikan kesejukan setiap insan yang hadir maupun menetap.

Namun sangat disayangkan konsep tersebut sudah hilang di zaman yang katanya modern, penuh kemajuan, kecerdasan, dan tekhnologi ini. Kecerdasan saat ini adalah kecerdasan yang merusak, dikarenakan kehadiranya tidak berbarengan dengan kemampuan untuk mengontrol nafsu. 

Sehingga banyak terjadinya kerusakan ekosistem mulai dari udara, tanah, dan air. Itulah yang terjadi jika kecerdasan tidak berlandaskan keimanan dan tanpa mengontrol hawa nafsu.

Kecerdasan saat ini malah berbuah ketidakjelasan bagi umat islam, karena berperan mengubah sesuatu yang jelas menjadi rancu. Bagaikan benang kusut yang tak tau ujungnya, layaknya perkawinan silang antara babi dengan kambing yang memunculkan pertanyaan “apakah ini halal atau haram?”. 

Sungguh ironis inilah hasil dari kecerdasan sekarang, kecerdasan yang di buat oleh nafsu semata demi memenuhi syahwat perut saja yang dapat mengakibatkan kehancuran umat manusia.

Layaknya seperti konsep air tadi, jika suatu sumber energi ataupun materi di pakai dan digunakan oleh orang yang cerdas namun tidak memiliki keimanan dan kasih sayang, maka air tersebut tidak akan berkembang dan mendatangkan kemanfaatan. 

Air tersebut malah akan keruh karena tindak mengalir untuk kebaikan dan karena hal itu juga air tak ada istimewanya di hadapan siapapun. Sebaliknya jika air itu dipakai dan dikelola oleh orang cerdas yang memiliki keimanan dan kasih sayang maka hasilnya akan luar biasa.

Konsep inilah yang sudah tidak ada di umat negeri ini, begitu banyak mata air yang sudah ada namun bukannya mendapatkan manfaat dari kehadirannya. 

Kehadirannya malah mendatangkan kesengsaraan bagi masyarakat yang berada di sekitar mata air tersebut. Lahan mereka malah digusur hanya untuk kepentingan pribadi mereka. 

Layaknya seperti cerita orang terdahulu yang mana terdapat seorang Yahudi yang memonopoli mata air yang ada di suatu daerah, si Yahudi ini menjual air dengan harga yang tinggi dengan berlandaskan nafsu. 

Kemudian ketika sumur tersebut dibeli dengan kesepakatan, pada akhirnya malah memberi keuntungan bagi muslimin, serta menghancurkan bisnis si Yahudi jahat itu.

Namun anehnya hari ini kita menyaksikan dan merasakan kembali bagaimana peristiwa diatas kembali terjadi. Sejarah 15 abad lalu terulang lagi saat ini, sungguh sesuatu hal yang membuat kita menyadari bahwa peristiwa sejarah pasti akan selalu berulang. 

Dengan berulangnya peristiwa sejarah mestinya, solusi dari hal itu sudah dapat ditemukan jalan keluarnya, jikalau mau mengkaji dan menelaah masalah tersebut dengan lebih mendalam. 

Kita terlalu terpaku pada teori dan sejarah barat yang menyilaukan karena pada praktek dalam kehidupannya, tidaklah sebaik dan semenakjubkanya apa yang diajarkan oleh Islam pada saat itu. 

Terutama sejarah yang seharusnya dapat umat Islam pelajari dengan baik dan dijadikan sebagai amalan kehidupan sehari-hari. Sungguh betapa indahnya hal itu bila dikerjakan.

Daripada menceritakan kesedihan dan kekalahan umat ini, akan lebih baik jika kita menceritkan hal-hal yang dapat membuat ghiroh keimanan serta kebanggaan dan kecintaan terhadap ajaran islam semakin kokoh dan kuat. 

Berhentilah menceritkan suatu hal yang membuat umat ini pecah dan saling membenci. Terbarlah kasih sayang dan rasa cinta terhadap saudaramu dimanapun, sehingga akan timbul hikmah dan rasa cinta terhadap sesame yang berbuah tumbuhnya rasa menghamba dan mahabbah kepada Sang Pencipta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun