Salah satu hal yang tertanam dalam pikiran sewaktu awal berkuliah, ialah saat saya mengikuti mata kuliah Filsafat komunikasi. Yang mana isi dari mata kuliah tersebut sungguh menarik, karena membedah inti sari dari komunikasi itu sendiri, hingga mampu memberikan suatu pemahaman bahwa filsafat hidup manusia ialah sebaik-baiknya untuk memperoleh kebahagiaan.
Saat pertama kali mendengarnya, sungguh saya tak langsung setuju. Bisa jadi tujuan manusia hanya untuk menjadi kaya raya, keliling dunia, hingga mencoba mewujudkan fantasi terliar yang ada dalam tataran pikiran.
Atau bisa saja seperti hal yang dicita-citakan punggawa Band Nirvana, Kurt Cobain (semasa muda) yang tak lain ingin menjadi terkenal, kaya raya dan mati muda.
Tapi, kalau dipikir-pikir benar saja, baik keinginan menjadi kaya, menjadi terkenal, atau mewujudkan fantasi terliar (sebagai manusia). Semua itu sungguh berlandaskan pada satu tujuan dan tujuan tersebut tak jauh dari dua suku kata: menjadi bahagia.
Baik langkah tersebut diraih dalam rangka mengikuti kata hati, atau mengikuti kata orang banyak. Tentu tak masalah. Intinya setiap orang berhak untuk bermimpi dan menjadi bahagia, yang dalam prosesnya (mereka yang ingin bahagia) sudah tentu harus memiliki satu kunci atau medium yang bernama passion.
Memiliki passion sungguh dirasa penting. Fyodor Dostoyevsky saja dalam bukunya The Grand Inquisitor mengungkap: "karena rahasia wujud manusia bukan hanya bagaimana hidup tetapi untuk apa hidup. Tanpa suatu konsepsi yang stabil tentang tujuan kehidupan, manusia tidak akan puas untuk terus hidup."
Oleh karenanya, sebaik-baiknya hidup, adalah hidup yang lebih menyenangkan ketika kita bisa bekerja (bermimpi) sesuai dengan passion, dan setiap orang pasti memiliki passion (juga impian)Â masing-masing. Misal memiliki passion di bidang jurnalistik, seni, diving, fotografi, menulis, bermusik ataupun bidang lainnya.
Ambil contoh Steve Jobs misalkan, ia pernah berkata bahwa: "Orang-orang yang punya passion bisa mengubah dunia menjadi lebih baik."
Bahkan, tak sulit menelusuri kebenaran dari apa yang diucap oleh pendiri Apple tersebut. Ia saja memulai start-up miliknya hanya bermodal passion dan kesungguhan hati dari garasi rumah orang tuanya, yang kemudian, sampai hari ini, kita mengenal Apple sebagai salah satu merek yang paling bernilai di dunia.
Itu baru Steve Jobs. Coba kita beralih kepada Alex Honnold, yang semasa hidupnya mendedikasikan dirinya pada olahraga panjat tebing. Ia yang dibesarkan di pinggiran kota Sacramento (California), yang mana kota tersebut menjadi awalan dimana ia mulai berlatih memanjat batu karang dalam ruangan pada usia 11 tahun.
Karena passionnya (dalam panjak tebing) begitu membuatnya bahagia, kemudian Ia mengambil salah satu keputusan bersejarah dengan cara memilih berhenti kuliah dari Universitas California di Berkeley, guna menaklukkan tebing-tebing raksasa di seluruh dunia.