Candi Borobudur adalah pusat musik dunia. Narasi tersebut berkembang seiring ditemukannya pahatan puluhan alat musik pada relief Borobudur. Dalam konteks itu, seni musik --secara menyakinkan---telah membudaya dalam keseharian leluhur bangsa sedari abad ke-8. Banyak peneliti bahkan telah mengamininya. Kehadiran relief alat musik kemudian jadi wujud penghargaan tinggi lelulur bangsa terhadap seni. Utamanya, dalam keanekaragaman instrumen dan teknologi pembuatan alat musik.
Sejak diperkenalkan oleh Letnan Gubernur Hindia-Belanda, Thomas Stamford Raffles (1811-1814) lewat mahakarya The History of Java (1817), Borobudur langsung memukau mata dunia. Narasi Borobudur sebagai pusat ilmu pengetahuan di pulau Jawa mengemuka.Â
Alhasil, banyak peneliti maupun pelancong dari luar negeri ingin datang dan melihat langsung kemegahan Borobudur. Pelancong asal Inggris Charles Walter Kinloch dan Naturalis Alfred Russel Wallace adalah beberapa di antaranya.
Konon, Charles Walter Kinloch jadi pelancong pertama yang menulis buku tentang petualangannya di Jawa. Hasil eksplorasinya mengelilingi Nusantara dalam dua bulan --Juni hingga Juli 1852-- itu mampu menginspirasi banyak orang untuk datang ke bumi Khatulistiwa.Â
Namun, dari seluruh destinasi yang dituju, Candi Borobudur adalah yang paling dinantikan. Charles Walter Kinloch ingin menjadi orang Inggris lainnya --setelah Raffles-- yang berkunjung ke Candi Borobudur. Sebab, selama ini dirinya menganggap Borobudur laksana dongeng dari negeri khalayan.
"Sejarah maupun dongeng tidak memberi kami banyak informasi berkaitan dengan reruntuhan-reruntuhan unik ini. Semua yang kami tahu mengenai mereka adalah bahwa reruntuhan-reruntuhan tersebut dibangun oleh umat Buddha," ungkap Charles Walter Kinloch dalam buku Rambles in Java: Pengembaraan di Tanah Jawa (2019).
Ia menyebut candi itu dibangun di atas sebuah bukit dan terdiri dari sebuah kubah tengah dan tujuh tingkat teras menutupi kaki bukit. Tiap terasnya membentuk serambi terbuka dan dihubungkan dengan anak tangga dan pintu gerbang.Â
Selain terdapat ratusan patung, Alfred Russel Wallace menyadari jika dua sisi dinding teras semuanya tertutup relief yang dasar yang diukuir pada batu keras. Relief tersebut dikerjakan sampai mencapai tiga mil. Umumnya relief itu dibagi dua: Relief cerita dan relief non-cerita (ornamen, hiasan, atribut).
"Agaknya, jumlah tenaga manusia dan keahlian yang dicurahkan untuk pembangunan piramida terbesar di Mesir tidak berarti bila dibandingkan dengan tenaga yang dibutuhkan untuk menyelesaikan candi --Borobudur-- penuh patung pada bukit di pedalaman Pulau Jawa ini," tulis Alfred Russel Wallace dalam Mahakaryanya Kepulauan Nusantara (2009).
Pandangan Alfred Russel Wallace terkait kemegahan Borobudur bukan pepesan kosong belaka. Â Kerumitan Borobudur dengan relief-reliefnya laksana sebuah kitab. Relief-relief itu seakan mampu menjabarkan pengetahuan akan masa lalu, terutama terkait musik.Â
Yang mana, lebih dari 200 relief yang berada di 40 panil menampilkan 60-an jenis alat musik. Masing-masing alat musik itu berjenis: petik, tiup, pukul, dan membran.
Peruntukkan alat musik pada masa itu --abad ke-8---pun beragam. Alat musik digunakan untuk sajian pertunjukkan, upacara-upacara penting, hingga pengiring tarian-tarian sakral. Senada dengan itu, relief alat musik jadi bukti penghargaan masyarakat Nusantara kepada seni dengan level estetika yang tinggi.
Gambaran itulah yang diungkap oleh Etnomusikolog Belanda, Jaap Kunst (1891-1960). Etnomusikolog yang juga musisi itu menjadi pelopor yang merekam nama-nama ratusan alat musik yang dihimpun dari manuskrip Jawa Kuno.Â
Jaap Kunst melengkapi rekamannya dengan bumbu penjelasan mengenai periode awal mula instrumen-instrumen tersebut hadir di tengah kaum bumiputra. Kunst juga mempelajari ragam instrumen tersebut dari pahatan di dinding-dinding candi kuno, yakni Candi Borobudur.
"Menariknya, beberapa instrumen yang digambarkan di dinding Borobudur tidak bisa ditemukan di Jawa. Namun, masih bisa ditemukan di bagian lain Indonesia dan Asia Tenggara. Sebagai contoh, organ mulut dan beberapa jenik instrumen petik masih bisa ditemukan di Kalimantan dan daratan Asia Tenggara," tulis tokoh penting yang melanggengkan sejarah Gamelan, Sumarsam dalam buku Memaknai Wayang dan Gamelan: Temu Silang Jawa, Islam, dan Global (2018).
Ada juga Dombra (Kazakhstan), Saung Gauk (Myanmar), Ngobi (Algeria), Sakota Yazh (Tamil), Kora (Gambia), Ekidongo (Uganda), Harp, Zeze/Lunzenze (Kenya), One String Zither (Peru), Kse Diev (Cambodia), Kwere (Tanzania), Sheng (China), Saenghwang (Korea), Keledik/Kedire (Indonesia), Sape' (Indonesia), Shio (Japan), Traditional Flute (Europe), Bansuri (India), Medieval Flute (Germany), Daegum (Korea), dan Suling atau seruling (Indonesia).
Peradaban Tinggi Leluhur Bangsa
Antropolog dari Universitas Negeri Makassar, Dimas Ario Sumilih turut angkat bicara mengenai ragam alat musik yang terpahat di dinding Borobudur. Menurutnya, kehadiran pahatan ragam alat musik pada relief candi Borobudur tak ubah cara lelulur bangsa menunjukkan keagungan, kemasyhuran, dan peradaban tinggi pada zamannya. Untuk itu, tak salah jika gaung Borobudur sebagai pusat musik dunia dijadikan bagian penting dalam kampanye pariwisata, Wonderful Indonesia.
"Alat-alat musik yang dipahatkan di sana menunjukkan bahwa masa itu peradaban sudah berjaya tidak hanya menegakkan etika, namun menuntut pada level estetika. Alat-alat musik yang terdapat pada pahatan relief di Candi Borobudur menunjukkan keragaman dan kekayaan instrumen musik yang dikenal, dipakai, dan dinikmati oleh masyarakat dalam tata kehidupannya," cerita Dimas Ario Sumilih saat dihubungi penulis, 10 Mei.
 Pandangan itu serupa dengan yang diungkap oleh salah satu penggagas Sound of Borobudur, Trie Utami: Ketika sebuah bangsa sudah bisa memainkan alat musik, artinya bangsa itu sudah cerdas.
"Penjelasan sakralitas musik terkait Buddha di Indonesia tidak hanya terdapat pada ritus sejarah seperti halnya penggambaran pada relief-relief candi, akan tetapi menjadi akrab dan menjadi tradisi hingga saat ini. Eksistensi gamelan salah satu bukti nyata tradisi umat Buddha di Bali yang bernilai religius karena dipercaya dapat menghubungkan dengan dunia tak kasat mata," tutup Nandhy Prasetyo dalam buku Spiritualitas Dalam Musik (2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H