Mohon tunggu...
Deva Gama
Deva Gama Mohon Tunggu... Penulis - penulis

penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia: New Normal Vs Moralitas Masyarakat

31 Mei 2020   16:41 Diperbarui: 31 Mei 2020   16:44 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perubahan memang suatu hal yang pasti, terlebih lagi ditengah pandemi seperti sekarang ini. Banyak perubahan yang silih berganti. Pemerintah kini tengah mencari solusi, berbagai macam kebijakan pun silih berganti, hingga “New Normal” menjadi solusi. 

Tapi, di saat situasi yang belum terkendali, pemerintah seakan lepas kendali. Alih – alih mencari solusi, jangan sampai masalah yang lain semakin mengantre.

Kita semua tahu bahwa kehidupan yang berubah dikarenakan pandemi adalah sebuah hal yang tak bisa dihindari. Oleh karena itu, pemerintah menyatakan agar masyarakat harus bisa hidup berdampingan dengan COVID-19. 

Pemerintah Indonesia, melalui juru bicaranya mengatakan masyarakat  harus menjaga produktivitas ditengah pandemi dengan tatanan baru yang disebut “New Normal”. Pandemi Corona telah mengharuskan masyarakat untuk bisa beradaptasi dengan kenormalan baru. 

Harapannya, masyarakat segera bisa melaksanakan aktivitas seperti biasa namun dengan cara baru. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah pemerintah sudah siap akan perubahan ke arah “New Normal” ini?

 Untuk dapat beradaptasi dengan kenormalan baru tersebut, Undang-Undang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya juga menegaskan kewajiban pemerintah untuk memberikan standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai oleh setiap orang. 

Secara teknis, Komentar Umum Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak atas Kesehatan menguraikan empat komponen inti (core obligations) yang harus dipenuhi oleh pemerintah terkait dengan hak atas kesehatan.

Pertama adalah ketersediaan. Pemerintah wajib memastikan bahwa jumlah sarana, prasarana, dan fasilitas kesehatan cukup dan memadai untuk mencegah dan menangani wabah COVID-19.

Kedua adalah akses. Pemerintah wajib memastikan bahwa fasilitas kesehatan, peralatan dan obat-obatan, serta pelayanan kesehatan harus dapat diakses oleh setiap orang tanpa adanya diskriminasi atau pembedaan atas dasar ras, etnis, suku, agama, strata sosial, maupun golongan. Selain itu, setiap orang harus dapat mengakses hak atas kesehatan secara fisik dan ekonomi serta dari sisi informasi.

Ketiga adalah keberterimaan. Pencegahan dan penanggulangan wabah COVID-19 harus menghormati etika medis, khususnya terhadap pasien terinfeksi, dan memperhatikan kebutuhan masyarakat yang beragam.

Keempat adalah kualitas. Pemerintah wajib memastikan kualitas sarana, prasarana, obat-obatan, dan pelayanan kesehatan sehingga mampu mencegah, mengobati, dan menangani wabah corona secara paripurna.

Kualitas ini akan sangat menentukan tingkat keberhasilan mitigasi, penanganan, dan pemulihan pasca-wabah karena dilakukan secara efektif dan efisien.

Namun, alih – alih untuk meredam perkembangan COVID-19 dengan beradaptasi bersama “New Normal”, Laporan kasus harian pun masih berfluktuasi sehingga terlalu dini untuk bicara soal normalitas baru.

Permasalahan mengenai ketersediaan jumlah sarana dan obat – obatan, seakan masih menjadi salah satu kewajiban pemerintah dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Tak hanya itu, tenaga kesehatan lainnya pun terbatas. 

Ketersediaan perawat dan bidan Indonesia berada di posisi terburuk di antara negara lainnya. Rasio perawat per 1.000 penduduk sebesar 2,1 yang berarti dua orang melayani 1.000 penduduk.

Disamping itu, transmisi yang tidak terkendali, seakan menjadi bukti bahwa kita sedang dihadapkan dengan kenyataan antara bersama dengan “New Normal” yang dinanti atau dihadapkan dengan “Herd Immunity”. 

Bahkan sebenarnya Indonesia seakan sedang dalam masa “Abnormal”, terombang – ambing dihadapi oleh kebingungan dan seakan tergesa – gesa dalam menerapkan kebijakan.

Penyebab utama ke-“Abnormal”-an ini karena kehidupan “pasca-pandemi”, yang diretorika oleh berbagai media sebagai “New Normal” yang tak dibarengi dengan prinsip “New Society” dan juga “New Morality”. Sehingga “New Normal” pun seharusnya tidak perlu dibatasi hanya dalam perubahan yang bersifat kesehatan dan pembaharuan ekonomi saja, namun perilaku masyarakat dengan moralitas yang baru pun perlu untuk dilakukan.

 Moralitas baru ini berisi norma-norma baru yang disepakati oleh umat manusia dalam mereposisi hubungannya dengan sesama, Alam, dan Tuhan ke arah yang baru, menjauh dari pola-pola timpang, alienatif, dan destruktif yang dilakukan umat manusia sepanjang berabad-abad. 

Sehingga ketimpangan pada saat pra-pandemi dengan konsep “New Normal” yang kompleks ini diharapkan dapat menekan tak hanya dari sisi penularan virus semata, namun masyarakat serta moralitas yang bobrok dan tak disiplin melalui “New Society” dan “New Morality” pun dapat ditekan.

Apabila “New Normal” terus dicanangkan tanpa persiapan yang tepat dan juga tanpa melihat komponen – komponen utama dalam pemenuhan hak dan kesehatan masyarakat serta penerapan dari prinsip “New Society” dan “New Morality”, kita tidak bisa membayangkan bahwa mau tidak mau bukan hanya transmisi COVID-19  yang akan semakin membludak hingga ke pelosok - plosok negeri tetapi juga moralitas masyarakat yang tidak akan berubah baik dalam menghadapi pandemi saat ini sehingga  seakan retorika “New Normal” nyatanya hanya alat pembungkus semata dari “New Stupidity”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun