Mohon tunggu...
Ananda Ladeva Gumanti
Ananda Ladeva Gumanti Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Blogger, writer, script writer, full passionate with PR and Politic Communication and also love to travel

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Berkaca Kepada Growns Up

6 Oktober 2010   04:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:41 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Oke, pertama, saya akan katakan sejujurnya bahwa saya bukanlah seorang movie freaks yang meluangkan waktu setiap minggu ke bioskop untuk nonton film terbaru. Im not! Dan saya pun bukan seorang yang menyisihkan uang untuk mengoleksi film-film baik bajakan atau original. Im not! Saya hanya seorang penikmat film di waktu luang yang santai saja mengikuti perkembangan film dan teknologinya. Nah, tapi bukan berarti saya tidak boleh membuat review film donk, he…

Kenapa Growns Up? Karena saya baru saja menontonnya semalam lewat kepingan DVD bajakan (pengakuan nich…) yang saya beli di ITC Permata Hijau dengan harga Rp6,000 (hahaha…lebih murah Rp1,000 daripada di Ratu Plaza). Dan tidak ada alasan khusus kenapa saya membeli Growns up. Saya lagi tidak punya terlalu banyak pekerjaan, belum ada buku baru dan saat saya ke ITC Permata Hijau, kebetulan (meskipun menurut Oprah Winfrey tidak ada kebetulan di dunia ini) saya membeli sebuah software komputer, makanya saya sekalian saja beli DVD Growns Up, yang kata teman saya adalah film lucu. Oke, ada Adam Sandler, mungkin lucu (jadi ingat akting dia di film 50 first date).

Saya masih menebak-nebak film ini akan seperti apa, meskipun di cover DVDnya ditulis “bags of laughs”. Tapi yach…masih belum percaya. Untuk review ini, saya akan menggunakan nama asli dari para pemain di film ini.

[caption id="attachment_280257" align="aligncenter" width="239" caption="Just watch this movie...!"][/caption]

Adegan pembuka di film ini adalah pertandingan basket anak-anak, yang jelas salah satu pesertanya adalah Adam Sandler semasa kecil. Dan yup, pastinya pula, yang menang adalah Adam Sandler and his gank. Boom, seperti yang sudah tertebak, selalu ada gugatan pihak yang kalah, “Hei…kakinya menyentuh garis!” Sebuah gugatan yang tidak digubris oleh wasit, dan belakangan ternyata gugatan ini mendarah daging hingga dewasa.

Kemenangan Adam Sandler and his gang (saya lupa nama klubnya apa…) dirayakan dalam sebuah pesta yang dibuat oleh Sang Pelatih. Setelah pesta, alur langsung maju 30 tahun kemudian. Dan masing-masing dari anggota Adam Sandler and his gang, sudah mempunyai keluarga dengan berbagai konflik hidup.

Bisa dikatakan, yang paling mapan di antara ke-5 anggota gang adalah Adam Sandler (meskipun sejujurnya, sampai akhir film, saya tidak tahu apa profesinya). Dia mempunyai istri cantik, yang diperankan Salma Hayek, seorang desaigner ternama dan 3 anak yang update sekali dengan teknologi (PSP, Hp terbaru), bergaya baju paling trendi, dan berbicara layaknya orang dewasa (apakah hal itu mengingatkan kita semua dengan kondisi anak kecil jaman sekarang?!).

Chris Rock (mmm…funny guy), seorang suami yang mempunyai istri yang sedang hamil dan mempunyai 2 orang anak, tinggal bersama ibunya yang selalu saja menjatuhkan harga dirinya. Konflik dalam keluarganya sungguh menarik untuk disimak. Seorang laki-laki yang tidak bekera di kantor, mengurus anak dan keluarga, memasak, mencuci, mempunyai istri hamil yang bekerja di kantor, istri yang tidak mau mendengarkan suaminya, tinggal bersama ibu yang juga tidak mendukungnya. Wow…betapa kesepiannya jenis suami seperti ini.

Kevin James, seorang suami yang mempunyai istri cantik, 2 orang anak (laki-laki usia 4 tahun yang MASIH minum susu dari ibunya dan seorang perempuan yang cantik, berbadan lebih besar dibandingkan teman seusianya). Seorang yang sebenarnya pengangguran tapi lantaran malu mengakui hal ini di depan teman-temannya, ia mengaku sebagai pengusaha yang sukses dan kaya raya. Ia pun menyewa mobil mewah saat bertemu dengan teman-temannya. Wow…

David Spade, single (Mmmm…tampaknya hanya itu yang saya bisa jelaskan tentang perannya).

Rob Schneider, seorang laki-laki yang sudah pernah menikah 3 kali dan saat ini sedang berkeluarga dengan seorang wanita paruh baya, diperankan oleh Joyce Van Patten. Teman-temannya tidak percaya dia menikah dengan seorang perempuan yang mungkin lebih cocok menjadi ibunya. Well…love is blind, isn’t it?

Yach, kurang lebih gambaran para pemain seperti itu. Mereka akhirnya berkumpul lagi setelah beberapa lama tidak berjumpa, dan dipertemukan di acara pemakaman pelatih basket mereka, sewaktu mereka kecil. Menarik sekali, meskipun acara pemakaman tapi tidak ada kesedihan yang terlalu didramatisir. Mungkin memang itulah style mereka.

Setelah semua acara pemakaman selesai, mereka pun menginap di sebuah tempat di pedesaan. Nah, disinilah menariknya, saya akan lebih banyak menulis tentang cerita Adam Sandler dan keluarganya. Ia, seorang keluarga Hollywood tinggal di daerah terpencil. Ia nyaman. Tapi tidak dengan anak-anaknya. Yang selalu saja bermain PSP, sms teman-temannya bahkan menyuruh baby sitternya dengan sms. Anak-anaknya tidak ada semangat untuk bermain kotor-kotoran. Tidak ada ide dan kreativitas. Adam Sandler berusaha sekuat tenaga untuk mendorong anak-anaknya bermain di dunia nyata. Kotor-kotoran dengan tanah, bermain air, berinteraksi dengan teman sebaya, dsb. Selama beberapa hari, usaha Sandler tidak membuahkan hasil. Sampai akhirnya, terdengar suara keributan dari kamar anak-anaknya.

Ternyata, anak-anaknya sedang bermain dengan anak teman-temannya. Bermain telepon kaleng! Whooohohoho…semua anak yang semula terlalu asyik dengan teknologi akhirnya mau bermain permainan yang sederhana. Itulah keinginan Sandler. Bermain layaknya anak kecil. Tidak melulu teknologi, yang terkadang menyuguhkan games yang berbahaya. Perang, senjata, darah, korban mati. Menyeramkan!

Sejak hari itu, mereka (Adam Sandler and his gang+his family) bermain dan bermain, bersenang-senang, dan bahagia! Sampai akhirnya, terjadi konflik antara David Spade dan Rob Schneider. Rob Schneider menuduh David Spade melakukan affair dengan anaknya. Tapi hal ini dibantah oleh David Spade dan juga dibenarkan oleh sang anak. Akhirnya, keluar pengakuan dari David Spade bahwa dia homo! Well, langsunglah pengakuan keluar dari setiap orang. Chris Rock mengaku sedih dan membutuhkan seorang istri yang mau mendengarkan ceritanya dan tidak sibuk bekerja. Kevin James mengaku ia sudah tidak bekerja, belakangan dia diberi pekerjaan oleh Sandler. Dan istri Rob Schneider mengaku bahwa terkadang ia melihat suaminya, Rob Schneider, jelek, berpakaian buruk, dsb. Begitupula Rob Schneider mengeluarkan pengakuan tentang kekurangan istrinya.

Semua pengakuan itu tidak lantas membuat semua berantakan, justru membuat mereka semakin dekat dan mencari solusi dari setiap keluhan mereka.

Dan, tidak lupa, sedikit cerita tentang gugatan dari pihak yang kalah 30 tahun lalu saat pertandingan basket. Pihak yang kalah itupun beranjak dewasa (pastinya…) dan menantang Sandler and his gang untuk bertanding basket. Menariknya, titik terakhir dan penentuan menang atau kalah ditentukan oleh Sandler, jika dia dapat memasukkan bola maka ia menang tapi jika gagal, dia kalah. Sandler, seorang yang dikenal tidak pernah meleset menembakkan bola, untuk pertama kalinya meleset! Pihak penggugat menang.

Di akhir film, Hayek bertanya kepada Sandler, “Kenapa tadi bolanya tidak masuk?”

Sandler menjawab singkat, “Karena dia (pihak lawan) sekali-kali harus merasakan kemenangan dan kita harus belajar untuk kalah.” *Good point, right?!*

Dari semua scene, menurut saya yang paling menarik adalah cerita tentang kelakuan anak-anaknya Sandler yang erat kaitannya dengan gaya anak kecil saat ini. Kemana-mana membawa hp bahkan BB, sms, chatting, facebook, psp dan itu membuat mereka jarang berlari, bermain, kotor-kotoran, dsb. Sebuah film dengan sentilan yang menarik, humor yang segar, pesan moral yang indah…

Apa mungkin salah satu alasan Adam Sandler menulis cerita ini karena ia juga terganggu dan resah dengan perkembangan anak kecil saat ini? Entahlah…

Saya merekomendasikan para orangtua untuk menonton film ini (mungkin dengan membeli DVDnya karena film ini sudah tidak tayang di bioskop, he…).

Dari film ini, saya pun tersadar bahwa masa kecil saya tidak melulu tentang teknologi (saya tidak pernah punya tamagochi), tapi saya bermain masak-masakan, puzzle, jalan-jalan dengan orangtua saya, tidak ber-pramuka ria saat SD justru bermain marching band (meskipun sebagian besar jadwal latihan saya habiskan dengan membolos karena saya frustasi tidak bisa bermain pianika) dan jarang membaca buku legenda daerah. Yang saya ingat hanya Tangkuban Parahu dan Malin Kundang serta berpuluh-puluh judul buku Disney dan komik lainnya…

Deva, Okt 6, 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun