Sampai sekarang, kiranya saya selalu menganggap bahwa menunaikan rukun Islam ke-5 (ibadah haji) sudah tentu sangat berat. Berat karena harus terkendala mahalnya biaya haji, berat karena harus menyiapkan mental (menjaga hati dan kelakuan), berat karena harus mengunggu lama antrian (kouta) berangkat haji yang kini bisa mencapai 15-30 tahunan.
Untuk saya yang masih berusia muda, tentu tak begitu masalah prihal urusan menunggu. Cuman, prihal mengelola dana (karena kemampuan finansial belum mencukupi)Â dan menyiapkan mental, sungguh menjadi masalah besar.
Buru-buru mau naik haji lewat lajur haji Foruda (jalur tanpa antri, dan langsung berangkat tahun itu juga). Perkara mimpi, meminang kekasih idaman, serta memiliki rumah sederhana, semuanya masih berada ditahapan awal eksekusi.
Sehingga mau tak mau, niat menunaikan ibadah haji tertunda, sampai kiranya sudah mampu (kan sesuai dengan anjurannya, naik haji jika mampu). Kalaupun memaksa dengan hanya mengandalkan modal nekat, tanpa persiapan yang berarti jelas hasilnya takkan menjadi berkah. Alih-alih dikejar oleh pahala, malah bisa-bisa saya dikejar-kejar oleh hutang.
Sampai-sampai, kala ada topik terkait keinginan berhaji, saya tak lagi sesemangat dahulu untuk mengulasnya. Karena cukup tahu bahwa hal tersebut takkan bisa terealisasi dalam waktu dekat. Selebihnya, karena memang saya tak begitu cakap dalam mengatur keuangan pribadi (soalnya dahulu punya anggapan kalau kurang bisa minta orang tua).
Beruntungnya, saya pun mendapatkan teman diskusi yang tepat kusus perkara keinginan berhaji. Kebetulan ia merupakan teman dekat saya, yang lahir serta besar sebagai keturunan asli Betawi di Ibukota (Jakarta).
Darinya-lah, saya kemudian paham, jikalau orang Betawi memiliki 3 prinsip penting dalam hidup dalam hal berbudaya dan bermasyarakat. Pertama, Pandai Mengaji. Kedua, pandai bela diri. Ketiga, bila mampu pergi haji.
Hal itu membuktikan orang betawi begitu dekatnya dengan islam. Bahkan ia sering kali menceritakan bagaimana orang tuanya mendidiknya agar selalu mengutamakan pendidikan agama dari pada yang lainnya.
Alias orang tua Betawi tempo dulu lebih mementingkan pendidikan agama daripada pendidikan umum. Itu dibuktikan kala mereka lebih memilih anaknya masuk madrasah atau pesantren ketimbang sekolah umum.
Melalui ceritanya, saya pun bergumam, pantas saja kala itu dr. Snouck Hurgronje (yang datang ke Nusantara pada 1889), mengungkap: "Tidak ada yang lebih religius daripada orang Betawi."
Itulah yang mampu menggerakkan hati saya (walau bukan terlahir sebagai orang Betawi). Berkat ceritanya tentang identitas kebetawiannya, saya seakan mendapatkan energi yang mampu menguatkan niatan untuk berangkat haji.
Jangankan bagi orang Betawi era kekinian, orang Betawi tempo dulu saja kegigihannya menabung tak perlu dipertanyakan. Hal itu seperti yang diungkap Abdul Chaer dalam bukunya "Betawi Tempo Doeloe."
Ia mengungkap, "Mereka dahulu berusaha bekerja keras untuk mengumpulkan biaya itu (haji). Sedikit demi sedikit uang hasil kerja keras itu dicelengin (ditabung). Mereka -- terutama orang Betawi yang tinggal di kampung-kampung jauh dari kota -- belum mengenal Bank. Uang mereka tabung di dalam bamboo yang menjadi pager dinding rumahnya. Setelah dianggap cukup, celengan itu dibongkar."
Kalau orang Betawi tempo dulu bisa, sudah tentu saya yang hidup di era kekinian akan berucap hal yang sama. Hanya dengan berbekal pikiran, niatan dan berucap Bismillah. Insya allah selalu ada Jalan.
Daftar Naik Haji Sedini Mungkin
Berkat niatan naik haji dan juga berkat campur tangan Allah, saya dipertemukan dengan produk keren berupa Tabungan Haji Danamon dari Bank Danamon Syariah. Tak main-main, demi memanjakan nasabah, mereka telah menyiapkan dua skema Tabungan haji yaitu Rekening Tabungan Jama'ah Haji dan Tabungan Rencana Haji IB.
Rekening Tabungan Jama'ah Haji (RTJH) yang hadir dengan prinsip Wadiah (titipan), dan dipersiapkan bagi yang sudah mempunyai modal awal minimal 25 Juta Rupiah, guna dapat mendaftarkan diri ke Kementerian Agama untuk memperoleh nomor porsi via kantor cabang (Bank Danamon Syariah).
Pertama, Mudah. Hal ini karena kita bisa dicicil sampai angka 25 juta (sebagai modal awal memperoleh porsi) dengan setoran rutin bulanan di-debit otomatis dari Rekening Sumber ke Rekening Tabungan Rencana Haji iB.
Kedua, Bebas. Manfaat inilah yang paling saya sukai. Betapa tidak, karena saya dapat menentukan sendiri jangka waktu menabung dan jumlah setoran rutin bulanan. Mulai dari Rp. 300.000 sampai Rp. 5.000.000.
Ketiga, Gratis. Nah, ini dia yang paling masuk akal. Segala prosesnya itu gratis dan saya bisa mendapat pertanggungan asuransi Syariah (selama Nasabah melakukan setoran rutin bulanan), sehingga ahli waris bakal memperoleh santunan apabila terjadi musibah hingga meninggal dunia di kemudian hari sampai dengan Rp 200 juta.
Keempat, Nyaman. Sekalipun dalam prosesnya kita disibukkan dengan ragam hal. Selama rutin membayar ketika dana sudah mencukupi, maka sebuah notifikasi akan dikirim langsung kepada empunya tabungan (sebagai tanda siap-siap daftar haji).
Senang rasanya bisa berkenalan dengan Tabungan Haji Danamon. Oleh karenanya, keinginan saya melaksanakan ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima selangkah menjadi kenyataan.
Untuk sekarang, saya tinggal menyiapkan memperdalam agama (dalam rangka menyiapkan mental) dengan mendirikan sholat wajib (5 waktu), membayar zakat, melaksanakan ibadah puasa, dan menjadi berguna bagi sesama.
Seperti wejangan Nabi Muhammad SAW: "Sebaik-baiknya manusia, ialah yang paling bermanfaat bagi manusia." Semangattt...
info lengkapnya di: disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H