Mohon tunggu...
Deva Nuraini
Deva Nuraini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka

hobi saya membaca dan saya senang dengan mencoba hal-hal yang baru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menghubungkan stoikisme dan tasawuf: seni keikhlasan dan kesabaran dalam kehidupan modern

7 Januari 2025   21:20 Diperbarui: 7 Januari 2025   21:20 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penulis   : Muhammad Ikhsan Albanna

Instansi  : Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka

MENGHUBUNGKAN STOIKISME dan TASAWUF: SENI KEIKHLASAN dan KESABARAN DALAM KEHIDUPAN MODERN

Di tengah dinamika kehidupan modern, kita sering dihadapkan pada tekanan sosial, perubahan yang cepat, dan ketidakpastian yang sulit dihindari. Banyak orang merasa cemas terhadap masa depan, terjebak dalam ketidakpuasan, atau kehilangan makna dalam hidup mereka. Dalam konteks ini, konsep keikhlasan dan kesabaran menjadi kunci penting untuk menemukan kedamaian batin. Namun, bagaimana kita bisa mengasah kedua nilai ini secara mendalam?

Stoikisme, sebuah filosofi yang berasal dari Yunani kuno, dan Tasawuf, tradisi spiritual dalam Islam, menawarkan jawaban yang menarik. Stoikisme mengajarkan penerimaan terhadap hal-hal di luar kendali kita dan fokus pada kebajikan sebagai inti kebahagiaan. Sebaliknya, Tasawuf menekankan hubungan dengan Tuhan melalui keikhlasan, kesabaran, dan ridha (penerimaan hati terhadap takdir). Meskipun berasal dari budaya dan zaman yang berbeda, keduanya memiliki banyak kesamaan yang relevan dengan tantangan kehidupan modern.

Melalui refleksi atas Stoikisme dan Tasawuf, kita bisa menemukan panduan untuk hidup lebih ikhlas, sabar, dan harmonis di tengah kesibukan dunia. Artikel ini akan mengupas bagaimana kedua pendekatan ini saling melengkapi dan menawarkan inspirasi praktis untuk pembaca masa kini.

Stoikisme adalah sebuah aliran filsafat Yunani kuno yang dikembangkan oleh Zeno dari Citium pada abad ke-3 SM. Filosofi ini berfokus pada pengembangan kebijaksanaan melalui pengendalian diri, hidup selaras dengan alam, dan penerimaan terhadap apa yang tidak dapat kita kendalikan. Stoikisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada keadaan eksternal, melainkan pada bagaimana kita meresponsnya. Dengan menempatkan keutamaan seperti kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan pengendalian diri sebagai inti kehidupan, Stoikisme menawarkan kerangka untuk menghadapi tantangan hidup dengan tenang dan bijaksana.

Salah satu prinsip kunci Stoikisme adalah dichotomy of control, yaitu membedakan antara hal-hal yang berada dalam kendali kita dan yang tidak. Menurut prinsip ini, kita hanya memiliki kendali atas pikiran, tindakan, dan sikap kita, sementara hal-hal seperti pendapat orang lain, keadaan eksternal, atau hasil dari usaha kita berada di luar kendali. Dengan memahami batas kendali ini, Stoikisme mendorong kita untuk fokus pada apa yang bisa kita ubah (diri kita sendiri) dan menerima apa yang tidak bisa kita kendalikan dengan ikhlas. Misalnya, jika seseorang menghadapi kegagalan dalam pekerjaan, Stoikisme mengajarkan untuk menerima situasi itu tanpa larut dalam kesedihan, sembari tetap fokus pada usaha dan upaya yang dapat dilakukan ke depannya.

Prinsip ini tidak hanya relevan dalam menghadapi tantangan besar, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika menghadapi kemacetan lalu lintas, kita tidak bisa mengubah situasi jalanan, tetapi kita bisa memilih untuk tetap tenang dan sabar. Dengan pola pikir seperti ini, Stoikisme membantu individu mengurangi stres dan kecemasan, sekaligus memperkuat ketenangan batin dan kebijaksanaan

Tasawuf adalah dimensi spiritual dalam Islam yang menitikberatkan pada penghayatan hubungan yang mendalam dengan Allah, melalui keikhlasan, kesabaran, dan penerimaan total terhadap takdir-Nya. Sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Tasawuf mengajarkan manusia untuk tidak hanya mematuhi aturan lahiriah agama, tetapi juga membersihkan hati dari sifat-sifat tercela, seperti kesombongan, iri, dan cinta dunia yang berlebihan. Dalam Tasawuf, tujuan akhir dari perjalanan spiritual adalah mencapai keridhaan Allah (mardhatillah) dengan mengarahkan seluruh aspek kehidupan kepada-Nya, baik dalam keadaan lapang maupun sempit.

Dua prinsip utama dalam Tasawuf adalah ridha dan sabar. Ridha adalah sikap menerima dengan penuh keikhlasan terhadap segala ketetapan Allah, baik itu berupa nikmat maupun ujian. Dalam tasawuf, ridha dianggap sebagai tanda tertinggi dari keyakinan seorang hamba, karena mencerminkan kepercayaan mutlak terhadap kebijaksanaan Allah yang Maha Mengetahui. Seseorang yang memiliki ridha tidak akan terlarut dalam kesedihan atau rasa kecewa ketika menghadapi cobaan, karena ia yakin bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari rencana Allah yang terbaik untuknya. Misalnya, dalam menghadapi kehilangan, seorang yang memiliki ridha akan menerima keadaan tersebut dengan tenang, tanpa menyalahkan diri sendiri atau orang lain.

Di sisi lain, sabar adalah kemampuan untuk tetap teguh, tenang, dan penuh pengharapan kepada Allah ketika menghadapi berbagai tantangan atau kesulitan hidup. Dalam Tasawuf, sabar tidak hanya berarti menahan diri dari keluhan, tetapi juga melibatkan usaha terus-menerus untuk bertahan dan berbuat baik, meskipun dalam keadaan sulit. Misalnya, ketika menghadapi kesulitan ekonomi, sikap sabar mengajarkan untuk tetap bekerja keras dan berdoa kepada Allah, sambil meyakini bahwa pertolongan Allah akan datang pada waktu yang tepat. Selain itu, sabar juga mencakup kesabaran dalam menahan hawa nafsu, seperti menghindari perilaku yang dilarang dan tetap konsisten dalam menjalankan perintah Allah.

Melalui praktik ridha dan sabar, Tasawuf membimbing manusia untuk mencapai kedamaian batin yang sejati. Dengan menjadikan Allah sebagai pusat kehidupan, Tasawuf membantu manusia menjalani hidup dengan penuh keikhlasan, kesadaran spiritual, dan ketenangan, sehingga setiap perbuatan tidak hanya bernilai duniawi, tetapi juga menjadi jalan menuju kehidupan abadi yang diridhai-Nya.

Stoikisme dan Tasawuf, meskipun berasal dari latar belakang budaya dan agama yang berbeda, memiliki kesamaan mendalam dalam mengajarkan keikhlasan dan kesabaran sebagai kunci menghadapi kehidupan. Dalam Stoikisme, konsep amor fati atau "mencintai takdir" menekankan penerimaan penuh terhadap segala sesuatu yang terjadi, baik maupun buruk. Filosofi ini mengajarkan bahwa hidup menjadi lebih tenang jika kita tidak hanya menerima takdir, tetapi juga mencintainya, karena setiap kejadian dianggap sebagai bagian dari desain alam semesta yang sempurna. Hal ini sejalan dengan konsep ridha dalam Tasawuf, di mana seorang Muslim diajarkan untuk menerima semua ketetapan Allah dengan hati yang ikhlas. Ridha bukan hanya sekadar pasrah, tetapi juga menunjukkan rasa percaya bahwa apa pun yang Allah tentukan, baik itu berupa nikmat atau ujian, adalah yang terbaik bagi hamba-Nya.

Untuk memudahkan pemahaman, bayangkan sebuah sungai yang mengalir deras. Dalam Stoikisme, amor fati mengajarkan kita untuk berhenti melawan arus dan justru berenang selaras dengannya, karena melawan hanya akan membuat kita lelah. Demikian pula, dalam Tasawuf, ridha mengajarkan kita untuk menerima aliran air tersebut dengan keyakinan bahwa setiap liku-liku sungai membawa kita ke tujuan yang Allah kehendaki.

Kesabaran adalah aspek lain yang menjadi titik temu antara Stoikisme dan Tasawuf. Stoikisme mengajarkan bahwa kesulitan adalah bagian alami dari hidup, dan cara terbaik untuk menghadapinya adalah dengan tenang dan rasional. Kesulitan dianggap sebagai latihan untuk memperkuat karakter. Sebagai ilustrasi, seorang Stoik menghadapi kegagalan dengan berpikir, “Apa yang bisa saya pelajari dari situasi ini?” dan melanjutkan hidup tanpa terjebak dalam emosi negatif. Dalam Tasawuf, sabar dipandang lebih dari sekadar menahan diri; ia adalah ibadah dan bukti cinta seorang hamba kepada Allah. Sabar tidak hanya berarti menahan emosi dalam kesulitan, tetapi juga terus berbuat baik dan bertawakal, dengan keyakinan bahwa setiap ujian adalah bentuk kasih sayang Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Analogi sederhana tentang kesabaran adalah seperti seorang petani yang menanam benih. Dalam Stoikisme, petani tersebut memahami bahwa ia tidak dapat mengontrol cuaca atau hasil panen, sehingga ia tetap fokus pada tugasnya dengan tenang. Dalam Tasawuf, petani ini tidak hanya bekerja dengan tekun, tetapi juga bersabar dan berdoa, yakin bahwa Allah akan memberikan hasil terbaik pada waktu yang tepat.

Kesamaan ini menunjukkan bahwa baik Stoikisme maupun Tasawuf menawarkan panduan untuk hidup yang tenang dan bijaksana. Keduanya mengajarkan bahwa dengan keikhlasan dan kesabaran, manusia dapat menghadapi segala situasi dengan hati yang lapang dan jiwa yang kuat.

Prinsip-prinsip Stoikisme dan Tasawuf, meskipun berasal dari dua tradisi yang berbeda, sangat relevan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam mengelola emosi, menghadapi tekanan hidup, dan meningkatkan kedamaian batin. Kedua filosofi ini mengajarkan cara untuk tetap tenang dan bijaksana, bahkan dalam situasi yang penuh tekanan. Berikut adalah beberapa langkah konkret yang dapat diambil untuk menerapkan prinsip-prinsip ini:

  1. Mengelola Emosi dengan Keikhlasan (Ridha dan Amor Fati)
    Salah satu cara utama untuk mengelola emosi adalah dengan menerapkan konsep ridha dari Tasawuf dan amor fati dari Stoikisme, yaitu dengan menerima segala yang terjadi dalam hidup kita dengan lapang dada. Ketika kita dihadapkan pada situasi yang tidak menyenangkan, seperti kegagalan di tempat kerja atau masalah pribadi, langkah pertama adalah mengenali perasaan kita dan mengakui bahwa kita tidak bisa mengendalikan segala hal di luar diri kita. Dalam praktiknya, kita bisa mencoba berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri: "Apa yang bisa saya kontrol dalam situasi ini? Apa yang tidak bisa saya ubah?" Dengan fokus pada hal-hal yang dapat kita pengaruhi—seperti sikap dan respons kita—kita dapat mengurangi stres dan kecemasan.
    Contoh Kasus: Bayangkan Anda mengalami kesalahan besar di tempat kerja yang membuat Anda merasa sangat kecewa dan frustrasi. Alih-alih terjebak dalam perasaan negatif, cobalah untuk melihat kegagalan tersebut sebagai kesempatan untuk belajar dan berkembang, seperti yang diajarkan oleh Stoikisme. Dalam Tasawuf, Anda bisa berdoa dan memohon ketenangan hati, serta meyakini bahwa segala ketetapan Allah adalah yang terbaik untuk Anda.
  2. Menghadapi Tekanan Hidup dengan Kesabaran (Sabar)
    Kesabaran adalah kualitas utama yang dibutuhkan untuk menghadapi tekanan hidup. Baik dalam Stoikisme maupun Tasawuf, sabar bukan hanya berarti menahan diri dari kemarahan atau keluhan, tetapi juga terus berupaya dan tetap teguh dalam menjalani ujian hidup. Ketika kita menghadapi kesulitan, seperti masalah keuangan, hubungan, atau kesehatan, kita bisa mulai dengan mengenali bahwa ujian adalah bagian dari hidup dan bahwa Allah atau alam semesta tidak memberi ujian di luar kemampuan kita untuk menghadapinya.
    Contoh Kasus: Anda sedang menghadapi kesulitan finansial yang sangat menekan. Dalam situasi ini, langkah pertama adalah tetap sabar dan menjaga pikiran positif, seperti yang diajarkan dalam Stoikisme. Alih-alih meratapi keadaan, fokuslah pada langkah-langkah yang dapat Anda ambil untuk memperbaiki situasi, seperti mencari peluang tambahan atau mengatur pengeluaran dengan bijak. Dalam Tasawuf, Anda bisa berdoa dengan sabar, memohon agar Allah memberikan solusi dan kekuatan dalam menjalani ujian ini.
  3. Meningkatkan Kedamaian Batin dengan Dzikir dan Refleksi
    Baik Stoikisme maupun Tasawuf mengajarkan pentingnya refleksi diri dalam mencapai kedamaian batin. Dalam Stoikisme, ini sering dilakukan melalui praktik jurnal atau merenung setiap malam untuk mengevaluasi tindakan kita dan bagaimana kita bereaksi terhadap peristiwa hari itu. Dalam Tasawuf, ini sering kali dilakukan dengan berzikir, yakni mengingat Allah secara kontinyu untuk menenangkan hati. Kedua praktik ini membantu kita untuk menjaga hati tetap stabil, meningkatkan kesadaran diri, dan memperdalam rasa syukur atas hidup.
    Contoh Kasus: Setiap malam sebelum tidur, luangkan waktu beberapa menit untuk merenung. Dalam Stoikisme, Anda bisa bertanya pada diri sendiri, "Apakah saya telah bertindak dengan bijaksana hari ini? Apa yang bisa saya perbaiki?" Dalam tradisi Tasawuf, Anda bisa mengulang zikir atau doa untuk menenangkan pikiran dan mengingatkan diri akan kebesaran Allah.

Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip ridha, sabar, dan keikhlasan dari Stoikisme dan Tasawuf ke dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat mengelola emosi dengan lebih baik, menghadapi tekanan hidup dengan lebih tenang, dan mencapai kedamaian batin. Langkah-langkah kecil ini, seperti refleksi diri dan penerimaan penuh terhadap takdir, dapat membantu kita untuk lebih bijaksana dalam merespons kehidupan dan menemukan ketenangan meski di tengah tantangan.

Dalam pembahasan ini, kita telah melihat bahwa baik Stoikisme maupun Tasawuf menawarkan prinsip-prinsip yang sangat relevan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam mengelola emosi, menghadapi tekanan hidup, dan meningkatkan kedamaian batin. Kedua filosofi ini menekankan pentingnya keikhlasan dalam menerima takdir, baik dalam bentuk amor fati pada Stoikisme maupun ridha dalam Tasawuf, serta kesabaran (sabar) sebagai landasan dalam menghadapi ujian hidup. Dengan mengintegrasikan kedua prinsip tersebut—keikhlasan dan kesabaran—kita dapat lebih bijaksana dalam merespons tantangan hidup, menjadikan setiap kesulitan sebagai peluang untuk berkembang, dan menemukan kedamaian yang lebih dalam di tengah segala situasi.

Sebagai penutup, saya mengajak para pembaca untuk merenung sejenak dan mempertimbangkan bagaimana prinsip-prinsip Stoikisme dan Tasawuf dapat diaplikasikan dalam kehidupan mereka. Mengadopsi sikap ridha atau amor fati dalam menghadapi ketidakpastian hidup dapat membantu kita melepaskan beban emosional yang tidak perlu, sementara praktik sabar memberikan kekuatan untuk tetap teguh dan berfokus pada solusi meski dalam keadaan sulit. Dengan langkah-langkah sederhana, seperti refleksi diri setiap hari, berdoa dengan keyakinan, dan menerima takdir dengan lapang dada, kita bisa mencapai kedamaian batin yang sejati. Hidup tidak selalu mudah, namun dengan prinsip-prinsip ini, kita dapat menjalani kehidupan dengan lebih tenang, bijaksana, dan penuh rasa syukur.

 

Sebagai penutup, mari kita renungkan sebuah kutipan yang menggugah dari seorang tokoh Stoik, Marcus Aurelius, yang berkata: "Kebahagiaan hidup tergantung pada kualitas pikiran kita." Kutipan ini mencerminkan esensi dari Stoikisme, yang mengajarkan bahwa kita memiliki kendali atas bagaimana kita merespons peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup kita. Kebahagiaan dan kedamaian batin tidak bergantung pada keadaan eksternal, melainkan pada sikap batin kita yang penuh pengendalian diri, penerimaan, dan kebijaksanaan.

Dari perspektif Tasawuf, kita dapat merujuk pada sebuah nasihat dari Sufi besar, Rumi, yang mengatakan: "Biarkan hatimu menjadi seperti laut yang luas, yang tidak terpengaruh oleh ombak-ombak kehidupan." Rumi mengingatkan kita untuk memiliki hati yang lapang dan penuh penerimaan terhadap setiap takdir yang datang, tak peduli seberapa keras ombak kehidupan menghantam. Prinsip ini mengajarkan kita untuk tetap tenang dan ikhlas, seperti laut yang luas, yang mampu menerima segala perubahan tanpa kehilangan kedamaian dalam dirinya.

Kedua kutipan ini, meskipun berasal dari tradisi yang berbeda, mengajarkan kita bahwa kedamaian batin dan kebahagiaan sejati datang dari kemampuan kita untuk mengendalikan pikiran dan hati kita, serta menerima segala hal dengan ikhlas dan sabar. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip Stoikisme dan Tasawuf dalam kehidupan kita, kita dapat mencapai kedamaian yang lebih dalam, lebih bijaksana dalam menghadapi hidup, dan hidup dengan penuh rasa syukur, apapun yang terjadi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun