Sebelum mengadopsi kebijakan zonasi, sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) di Indonesia sebagian besar masih berpusat pada pemilihan peserta didik berdasarkan prestasi akademiknya. Oleh karena itu, siswa hanya dapat bersekolah di sekolah pilihan mereka jika mereka telah mencapai tingkat keberhasilan akademis yang tinggi, sedangkan sekolah yang berlokasi di pedesaan kurang diminati. Kesenjangan pendidikan di Indonesia semakin melebar akibat permasalahan ini.
Satu tahun setelah ditetapkan Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017, pemerintah kembali mengadopsi Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 yang merupakan revisi dan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya. Peraturan ini memberikan penekanan yang lebih besar pada sistem zonasi dan mencakup peraturan tambahan yang rinci untuk meningkatkan efektivitas sistem. Beberapa penyempurnaan yang dilakukan antara lain penambahan kriteria prioritas penerimaan peserta didik baru. Faktor-faktor tersebut antara lain jarak rumah siswa dengan sekolah, anak yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah, dan prestasi akademik.
Pada tahun 2018, pembatasan zonasi diperkuat dan penilaian radius zonasi dibuat lebih transparan. Sekolah wajib menerima minimal sembilan puluh persen siswa dari wilayah yang secara geografis paling dekat dengan mereka. Sepuluh persen siswa sisanya mungkin datang melalui jalur prestasi atau transfer orang tua. Dengan penetapan kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan pemerataan akses terhadap pendidikan unggul.
Selanjutnya pada tahun 2019, pemerintah kembali mengadopsi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru di Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan. Peraturan ini memuat minimal delapan puluh persen siswa diterima dari zona yang paling dekat secara geografis, lima belas persen dari jalur prestasi, dan lima persen dari jalur perpindahan orang tua. Selain itu, pemerintah memberikan penekanan yang lebih besar pada keterbukaan dan akuntabilitas dalam proses penerimaan siswa, yang mencakup pengawasan yang lebih ketat terhadap operasi kecurangan
Pada tahun 2021 pemerintah kembali menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB untuk lebih meningkatkan efisiensi kebijakan zonasi PPDB. Persentase siswa yang diterima dari zonasi ditetapkan dan dimodifikasi untuk memenuhi kebutuhan masing-masing daerah. Selain itu, Kementerian juga lebih fokus pada pentingnya keterbukaan dan keadilan dalam pelaksanaan PPDB. Termasuk pemanfaatan teknologi informasi untuk memudahkan proses registrasi dan verifikasi data.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam adopsi kebijakan publik adalah model inkremental yang dikembangkan oleh Charles Lindblom. Model ini berfokus pada perubahan kebijakan secara bertahap atau inkremental. Penerapan model inkremental dalam adopsi kebijakan ini dilakukan oleh pemerintah indonesia dengan mengadopsi beberapa peraturan yakni mulai dari Peraturan Nomor 17 tahun 2017, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2018, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019, dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021. Pemerintah mengambil langkah untuk terus menyempurnakan sistem penerimaan siswa baru dengan mengedepankan pemerataan akses, keterbukaan, dan mutu pendidikan.
Meskipun kebijakan ini menimbulkan polemik bahkan terdapat wacana kebijakan tersebut akan dihapus. Namun, hingga saat ini kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang diadopsi oleh pemerintah dengan skema zonasi masih diterapkan yang menunjukkan komitmen pemerintah untuk mewujudkan pendidikan yang lebih merata dan berkualitas bagi seluruh anak Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H