Giliran netizen Lampung yang tergabung di komunitas Tapis Blogger yang malam itu (Minggu, 19/10/2017) diundang ngariung Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Zulkifli Hasan. Muatannya Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan (teman-teman sesama staf MPR/DPR sering menyebutnya "Sosput"), bingkainya "MPR RI Ngobrol bareng Netizen Lampung".
Saya yang biasanya duduk - atau berdiri - di barisan paling belakang sebagai panitia, kali ini menyimak jadi peserta.
Icak-icaknya netijen.
Dapat tugas share ke sekian matra media sosial, dengan tagar tertentu, jumlah postingan sekian, fokus saya justru tertuju pada bagaimana acara ini pertama dikemas dengan lebih baik dibandingkan Sosput-Sosput yang biasanya saya panitiai, mungkin karena subyeknya warganet. Kedua, merchandise-nya juga atuh lebih keren, bukan lagi backpack hitam dengan bordir gede-gede "SOSIALISASI 4 PILAR .." yang isinya buku-buku beurat, bermuatan jauh lebih beurat dari Kamus Oxford (yups, foto ilustrasi tulisan ini adalah flatlay amatiran saya dari oleh-oleh acara di Swiss-Belhotel Bandar Lampung malam itu).
Ketiga, batch Lampung ini jadi terasa spesial karena Bang Zul bawa full team. Tak kurang dari Sekretaris Jenderal MPR RI Ma'ruf Cahyono dan Kepala Biro Humas Setjen MPR RI Siti Fauziah yang diajaknya mengawal acara. Oiya ada juga adik eh abang eh .. ah sudahlah .. itu lho Zainudin Hasan, Bupati Lampung Selatan, adiknya Bang Zul, yang memang so sweet sekali sering tampak bersama setiap abangnya datang ke Lampung.
Mengapa netizen? Zulkifli Hasan yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu tak menampik betapa netizen kini adalah kelompok penekan paling penting yang menentukan opini publik, melampaui ormas. "Ormas mungkin hanya demo saja, tapi kalau netizen sudah bersuara, opini publik terbentuklah," kata warga asli Lampung Selatan ini.
***
Beban Sosialisasi Empat Pilar
Mungkin rada lebay kalau dikatakan Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan adalah beban. Beban buat siapa? Buat MPR RI yang menyelenggarakan? Atau untuk audiens yang saya tak yakin benar-benar membaca tumpukan buku-buku beurad yang memang jadi paket sosialisasi itu? Anggaran S4PK yang terbilang besar dan bahkan sempat diwacanakan akan dipangkas oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani karena tak tercapainya target negara dari tax amnesty itu memang sudah diketuk palu harus digunakan. Dan dihabiskan.
12 digit IDR per tahun, kawan.
Jadi, bebannya ke siapa?
Menurut saya, yang seharusnya paling merasa terbebani adalah penyelenggara negara yang diberi kewenangan menggunakan, dan harus menghabiskan anggaran S4PK. Para anggota MPR RI.
[Bagi sebagian Anda yang masih tertukar kira bahwa S4PK ini kerjaan anggota legislatif/DPR, perlu diingat bahwa ini domain MPR RI. Orangnya bisa saja sama karena anggota DPR - juga DPD RI - sekaligus adalah anggota MPR RI]
Program yang dijuduli sebagai layanan masyarakat untuk informasi-informasi kebangsaan ini sejatinya menjelma mulia karena warga negara, baik ia milenial-kah, penggemar Mahabharata-kah, ditengarai ada yang mulai tak peduli dengan fondasi negara. Pancasila, UUD NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seakan kata-kata yang membumbung tinggi di langit ketujuh.
Mengapa harus jadi beban?
Yah, sebab para pelaksana sosialisasi seharusnya mampu membuat keempat entitas yang membumbung tinggi itu menjadi sesuatu yang wujud dan bisa digenggam. Bukan, bukan ransel atau t-shirt atau buku-buku beuradnya yang bisa digenggam. Namun sepulang audiens dari acara sosialisasi pertama-tama mereka paham apa yang dibicarakan para bapak/ibu wakil rakyat yang terhormat itu, thus lebih jauh lagi tercerahkan, cintanya makin mendalam pada negeri ini. Sekecil apapun, makin ingin berkontribusi.
Makin bangga menjadi seorang Indonesia.
Bukan hanya 'tercerahkan' karena pulang membawa tas bagus dan amplop yang isinya lumayanlah.
Maka sejatinya di situ beban Sosialisasi 4 Pilar berada.
***
Indikator Keberhasilan
Walau mungkin ada upaya untuk mengkreasi sosialisasi dalam wujud yang lebih humanis, berbudaya, dan kekinian, namun entahlah apa indikator yang bisa digunakan untuk menyebut program berbilang barisan angka nol ini berhasil. Jika konon salah satu saja target dari S4PK adalah terciptanya budaya hukum (living law), apa iya selama tujuh tahun penyelenggaraan program ini tampak ada perubahan signifikan kepatuhan hukum di negeri ini?
Ya ya .. tak semuanya salah Sosialisasi 4 Pilar. Variabel ketidakpatuhan hukum bisa banyak.
Mungkin juga saya yang overanalyse beranggapan Sosialisasi 4 Pilar adalah beban, padahal pengampu programnya sendiri fine-fine saja. Ada harap juga sedih jika uang rakyat yang digunakan dalam program ini hanya berputar menjadi mainan politik. Jika setiap tahun ratusan miliar mengalir ke penjuru-penjuru daerah pemilihan, namun tak jua kita teredukasi menjadi warga negara yang lebih baik.
Salam detijen.
Note: Kalau berkenan, sila tengok rumah menulis suka-suka saya di http://www.naivejournalist.id/
Dan berikut juga editan amatiran video cuman pake hape.
Beli soyjoy tuker hyena (bukan endorser, tolong). Â Kalo ente ga enjoy, tolong jangan dihina. Merdekah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H