Mohon tunggu...
Ananda Ladeva Gumanti
Ananda Ladeva Gumanti Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Blogger, writer, script writer, full passionate with PR and Politic Communication and also love to travel

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pengemis; Layakkah Diberi?

31 Agustus 2010   03:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:34 1153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perjalanan saya ke kantor pagi ini, saya membaca sebuah peraturan daerah yang terpampang di billboard iklan sebuah supermarket yang baru saja berdiri di daerah Gandaria. Tertulis di sana, “Tidak memberi pengemis bukan karena tidak peduli, melainkan karena tidak ingin membiarkan ia terus menjadi pengemis (Perda No 8 Tahun 2007).”

[caption id="attachment_244830" align="alignleft" width="400" caption="Ilustrasi/Admin (id.kksp.or.id)"][/caption]

Sebuah anjuran yang pastinya mengundang pro dan kontra dari kalangan masyarakat dan ketika melihat tahun ditetapkannya peraturan daerah tersebut, tertulis tahun 2007. Membuat saya teringat bahwa sudah hampir 3 tahun lalu, gembar-gembor isi peraturan ini dibicarakan di media massa, memanggil banyak pakar sosiologi, LSM dan politisi. Tujuan dari peraturan daerah ini untuk menertibkan para pengemis, tapi menurut saya, cara ini kurang berhasil. Pengemis tetap bersileweran di jalanan, bis kota, masjid, sekolah, mall, gedung perkantoran, pasar, rumah, dan tempat-tempat lainnya. Karena apa? Karena kemiskinan memang masih mengakar di Indonesia ini, Indonesia yang raya!

Tertarik dengan peraturan tersebut, saya pun mencarinya di google. Ditemukan bahwa di dalam pasal 40, setiap orang atau badan dilarang:

a.Menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil;

b.Menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil;

c.Membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil.

Dan jika ada yang melanggar poin a dan c maka dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 10 (sepuluh) hari dan paling lama 60 (enam puluh) hari atau denda paling sedikit Rp. 100.000,- (Seratus Ribu Rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000,- (Dua Puluh Juta Rupiah). Sumber di sini

Nah, tidak salah jika perda ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat pemberi sedekah dan masyarakat penerima sedekah. Lantas, dimanakah letak keikhlasan untuk memberi sedekah? Apakah mereka tidak pantas diberi? Bukankah kita harus tolong menolong sesama umat manusia? Saya pun belum dapat memberikan jawaban yang baik, jadi saya mengembalikan semuanya kepada niat masing-masing pemberi sedekah. Bukan bermaksud menafikkan isi pasal ini.

Peraturan daerah ini membuat saya teringat dengan sosok idola saya di bidang kemiskinan yaitu Muhammad Yunus, penerima Nobel Perdamaian 2006. Seingat saya, ada satu pemikirannya yang tertuang di buku berjudul “Grameen Bank; Buku Kaum Miskin”, “Jangan pernah memberi pengemis itu uang karena itu hanya akan memanjakannya mereka dan membuat mereka terus berada di lingkaran setan kemiskinan.” (Maaf kalo kalimat ini tidak sama persis, tapi intinya yang saya cermati adalah demikian).

Pikiran saya, Muhammad Yunus saja yang sangat menyayangi kaum miskin tidak mau memanjakan mereka dengan cara memberikan mereka sedekah yang instan. Justru yang ia lakukan adalah ia menawarkan sebuah sistem yang dapat dimengerti dan dijalankan oleh kaum miskin, tapi di Bangladesh. Meskipun saya mengidolakan Muhammad Yunus dan sistemnya, saya menyadari bahkan Muhammad Yunus juga telah menyadari bahwa system Grameen Bank belum tentu bisa berhasil di setiap negara, tetapi pasti bisa dicoba dengan mengubah sistemnya dan beradaptasi dengan kultur masyarakat di setiap negara, dan itu berhasil! Grameen Bank telah berhasil di puluhan negara, bahkan Afrika juga pernah mencobanya. Mantan Presiden Amerika, Bill Clinton pun turut mendukung Grameen Bank.

Saya jadi teringat dengan kedatangan Muhammad Yunus ke Istana Merdeka untuk memberikan kuliah umum di hadapan Presiden SBY dan para menterinya. Di sana beliau bercerita tentang keberhasilan Grameen Bank dan kredit mikro sebagai sistemnya. Indonesia pun terlihat bersungguh-sungguh mengentaskan kemiskinan dan ingin mengadaptasi sistem tersebut, maka dibuatlah KUR (Kredit Usaha Rakyat) dan PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri). Saya tidak tahu apakah masyarakat senang dan merasa terbantu dengan kedua program ini. Yang saya tahu, beberapa dari masyarakat desa di beberapa wilayah yang pernah saya kunjungi (bukan dalam rangka penelitian PNPM tapi penelitian isu yang lain), mengatakan bahwa mereka sekarang punya jembatan, sekolah atau jalan raya karena PNPM. Itu adalah ungkapan kebahagiaan dari mereka, tapi terlalu dini untuk menilai bahwa program itu berhasil atau gagal.

Kembali ke masalah pengemis. Seperti yang sudah disebutkan di awal bahwa pengemis itu lahir dari sebuah kemiskinan yang, menurut saya, berakar kepada pendidikan yang tidak maksimal. Dari dulu, saya selalu percaya bahwa sistem pendidikan yang baik dan benar akan menghasilkan individu yang cerdas. Sehingga harga diri dan mental mereka terbentuk, hingga akhirnya mereka tidak ingin menjadi pengemis.

Untuk menangani masalah kemiskinan, tidak hanya bisa diselesaikan dengan memberikan kaum miskin sumbangan uang, baju atau sembako. Mereka perlu dibantu dengan sistem. Sistem yang dibuat untuk mereka. Bukan sebuah sistem yang rumit, yang hanya bisa dimengerti oleh para pejabat dan profesor. Saya, belum dapat merumuskan sistem apa yang cocok untuk menyelesaikan kemiskinan dan mengubah mental pengemis. Yang saya yakini sejak dulu adalah pendidikan merupakan alat untuk mengentaskan kemiskinan, saya percaya prinsip ini.

Anda atau saya, berhak untuk memilih apakah mau memberi pengemis itu sedekah atau tidak. Tapi apapun pilihan kita hendaknya dibarengi dengan niat yang ikhlas, bukan dengan pamrih.

Kembali tersenyum membaca quotes Muhammad Yunus, My greatest challenge has been to change the mindset of people. Mindsets play strange tricks on us. We see things the way our minds have instructed our eyes to see.

Jakarta, 31 Agustus 2010

Deva, who always believe that education is a strong tools to against the poverty.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun