Sudah lama tidak buka Kompasiana, eh ternyata ada tantangan dari admit tentang “apa yang terlintas dalam benak anda, jika mendengar kata Jakarta?”. Saya langsung terpikirkan “cinta”. Yup, terlepas dari Jakarta itu adalah biang kemacetan, polusi, kemiskinan, korupsi, sistem pemerintahan yang masih labil, carut marut kota metropolitan, dunia malam, dsb tapi tidak bisa tidak, saya cinta Jakarta.
Ini bukanlah sebuah perasaan yang mengada-ada. Bahkan baru semalam, saya diskusi dengan salah seorang teman saya mengenai pengalaman saya keluar kota belakangan ini, antara lain ke Kupang, Labuan Bajo, Sukabumi, dan yang baru ini adalah ke Lampung. Setiap saya keluar kota, saya selalu seperti di-recharge. Setiap sampai bandara Soekarno-Hatta saya selalu merasa bersyukur bahwa saya lahir dan besar di Jakarta. Entahlah, apa yang akan terjadi di hidup saya seandainya saya tidak lahir dan besar di Jakarta. Bisa lebih baik atau bahkan lebih buruk dari sekarang.
Merasa bersyukur tinggal di Jakarta dengan segala kesumpekannya, dengan segala individualistas masyarakatnya, dengan segala tipu daya sekitar, dengan segala kemahalannya, dengan segala kekotorannya, dan tidak lupa dengan segala keindahan tata gedung yang semakin gemerlap dari masa ke masa, Jakarta dengan segala fasilitas umum yang menunjang kinerja personalitas atau pekerjaan, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Tanggal 22 Juni 2010 lalu saya sedang tidak di Jakarta dan belum sempat mengucapkan selamat hari lahir yang ke-483 tahun.
Sekarang, dari sudut Kemang, tepat di depan Kemang Village yang sedang dibangun dengan indahnya, saya mengucapkan selamat ulang tahun Jakarta-ku, Jakarta yang penuh dengan kelebihan dan kekurangan. Jakarta dengan segala kemegahan dan kebopengannya. Jakarta yang kucinta, sangat kucinta. Ayo…bangun Jakarta. Selamat sekali lagi.
Deva, 24 Juni 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H