Mohon tunggu...
Ananda Ladeva Gumanti
Ananda Ladeva Gumanti Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Blogger, writer, script writer, full passionate with PR and Politic Communication and also love to travel

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pengakuan: Tidak Bisa Berenang!!!

20 September 2010   07:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:06 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_263304" align="alignleft" width="300" caption="Goyang, Jatuh!"][/caption]

Oke, saya jelaskan bahwa pengakuan di atas bukanlah sebuah cara untuk mencari sensasi, popularitas, dan nama tenar kemudian berharap untuk diorbitkan oleh seorang perenang professional untuk menjadi calon perenang di Indonesia atau diorbitkan untuk menjadi model dan narasumber sebuah buku yang mungkin judulnya “Swimming for Dummies”. Tidak sama sekali. Saya hanya ingin mengakui bahwa saya tidak bisa berenang tapi bukan berarti saya takut mencoba alat transportasi di laut dan bukan berarti saya tidak mau bepergian dengan kapal laut. Oke, berhenti defence!

Awal ceritanya adalah baru saja saya mengingat-ingat bahwa selama 2010 ini sudah banyak daerah dari ujung barat Indonesia hingga ujung timur Indonesia yang sudah saya kunjungi, Alhamdulillah untuk hal itu. Berbagai alat transportasi pun sudah pernah saya coba, dari darat, laut dan udara. Masing-masing mempunyai sensasi tersendiri.

Dan tiba-tiba adrenalin saya naik ketika mengingat pengalaman saya jika harus naik transportasi laut. Mendadak merasakan ketakutan dan lucu jika harus mengingat ekspresi saya ketika itu. Dan mendadak membuat sebuah pengakuan terhadap diri sendiri bahwa saya paling takut naik kapal laut. Tenggelam di laut?! Nooooo that’s my worst dream. Satu-satunya alasan yach karena saya tidak bisa berenang! Selesai perkara. Saat menulis ini, saya menjadi teringat perasaan takut saya ketika harus naik kapal ferry barang dari Labuhan Batu Utara menuju Tanjung Leidong.

Ketika itu, kami (saya dan tim, fyi: saya perempuan satu-satunya di dalam tim) tiba di Labuan Batu Utara pukul 5 sore setelah menempuh perjalanan darat dari Medan selama 4 jam. Karena kapal ferry terakhir ada jam 2 siang, jelas bahwa kami terlambat dan terpaksa menggunakan kapal ferry barang yang sudah menunggu kami selama 30 menit (saat di mobil, kami sudah mengontak kapten kapal ferry untuk menunggu kami). Nah, jika biasanya penumpang mau naik ke kapal, pasti kapal berada di tepian anjungan dan aman untuk dinaiki. Sedangkan yang terjadi pada kami saat itu, tidaklah seberuntung itu, kami terpaksa harus naik melalui dermaga samping dekat pom bensin dan anjungan yang kami lewati adalah jembatan kayu tua, selain itu kapal sudah tidak mau menepi, akhirnya untuk menyeberang masuk kapal, kami harus melompati batang kayu pohon yang tertancap langsung di tepi laut!!! What a day! Dan saya seketika langsung lemas, tiada dapat menolak dari “part of duty”.

Oke, akhirnya masuk ke pintu kapal setelah berjalan dengan merapatkan badan ke dinding kapal, berjalan layaknya cicak. Masuk ke kapal ferry, yang saya taksir usianya, sudah tua. Bertemu dengan para penumpang lainnya yang terlihat sudah nyaman dan menyatu dengan keadaan kapal ini. Sedangkan saya harus berusaha keras untuk percaya bahwa kapal ferry ini tidak akan tenggelam. Berusaha santai, duduk di depan kapal dan mengobrol untuk menghilangkan ketakutan. Mengobrol terus, cuaca semakin dingin, perut lapar. Berinisiatif membuat pop mie, tapi ternyata di kapal tidak ada air panas. Akhirnya, kami menyantap pop mie dengan gaya ala pramuka. Yup, tidak direbus, tapi memakannya dengan mentah, menggabungkan semua bumbu dengan mie dan langsung makan! Lupa akan kandungan MSGnya dan bahaya terhadap otak. Hahaha…ketua tim saya adalah seorang dokter dan dialah yang “menggoda” saya untuk makan pop mie ala pramuka. Lucu sekali…apa daya perut kosong dan hanya itu yang dapat kami makan.

Setelah itu, perjuangan saya melawan rasa takut tenggelam belum berakhir. Dua hari setelah kami menginap di Tanjung Leidong, kami harus ke Desa Simandulang dan Desa Teluk Pulai Luar dan perjalanan tersebut harus dengan sampan kecil yang mungkin muat hanya untuk 5 orang, maksimal. Luar biasa takutnya saya karena tim saya berjumlah 4 orang, 3 laki-laki dan hanya saya perempuan, berukuran mini pula, sedangkan 3 orang teman saya yang lain badannya besar-besar. Nah, naiklah kami ke sampan, diiringi dengan keringat dingin dan senyum saya yang dipaksakan, berusaha tenang. Satu orang teman saya sudah siap duduk di ujung sampan dan sekarang giliran saya untuk naik ke sampan. Teman saya yang paling besar sudah duduk dengan aman di posisi tengah, titik penyeimbang. Artinya saya harus memilih mau duduk sebelah kiri atau kanan. Baik, saya pilih sebelah kiri dan satu teman saya duduk sebelah kanan. Sampan oleng! Berat kami tidak seimbang. Berat saya lebih ringan dibandingkan teman-teman saya dan akhirnya air botol menjadi pemberat kami. Saya tidak berani bergerak terlalu banyak, jelas karena takut tenggelam. Tapi perlahan-lahan, angin sepoi dan pemandangan sungai yang indah pun bisa menenangkan saya.

Petualangan belum berakhir. Tiba di Desa Simandulang, yang pernah saya muat di sini, merupakan sebuah desa di atas air. Artinya jika musim sedang pasang maka mereka hidup di atas air, sedangkan jika laut sedang surut maka mereka tinggal di darat. Keajaiban Sang Maha Kuasa, menjadikan tempat tinggal mereka begitu unik. Jalanan di desa mereka bukanlah beton, meskipun sudah ada beton sepanjang 2 meter, melainkan jalanan kayu tua. Dan tepat di bawahnya adalah sungai. Lagi-lagi, jika tidak berhati-hati jalan di sana maka akan jatuh ke sungai dan bagi yang tidak bisa berenang akan tenggelam. Jadi yach…selama di sana, saya selalu berpegangan dengan anggota tim saya.

Jadi yach..begitulah pengalaman saya melawan rasa takut tenggelam. Setiap pulang dari daerah yang menantang rasa takut tenggelam, saya selalu tersenyum dan merasa bersyukur sekali bahwa saya masih diberikan kesempatan untuk menikmati hidup. Well…hidup baru berasa berarti ketika kita mempunyai tantangan…well done…!

Deva, Sept 20, 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun