Pada saat peperangan, manusia selalu mencari cara untuk meningkatkan efektivitas dan kekuatan militer mereka. Salah satu aspek yang telah dipertimbangkan dan digunakan dalam sejarah peperangan adalah penggunaan energi nuklir. Energi nuklir memiliki potensi besar untuk memberikan kekuatan yang luar biasa, namun penggunaannya juga menghadirkan dampak yang sangat serius dan kontroversial.
Dalam konteks penggunaan nuklir dalam peperangan, penting untuk mempertimbangkan bahwa konsekuensi yang ditimbulkan jauh melampaui keuntungan taktis yang mungkin diperoleh. Dalam keadaan tertentu, ancaman penggunaan senjata nuklir dapat menjadi pendorong bagi negara-negara untuk mencapai kesepakatan damai dan menghindari konflik secara keseluruhan.
Dengan demikian, penggunaan nuklir dalam peperangan adalah topik yang kompleks dan kontroversial. Meskipun memiliki potensi kehancuran besar, dampak jangka panjang dari penggunaan nuklir dan risiko eskalasi yang terkait memerlukan kewaspadaan dan pengendalian yang ekstrem. Pembatasan penggunaan senjata nuklir dan peningkatan upaya diplomasi internasional menjadi sangat penting untuk menjaga perdamaian dan menghindari bencana manusia yang tidak terkira akibat konflik nuklir.
     Â
Kebijakan yang mengikat penggunaan nuklir dalam perang
Pertama NPTÂ juga dikenal sebagai Perjanjian Anti Penyebaran Senjata Nuklir, diadopsi pada tanggal 12 Juni 1968 di New York dan mulai berlaku efektif pada 5 Maret 1970. Tujuan NPT adalah mencegah penyebaran senjata nuklir dan teknologi terkait, serta mendorong pengembangan penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai. Selain itu, perjanjian ini juga berkomitmen untuk mencapai pelucutan senjata nuklir secara umum dan menyeluruh.
Meskipun berbagai perjanjian internasional melarang penggunaan senjata nuklir secara tegas, mereka tidak secara spesifik mengatur pengancaman dengan menggunakan senjata nuklir. Namun, dalam perjanjian-perjanjian zona bebas nuklir regional, terdapat ketentuan khusus yang melarang pengancaman dengan senjata nuklir. Selain itu, penggunaan senjata nuklir juga melanggar sejumlah aturan Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan (HHIK).
Dalam NPT, terdapat beberapa informasi penting yang perlu dipahami, termasuk kategori keanggotaan negara dalam NPT dan pilar-pilar NPT. Keanggotaan NPT dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Negara Pemilik Senjata Nuklir (Nuclear Weapon State) dan Negara Non-Pemilik Senjata Nuklir (Non-Nuclear Weapon States), berdasarkan kepemilikan atau ketiadaan senjata nuklir.
NPT memiliki "pilar-pilar" yang mencerminkan kewajiban inti setiap anggota NPT. Pilar-pilar ini meliputi non-proliferation (non-penyebaran senjata nuklir), disarmament (pengurangan senjata nuklir), dan peaceful use of nuclear energy (penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai). Ketiga pilar ini dijelaskan dalam sebelas pasal yang ada dalam NPT.
NPT terdiri dari NWS dan NNWS, dengan NWS sebagai negara pemilik senjata nuklir dan NNWS sebagai negara non-pemilik senjata nuklir. NWS dalam NPT adalah AS, Inggris, Perancis, Tiongkok, dan Rusia. Pasal dalam NPT mewajibkan negara-negara anggota untuk mengadakan Konferensi Peninjauan setiap lima tahun. Konferensi ini dimulai pada tahun 1975 dan diadakan secara berkala setiap lima tahun.
Kedua, The Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW)
TPNW adalah perjanjian yang melarang segala bentuk kegiatan terkait senjata nuklir. Tujuannya adalah mencegah pengembangan, pengujian, produksi, perolehan, kepemilikan, penimbunan, penggunaan, atau ancaman penggunaan senjata nuklir. TPNW juga melarang penyebaran senjata nuklir di wilayah nasional dan memberikan bantuan terkait kegiatan yang dilarang. Negara-negara pihak perjanjian memiliki kewajiban untuk mencegah dan menghentikan aktivitas yang melanggar TPNW di bawah wilayah mereka.
Perjanjian ini juga mengharuskan negara-negara pihak untuk memberikan bantuan yang memadai kepada individu yang terdampak oleh penggunaan atau pengujian senjata nuklir. Selain itu, negara-negara pihak diwajibkan untuk mengambil tindakan yang diperlukan dan tepat untuk melakukan perbaikan lingkungan di wilayah di bawah yurisdiksi atau kendali mereka yang terkontaminasi sebagai akibat dari kegiatan terkait pengujian atau penggunaan senjata nuklir.
TPNW melarang negara-negara untuk mengembangkan, menguji, memproduksi, memperoleh, memiliki, menimbun, atau mengancam menggunakan senjata nuklir dan alat peledak nuklir lainnya. Larangan juga termasuk transfer, pengendalian, dan bantuan terkait senjata nuklir. Negara-negara tidak diizinkan menempatkan atau menyebarluaskan senjata nuklir di wilayah mereka. Selain itu, negara-negara pihak harus memberikan bantuan kepada korban dan mendukung upaya perbaikan lingkungan.
Pandangan Liberalisme Terkait Penghapusan Senjata NuklirÂ
Liberalisme merupakan pandangan dalam politik internasional yang optimis akan tercapainya perdamaian global melalui hukum internasional, organisasi internasional, dan kerjasama internasional. Liberalisme menilai manusia memiliki sifat yang positif, kooperatif, dan cinta damai dimana mereka menekankan pada organisasi-organisasi internasional sehingga menyediakan ruang untuk bernegosiasi dan menciptakan suatu komitmen yang bisa dihormati, dari pernyataan sebelumnya dapat dilihat bahwa peran utama dari perspektif liberalisme adalah negara, organisasi-organisasi internasional, dan kerjasama internasional. Selain itu, liberalisme menekankan pada aspek hak-hak kebebasan dari setiap individu. Dalam konteks penggunaan senjata nuklir, pandangan liberalisme terhadap masalah tersebut cenderung menentang adanya penggunaan senjata nuklir atau liberalisme mendukung adanya penghapusan senjata nuklir. Dalam pandangan liberalisme, penggunaan senjata nuklir dapat mengancam perdamaian dan keamanan global serta hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar.
Berbagai dampak akibat dari penggunaan senjata nuklir ini seperti menyebabkan dampak yang sangat buruk pada kemanusiaan dan kerusakan jangka panjang pada lingkungan serta adanya anggaran yang besar untuk mengembangkan senjata nuklir. Negara mengorbankan kesejahteraan rakyat demi keamanan negara karena alokasi dana yang masif. Untuk memelihara dan mengoperasikan senjata nuklirnya, AS menghabiskan 20 miliar dolar AS setiap tahun (Olson, 2010: 12). AS menghabiskan 9,2 miliar dolar untuk sistem pertahanan rudal selama krisis keuangan 2008 (Schwartz & Choubey, 2009: 27). Kaum liberal berpendapat bahwa adanya pengeluaran besar untuk senjata nuklir dengan mengorbankan kesejahteraan rakyatnya tidak masuk akal. Liberalisme percaya bahwa besarnya alokasi dana untuk senjata nuklir seharusnya mencegah negara dalam memproduksi senjata nuklir. Oleh karena itu, tujuan akhir yang harus dicapai adalah penghapusan senjata nuklir secara keseluruhan. Untuk mencapai tujuan ini liberalisme menekankan pentingnya diplomasi, negosiasi, dan kerja sama internasional yang terbuka dan inklusif.
Â
Keterkaitan Liberalisme dengan Pengembangan Senjata Nuklir di Korea UtaraÂ
Dikarenakan Liberalisme merupakan pandangan yang menekankan nilai-nilai seperti demokrasi, hak asasi manusia, perdamaian, kerjasama, dan peraturan hukum internasional(Gronda, 2020). Pastinya, pengembangan senjata nuklir oleh Korea Utara tidak sesuai dengan prinsip-prinsip liberalisme. Korea Utara berusaha mendapatkan kemampuan nuklir sebagai upaya untuk melindungi diri dan menunjukkan kemampuan mereka dalam merespons agresi dengan kekuatan yang setara. Hal ini bertentangan dengan pandangan liberalisme yang menganggap penggunaan senjata nuklir dapat mengancam perdamaian, keamanan global, serta hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar.
Selama pemerintahan Kim Jong Un, pengembangan senjata nuklir di Korea Utara menjadi sangat agresif dan kontroversial(Manoe et al., 2022). Dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur lainnya, Korea Utara secara konsisten berupaya mengembangkan senjata nuklir. Pemerintah Korea Utara mengambil langkah ini untuk menjaga keamanan dan stabilitas negaranya. Pengembangan militer Korea Utara melalui senjata nuklir dianggap sebagai alat penangkalan terhadap kekuatan dominan negara-negara besar sebagai respons terhadap rasa takut akan ancaman terhadap kepentingan nasional mereka. Pengembangan senjata nuklir ini bisa dipandang sebagai respons aksi-reaksi yang dilakukan oleh negara-negara Asia Timur untuk mempertahankan kepentingan nasional mereka.
Korea Utara telah menjadi negara dengan kekuatan rudal nuklir balistik terkuat di antara negara-negara berkembang dan sedang mengembangkan kekuatan rudal balistik antar benua yang biasa disebut Intercontinental Ballistic Missile. Kementerian Luar Negeri Korea Utara menyebut uji coba tersebut sebagai latihan rutin militer untuk meningkatkan kemampuan pertahanan Korea Utara.
Korea Utara mempertahankan dan memajukan program nuklir dan misilnya yang lebih canggih. Korea Utara diperkirakan memiliki 20 hulu ledak nuklir dan persediaan material yang cukup besar untuk menghasilkan 30 hingga 60 bom nuklir, menurut statistik dari Asosiasi Pengendalian Senjata dari Juni 2018. Korea Utara meninggalkan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) pada tahun 2003. Oleh karena itu, kaum liberalis menganggap penting untuk melakukan diplomasi dan negosiasi dengan Korea Utara guna menghentikan penggunaan senjata nuklir. Langkah-langkah yang dapat diambil oleh pendukung liberalisme mencakup pembentukan kerangka kesepakatan internasional atau kebijakan internasional yang dilakukan secara bertahap. Tujuannya adalah menciptakan hubungan saling menguntungkan dan menghormati hak negara-negara untuk mempertahankan keamanan nasional mereka. Dewan Keamanan PBB telah mengambil sikap tegas dengan memberlakukan sanksi ekonomi dan menerbitkan resolusi sebagai respons terhadap pengembangan senjata nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara secara terbuka.
Selain itu, PBB dan negara-negara anggotanya bekerja sama untuk menjaga keamanan dan perdamaian di kawasan Semenanjung Korea. Hal ini tercermin dalam pembentukan Six Party Talks, Non-Proliferation Treaty (NPT), Treaty Banning Nuclear Weapon Tests In The Atmosphere, dan Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty (CTBT). Amerika Serikat, sebagai negara yang pertama kali menandatangani NPT telah melakukan dialog dengan Korea Utara mengenai isu senjata nuklir. Penting untuk terus mendorong negosiasi dan dialog yang berkelanjutan dan konstruktif guna menyelesaikan masalah senjata nuklir di Korea Utara.
Dapat disimpulkan bahwa pengembangan senjata nuklir oleh negara-negara seperti Korea Utara dianggap sebagai ancaman terhadap perdamaian, keamanan global, dan nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar terutama paham Liberalis. Perlu adanya solusi dalam pelaksanaan kebijakan terkait upaya non proliferasi nuklir yang dapat dilakukan melalui diplomasi dan kerjasama internasional untuk mencapai penghapusan senjata nuklir dan memperkuat perdamaian global. Penggunaan senjata nuklir untuk menenangkan peperangan tidak dapat dibenarkan secara moral mengingat dampak-dampak yang timbul akibat dari penggunaan nuklir yang merugikan dalam berbagai aspek termasuk aspek kemanusiaan, hal ini didukung oleh perspektif liberalisme dimana mereka menekan pada hak-hak  setiap individu untuk hidup bebas.
Penulis:Â
Christoper Lexy Indranata
Deva Assifaq Praditaningsih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H