Namun, jika ditarik ke belakang, ketertarikan Raffles akan Tana Harapan bermula dari percakapannya dengan John Leyden. Itu terangkum dalam buku yang ditulis oleh Tim Hannigan yang berjudul "Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa."
Ia mengungkap: dari "John Layden-lah raffles pertama kali memikirkan Jawa sebagai Tana Harapan."
Oleh karenanya ketiga nama tersebut sudah semestinya layak masuk dalam orang yang menginspirasi saya menjadi seorang petualang sekaligus penulis yang menjadikan nusantara sebagai tempat dimana petualangan dilangsungkan.
Ada yang Berhasil, Ada yang Kurang Beruntung
Kusus Wallace dan Jaap Kunst, kiranya bisa dibilang kedua petualang ini cukup beruntung. Beruntung karena sudah mencicipi perjalanan dari timur ke barat nusantara.
Beruntung karena bisa bersentuhan langsung dengan masyarakat asli (budaya, adat istiadat, seni musik), dan beruntung karena bisa menghasilkan mahakarya berbentuk buku (Wallace dengan Kepulauan Nusantara | Jaap Kunts dengan Music In Java, Nias, Papua)
Namun keberuntungan yang sama tak dirasakan oleh John Casper Layden. Meski berhasil mendaratkan kaki di Nusantara (tepatnya di Batavia) lewat pelabuhan Cilincing, Jakarta Utara.
Ia hanya bertahan beberapa hari setelah Inggris melakukan Invasi ke Batavia, dikarenakan (mungkin) karena infeksi malaria yang ditambah oleh iklim dari Batavia (pada saat itu) tak ramah bagi orang Eropa.
Kematiannya tak saja membuat Raffles menjadi terpukul. Tapi, membuat saya berpikir bahwa tak ada yang pasti di dunia ini. Alias (di dunia ini) manusia selalu hidup berdampingan (bahkan bersahabat) dengan ketidakpastian.
Betualang Tanpa Rasa Khawatir dengan FWD Life