Mohon tunggu...
Detha Arya Tifada
Detha Arya Tifada Mohon Tunggu... Editor - Content Writer

Journalist | Email: dethazyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sosok Ibu Perkasa: Dari Nyi Ageng Serang Hingga Rasuna Said

6 Desember 2020   23:22 Diperbarui: 7 Desember 2020   13:49 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ibu dan anak/ Unsplash: Dakota Corbin

Bagi seorang anak, sosok ibu adalah sebentuk semangat. Yang paling menarik, ibu jadi sekolah pertama sang anak. Peran ibu dalam mendidik anak-anaknya begitu besar. Juga dalam hal menanamkan nilai-nilai kehidupan. Sederet tokoh bangsa dari Pangeran Serang II hingga Soekarno membuktikan daya magis seorang ibu. Sebab, keberanian dan kesusksesan sang anak, selalu ada ibu perkasa di belakangnya. Sebagaimana ungkapan Belanda menyebutkan: moeder is alles (Ibu adalah semua).

Ungkapan di atas bukan sebuah pepesan kosong belaka. Peran wanita (Ibu) dalam kehidupan di dunia begitu besar. Ia dapat melakukan apa pun. Antropolog, Marvin Harris pernah mengungkap, wanita, secara jasmani dan rohani mampu mengerjakan segala tugas dasar produksi dan keberlangsungan hidup secara mandiri, bahkan tanpa bantuan laki-laki.

"Wanita dapat melakukan setiap pekerjaan yang bisa dilakukan oleh laki-laki, meski kurang efisien bila yang dibutuhkan tenaga kasar. Perempuan mampu berburu dengan anak panah dan busur, mencari ikan, memasang jebakan, dan menebang pohon jika diajari atau diperbolehkan belajar," ungkap Harris dalam buku Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir (2019).

Untuk itu, Presiden Pertama Indonesia, Soekarno selalu menyanjung peranan sang ibu, Ida Ayu Nyoman Rai (1881-1958). Ibunya, kata Bung karno dapat menjelma menjadi apa saja, sama seperti yang diungkap Marvin Harris. Kadang kala menjadi seorang guru, perawat, hingga teman akrab, dan pendongeng.

Terkait menjadi seorang pendongeng, Bung Karno bercerita panjang lebar terkait masa kanak-kanaknya yang tak seperti masa sesudah kemerdekaan. Soekarno kala itu tak mendapatkan asupan cerita-cerita bermutu seperti di televisi atau cerita dari dunia barat (Wild West) yang dibumbui. Alhasil, cerita-cerita kebangsaan dan kepahlawanan selalu diceritakan ibunya kepada Kusno kecil --nama kecil Bung Karno---selagi waktu senggang.

Soekarno dan Ibunya/ Wikimedia Commons
Soekarno dan Ibunya/ Wikimedia Commons
Dominasi kisah-kisah para pejuang kemerdekaan, ditambah kisah ayah Bung Besar, Soekemi Sosrodihardjo yang seorang Jawa mempersunting Ida Ayu (seorang Bali) jadi bumbu masa kecilnya. Kemudian, cerita-cerita itu menjadikan Bung Karno paham terkait Keindonesiaan. Berdasarkan sejarahnya, wanita Bali jarang ada yang mau dipersunting oleh orang luar daerahnya. Namun, sang Ibu mendobrak kekakuan itu dengan berani menikah dengan ayah Bung Karno. Lantaran itulah Bung Karno mendapatkan pelajaran berharga terkait keberagaman dalam slogan "Bhineka Tunggal Ika."

"Semboyan negeri kami Bhineka Tunggal Ika: Berbeda-beda tapi satu jua. Kembali kepada kisah bapakku, betapa sukarnya situasi ketika ia hendak mengawini ibu. Terutama karena ia resminya seorang Islam, sekalipun ia menjalankan Theosofi. Untuk kawin secara Islam, maka ibu harus menganut agama Islam terlebih dulu. Satusatunya jalan bagi mereka ialah kawin lari. Kawin lari menurut kebiasaan di Bali harus mengikuti tata cara tertentu," ucap Bung Karno dikutip oleh Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).

Setelahnya, sang ibu terus memberikan motivasi kepada sang anak. Menurut Bung Karno, julukan Putra Sang Fajar adalah pemberian ibunya. Pada suatu ketika sang ibu membesarkan hati sang anak dengan berkali-kali menyebutkan bahwa Soekarno akan menjadi seorang pemimpin dari Rakyat Indonesia.

"Sambil mendekapkan tubuhku ke dadanya, ia (ibu) memelukku dengan tenang. Kemudian ia berbicara dengan suara lunak, 'Engkau sedang memandangi fajar, nak.' Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing," cerita Bung Karno.

Benar saja, apa yang diucapkan oleh ibunya menjadi kenyataan. Putranya lalu muncul menjadi salah seorang yang menggelorakan semangat kaum bumiputra merebut kemerdekaan Indonesia. Pada akhirnya, Soekarno bersama Mohammad Hatta menjadi proklamator kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Setelahnya, Bung Karno menjadi Presiden Indonesia Pertama, didampingi oleh Mohammad Hatta sebagai wakilnya.

Tak hanya bung Karno yang menyanjung ibunya. Jauh sebelum Indonesia merdeka, Pangeran Serang II pun dibuat kagum oleh peranan sang ibu yang memotivisinya melawan Belanda dalam Perang Jawa (1825-1830). Ibunya lazim dikenal dengan nama Raden Ayu Serang atau Nyi Ageng Serang (1752-1838). Dikutip dari Sejarawan Peter Carey dan Vincent Houben dalam buku Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX (2016), sejarawan tersebut mengungkap Pangeran Serang II menjadikan sosok ibunya sebagai guru sekaligus mentor sang anak melawan kuasa Belanda.

"Setelah pecah Perang Jawa, Raden Ayu Serang angkat senjata demi membantu putranya, Pangeran Serang II, yang disebut-sebut dalam laporan-laporan militer Belanda telah memimpin pasukan berkekuatan 500 orang di kawasan Serang-Demak pada bulan-bulan pertama perang itu," ujar Peter Carey dan Vincent Houben.

Nyi Ageng Serang/ Wikimedia Commons
Nyi Ageng Serang/ Wikimedia Commons
Itulah yang membuat Pangeran Serang II banyak belajar dari ibunya yang seorang ahli dalam siasat dan strategi. Karena kesaktian Nyi Ageng Serang, oleh masyarakat setempat sang Raden Ayu dijuluki "Djayeng Sekar." Maka dari itu, Kiprah Nyi Ageng Serang menjadi bukti bahwa seorang ibu tak hanya mendidik anaknya melampau zaman. Akan tetapi, sang ibu ikut terlibat langsung dalam memberikan pelajaran berharga kepada sang anak.

Terakhir, untuk melengkapi figur ibu perkasa, nama yang mencul berikutnya adalah seorang ibu dan pemimpin gerakan wanita di Sumatra Barat, Rasuna Said. Kesohornya Rasuna Said sebagai seorang ibu tak hanya sebatas memotivasi anak-anaknya dalam berjuang melawan Belanda. Lebih dari itu, Rasuna Said telah mengobar-ngobarkan gerakan politik kepada banyak kaum wanita. Yang mana, gerakan mereka bahkan lebih hebat daripada kaum laki-laki disekitarnya.

Rasuna Said/ Wikimedia Commons
Rasuna Said/ Wikimedia Commons
"Rasuna adalah guru sekolah menengah Islam di Padang Panjang yang dipimpin oleh Rahmah el-Yunussi, dengan jumlah pelajar perempuan lebih dari 1.000 orang. Sebagai pemimpin Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), Rasuna biasa berpidato berapi-api menentang kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda. Untuk membungkamnya, pemerintah Kolonial terpaksa menangkap Rasuna Said," Tulis Rosihan Anwar dalam buku Sejarah "Petite Histoire" Indonesia Jilid I (2004).

Ibu Adalah Pelita Harapan

Sekalipun di era kekinian semangat yang dikobarkan bukan lagi semangat melawan penjajahan, sosok ibu tetap sentral dalam kehidupan. Kiranya, dari ketiga sosok ibu di atas, beberapa kesimpulan dapat ditarik. Pertama, seorang ibu dapat mengamalkan nilai keberanian. Kedua, seorang ibu dapat mengamalkan nilai kejujuran. Ketiga, seorang ibu dapat mengamalkan nilai dari kerja keras.

Pelajaran itu berlaku kepada semua anak-anak Indonesia. Kasih ibu boleh jadi sebuah pesan pembebasan. Berkat sang ibu, seorang anak bebas memilih untuk menjadi apa dan siapa. Kasih ibu bahkan mencangkup semuanya, kepada siapa saja. Bukan hanya milik dia yang kaya, atau dia yang jelata. Juga bukan hanya mereka yang harus pakai blangkon dengan wajah yang kalem.

Pada akhirnya, kita pun menjadi paham arti kebesaran seorang ibu. Kendati sosok ibu bukannya orang kesohor, sebagaimana ungkapan jerman, "Ich bin nichts, und ich mte alles sein." Yang berarti "Saya bukan apa-apa dan saya harus menjadi segalanya." Itulah Ibu. Pesan tersebut cukup jelas. Supaya anak-anaknya semangat untuk terus belajar melawan kebodohan dan kemunafikan. Oleh sebab itu, sepenggal puisi dari Wiji Thukul berjudul Sajak Ibu (1986), dapat mengembalikan ingatan kita akan sosok Ibu.

Ibu menangis ketika aku mendapat susah
Ibu menangis ketika aku bahagia
Ibu menangis ketika adikku mencuri sepeda
Ibu menangis ketika adikku keluar penjara
Ibu adalah hati yang rela menerima
Selalu disakiti oleh anak-anaknya
penuh maaf dan ampun.

signature
signature

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun