Contohnya, kasus Lasbi Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) yang akhir-akhir ini semakin mencuat dan meresahkan sebagian masyarakat Indonesia dengan mengaungkan slogan kalimat "Virus LGBT" dalam setiap aksi yang dilakukan oleh para anti-LGBT. Bukan mempersoalkan tentang fenomena LGBT, tapi lebih menekankan pada kalimat dari slogan "Virus LGBT", sebab jika slogan tersebut semakin mengalir dalam setiap aliran informasi di masyarakat, maka akan menimbulkan kesalahan dalam berpikir "Slippery Slope" kepada individu, kelompok, atau masyarakat itu sendiri. Terutama kepada individu atau kelompok yang memiliki latar belakang pendidikan yang tidak maksimal, ditambah kurangnya pengetahuan tentang LGBT, kemudian minat membaca yang anjlok, akan semakin menambah peluang cacatnya otak dalam berpikir alias menimbulkan "Slippery Slope" yang semakin parah.
"Virus LGBT" itu sendiri sangat jelas merupakan dua asumsi yang berbeda baik dalam pengertian kata antara Virus dan LGBT, serta bidang keilmuan tempat dua istilah itu dipaparkan. Seorang individu yang memiliki latar pendidikan yang baik tentu bisa membedakan dua istilah Virus dan LGBT tersebut, Virus adalah parasit mikroskopik yang menginfeksi sel organisme biologis yang dapat menular maupun tidak. Sedangkan LGBT adalah akronim dari Lesbi Gay Biseksual dan Transgender. Kedua istilah dibahas di bidang keilmuan berbeda yaitu virus di bidang biologi, dan LGBT di bidang bahasa (secara akronim), Sosiologi (Bagian Penyimpangan), dan Psikologi (kepribadian).
Jika kita masuk dalam simulasi kesalahan berpikir "Slippery Slope" maka dalam pikiran kita menganggap bahwa "Virus LGBT" dapat menular melalui kontak langsung yaitu fisik seperti sentuhan, maupun kontak tidak langsung seperti, bersin, obrolan, suara, dan sebagainya (sesuai dengan definisi Virus). Apabila tidak dikaji melalui penelitan atau pengamatan, maka "Virus LGBT" akan melekat dalam otak sebagai bentuk doktrin. Apabila doktrin-doktrin tersebut semakin melekat kuat dalam pikiran individu atau kelompok, maka akan menciptakan kesatuan opini publik, dimana kesatuan opini publik dalam cakupan wilayah yang luas akan semakin mudah menyalahkan, menghujat, memprovokasikan, terhadap fenomena-fenomena yang serupa sehingga akan memunculkan kelompok anarkis dan fanatisme, serta radikalisme, yang  berakhir dengan kericuhan, bentrokan, dan peperangan yang mengancam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Perlu diingat bahwa "Slippery Slope" dapat terjadi dalam penggunaan retorika (Seni Berbicara) yang salah, biasanya ketika Public Speaking seseorang yang tidak memperhatikan kalimat yang diucapkannya saat berbicara di depan publik maka akan menimbulkan kebingungan oleh para audiens sehingga akan memunculkan pertanyaan terhadap istilah baru yang ia terima. akibat paling parah dari efek "Slippery Slope" terhadap seseorang adalah ia tidak mampu lagi membedakan bagian yang salah dan benar dari suatu perisitwa atau fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya, jika hal ini semakin berlarut terjadi maka tatanan kehidupan masyarakat akan mengalami kemunduran dan kehancuran.
"Slippery Slope" tentu saja akan memengaruhi cara atau metode berpikir secara ilmiah, sebab dalam metode berpikir ilmiah pengaruh dari "Slippery Slope" dapat terlihat dari hasil pengamatan dan pengolahan informasi yang terjadi di dalam otak, dimana keputusan dan tindakan yang diambil oleh individu akan menimbulkan efek yang berbeda kepada lingkungann sekitarnya. Metode berpikir ilmiah di landasi oleh pola perilaku yang runut, runtut, sistematis, tidak gegabah, kemudian di dukung oleh sumber, referensi, literasi, yang di dapat oleh individu tersebut terutama saat membaca dan memahami sesuatu. jika individu mampu mencermati setiap bagian dari asumsi-asumsi yang datang di berbagai arah, maka peluang terjadinya kesalahan berpikir "Slippery Slope" akan semakin kecil.
Kemudian, metode berpikir ilmiah sangat erat kaitannya dengan bidang pendidikan terutama individu yang seorang akademisi bergulat dengan berbagai bidang keilmuan. Namun fakta berbicara lain ketika kita mendapati individu atau kelompok tertentu dengan latar belakang pendidikan yang baik malah mengalami kesalahan berpikir "Slippery Slope" yang sangat fatal, sehingga tidak hanya merusak metode berpikir ilmiah saja, namun juga mencoreng dunia pendidikan yang sarat dengan proses-proses pembelajaran dan bimbingan dalam pembentukan perilaku dan kepribadian individu atau kelompok tersebut. Secara keseluruhan, pendidikan tidak dapat disalahkan begitu saja tetapi lebih tepatnya mengalami kegagalan dalam proses transfer ilmu dan bimbingan kepada individu atau kelompok tersebut.
Kegagalan dari pendidikan terutama terhadap individu dengan usia yang masih muda akan berpengaruh besar kepada keberlangsungan hidup suatu bangsa dan negara. Maka tidak heran jika suatu negara sangat sulit bergerak dari tahap negara berkembang menuju negara maju hanya disebabkan oleh kesalahan berpikir "Slippery Slope" yang sangat fatal dan parah. Konsekuensinya tentu pendidikan akan disalahkan dan gagalnya pendidikan akibat dari metode berpikir ilmiah yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
"Kebenaran suatu peristiwa itu hanya satu yaitu kebenaran, hanya saja persepsi atau sudut pandang dari manusia membuat kebenaran terpecah menjadi persepsi-persepsi yang berbeda, seperti pelangi yang warnanya putih kemudian dibiaskan oleh kaca kristal prisma sehingga memunculakan warna tujuh warna pelangi yang berbeda."
Penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H