Badan Pusat Statistik Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara dengan kasus perceraian tertinggi. Dengan lebih dari 516.334 gugatan perceraian yang diajukan kepada Pengadilan Agama di tahun 2022. Kasus tersebut dinilai meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 447.743 kasus. Jadi, apakah orang tua tidak tahu dampak perceraian terhadap anak mereka? Tak ayal, berdasarkan riset yang telah dilakukan, orang tua mengetahui efek perceraian terhadap kehidupan anaknya.
Perceraian menimbulkan dampak negatif tidak hanya kepada suami-istri dalam suatu pernikahan. Perceraian ternyata berdampak negatif pula loh kepada anak, rasa kehilangan, rasa kesepian, dan bahkan rasa tidak percaya diri dirasakan anak setelah kedua orang tuanya bercerai. Tentunya orang tua tidaklah mau anaknya merasakan kesedihan akibat keputusan mereka. Namun, tatkala perceraian itu sudah terjadi, orang tua harus tetap hadir dalam kehidupan anaknya dengan memberikan pengasuhan yang berfokus pada kepentingan anak.
Memangnya ada ya, pengasuhan seperti itu? Ada, konsep pengasuhan tersebut dinamakan co-parenting.
Apa itu co-parenting? Co-parenting adalah suatu konsep pengasuhan bersama yang dilakukan oleh kedua orang tua setelah perceraian dengan tujuan mengupayakan kesejahteraan anak. Selain bertujuan untuk kebahagiaan anak, pengasuhan bersama atau co-parenting ini ternyata memiliki manfaat juga loh bagi orang tua yang terlibat. Karena dengan diterapkannya pengasuhan bersama, orang tua dapat tetap berperan dan terlibat dalam tumbuh kembang anaknya.
Terus, gimana ya kira-kira pengasuhan bersama dalam perspektif hukum Islam?Â
Kedudukan anak dalam keluarga bagaikan perhiasan, maka tentunya tak heran jika Islam punya aturan khusus dalam mengatur pemenuhan kesejahteraan dan kemaslahatan anak. Aturan tersebut dinamakan hadhanah. Hadhanah adalah suatu hukum yang mengatur dan mengupayakan terpenuhinya kebutuhan anak baik dalam aspek fisik maupun psikologis melalui penekanan bahwa  semua anak berhak mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Konsep pengasuhan bersama jika dikaitkan dengan nash-nash syara’ dan ketentuan dalam hukum perkawinan Indonesia, dapat diketahui bahwa norma-norma di dalamnya dinilai luhur sehingga dapat menjamin kepentingan terbaik bagi anak. Karena pengasuhan anak sejatinya tidak hanya berkutat pada siapa yang mengasuh anak, melainkan lebih kepada bagaimana kedua orang tua bersama-sama dalam pengasuhan mengarahkan anaknya untuk berbuat kebaikan, kemanfaatan, dan jaminan akan masa depannya yang lebih baik melalui pemenuhan semua hak-haknya.
Hak-hak anak menurut Khoirudin Nasution (2016), pertama adalah hak umum, seperti mendapatkan nama yang baik, mendapatkan jaminan kesehatan, dan mendapatkan jaminan keselamatan; Kedua, hak anak pada masa pengasuhan seperti hak mendapatkan ASI, nafkah, sandang, pangan, papan, kesehatan, dan hak mendapatkan pendidikan agama; ketiga, hak pascapengasuhan seperti hak mendapatkan pendidikan formal dan perkawinan saat mencapai usia dewasa.
Co-parenting juga dinilai mampu menepis persepsi dari kalangan masyarakat yang berpegang teguh bahwa pemegang hak asuh memiliki hak sepenuhnya atas kehidupan anaknya, sehingga banyak kasus dimana orang tua tidak diperbolehkan bertemu dengan anaknya sendiri.
Terus, apakah co-parenting ini udah diterapin di Indonesia?
Pengasuhan bersama memang dilihat-lihat telah banyak diterapkan oleh keluarga-keluarga bercerai di Indonesia, tetapi pengasuhan tersebut dinilai kurang kuat dimata hukum karena belum adanya peraturan resmi dari pemerintah terkait pengasuhan bersama ini. Oleh sebab itu, diperlukan adanya peraturan resmi dari pemerintah terkait pengasuhan anak pascaperceraian orang tua secara lebih jelas dan rinci melalui pembagian peran dan tugas orang tua terhadap anak.
Jadi, menurut masyarakat perlu ga sih co-parenting ini?