Mohon tunggu...
Detha Arya Tifada
Detha Arya Tifada Mohon Tunggu... Editor - Content Writer

Journalist | Email: dethazyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Naik Haji: Dahulu Berat, Sekarang Mudah

24 Desember 2019   18:53 Diperbarui: 24 Desember 2019   19:14 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sewaktu kecil, saya sering kali diajak oleh kedua orang tua guna menyambut sanak famili yang baru pulang melaksanakan ibadah haji dari tanah suci (Mekkah). Biasanya tradisi ini diawali mulai dari tahap penjemputan mereka yang baru pulang haji, baik di Bandara ataupun di Pelabuhan.

Hal yang menarik itu, sungguh terlihat pada saat saya sudah menjemput, lalu bersama-sama rombongan melangkah menuju rumah (jama'ah haji) untuk melakukan sholat syukur karena dapat kembali ke tanah air, dan larut dalam ajang silaturahmi.

Saat berada di rumah, tak hanya orang-orang yang menjemput saja memiliki kesemptan untuk bersilaturahmi. Terlebih hal yang sama, dapat pula dilakukan orang-orang yang tak sempat menjemput, berbondong-bondong datang guna bersilaturahmi dalam ragam tujuan.

Ada yang ingin mendengar cerita pengalaman berhaji (sembari menikmati buah kurma), ada yang ingin ketularan berkah berbalut (supaya dapat segera melaksanakan ibadah haji), serta ada yang ingin mendapatkan oleh-oleh (seperti air zam-zam, baju muslim, Al Quran, dan lain-lainnya).

Khusus saya (karena sudah sering diajak), momen mendengarkan ceritalah yang paling ditunggu. banyak diantara cerita pengalaman haji, cukup menarik untuk disimak. 

Baik dalam hal keajaiban yang didapat tanah suci, pedagang arab yang jago berbahasa Indonesia, orang-orang baik yang berbagi makanan (kadang duit riyal) kala menunaikan ibadah haji.

Rata-rata kisah yang dituturkan, mengungkap hal-hal bahagianya saja. Sampai suatu ketika ada sesepuh dari sanak famili yang bercerita terkait kakeknya yang berhaji pada masa Hindia Belanda.

Sebuah masa dimana perjalanan haji masih menggunakan kapal laut, terombang ambing dilautan selama 4 sampai 6 bulan, bahkan sampai-sampai menganggap perjalanan ibadah haji pada zaman dahulu itu ibarat pergi berjihad (nyawa menjadi taruhannya).

Tempo itu pun, ungkapnya, orang yang berangkat haji (selama diatas kapal) langsung putus kontak dengan keluarga yang dicintainya karena tak ada alat komunikasi canggih. Senada dengan cerita diatas, cerita yang sama pun turut dituturkan oleh Abdul Chaer (Budayawan)  dalam bukunya berjudul "Betawi Tempo Doeloe." 

Ia mengungkap pandangannya terkait berhaji dimasa kolonial: "Orang yang pergi berhaji tidak tahu apa yang terjadi dengan keluarga di tanah air, dan keluarga di tanah air tidak tahu apa yang terjadi dengan keluarganya yang pergi haji karena pada saat itu belum ada alat-alat komunikasi seperti yang ada dewasa ini."

Belum lagi, cerita terkait orang-orang yang pada masa itu relatif belum mampu secara finansial, dengan modal nekat ikutan-ikutan menunaikan rukun iman ke-5 (padahal sudah jelas gaungnya: naik haji bila mampu). 

Oleh karena belum mampu, kebanyakan (pada saat itu) menggunakan segala daya upaya, kalau kata orang Betawi "dimampu-mampuin." Maka mau tak mau, kebanyakan diantara mereka (sering kali) terlilit hutang. Sampai-sampai, belum sampai Mekkah, persediaan telah habis ditengah jalan.

Akibatnya, mereka (calon haji) hanya berhenti sampai di Sumatra atau Singapura, dan harus bekerja dulu bertahun-tahun mengumpulkan uang untuk melanjutkan perjalanan.

Fenomena seperti diatas turut diungkap oleh M. Dien Majid, dalam bukunya "Berhaji di Masa Kolonial." Ia mengutarakan bahwa:

"Para haji ini seharusnya bukan kategori fakir miskin yang perlu mendapat uluran tangan, tetapi mereka adalah orang yang layak mendapat kredit. Hanya karena sifat 'ceroboh' dan 'penyakit suka berhutang' itulah membuat mereka harus menjual harta benda untuk melunasi hutang."

Tak berhenti sampai situ, mereka yang telah berhasil melaksanakan ibadah haji. Sekembalinya ke Indonesia, tak luput dari masalah. Sebuah masalah klasik yang disebabkan oleh pihak Belanda menjadi waspada kepada orang-orang yang baru menunaikan ibadah haji.

Menariknya, hal itu turut disinggung Thomas Stamford Raffles dalam mahakaryanya "The History Of Java." 

Oleh Raffles ditulis begini "Setiap warga arab dari Mekkah, seperti halnya orang Jawa yang kembali dari perjalanan sucinya, berpendapat bahwa orang jawa mempunyai karakter sebagai seorang penyelamat, dan sebagian besar mempunyai kecenderungan yang mudah dalam memahami sesuatu, bahkan mereka terkadang memiliki kekuatan supranatural."

Fakta tersebut diungkap karena sering kali orang yang sehabis berburu ilmu di tanah suci lazim terlibat dalam perlawanan rakyat yang berasal dari fanatisme agama.

Melalui cerita demi cerita yang sering saya dengarkan, momen bercerita di masa Kolonial-lah yang membuat saya menjadi paham, kalau berhaji zaman dahulu itu sungguh tak mudah, dan banyak tantangan. Nah, lalu bagaimana dengan berhaji dimasa kini?

Lain Dulu, Lain Sekarang
Sebagai generasi milenial yang suka tantangan. Saya bukannya dilanda ketakutan dan keengganan saat mendengar kisah-kisah diatas. Hal yang ada malah membuat semangat saya sebagai generasi muda (pembaharu) untuk berhaji menjadi meninggi.

Ibarat kata pepatah: "Lain dulu, lain sekarang." Kalau dahulu untuk berhaji cukup berat. Sekarang justru pelaksanaan haji sudah begitu dipermudah.

Itu karena saat berangkat sudah menggunakan pesawat terbang (yang berarti tak harus terombang-ambing dilautan selama 4-6 bulan), selama berhaji bisa berkabar kepada keluarga dikampung halaman (berkat berkah kemajuan teknologi), didukung penuh oleh Negara (karena Negara kita mayoritas Muslim), dan yang terpenting untuk berangkat haji, tak ada istilah ceroboh dengan cara memaksakan diri untuk berhaji yang ujung-ujungnya memaksa orang berhutang.

Khusus point terakhir, itu semua terjadi sejak pemerintah (mulai) menunjuk lembaga perbankan syariah sebagai penerima setoran pelunasan ONH atau BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). Salah satunya dengan cara membuka rekening di salah satu Bank yang ditunjuk pemerintah, seperti Bank Danamon Syariah.

bank danamon syariah/ Fanpage Bank Danamon
bank danamon syariah/ Fanpage Bank Danamon
Menariknya, produk tabungan haji dari Bank Danamon Syariah bukanlah jenis tabungan haji biasa. Terlebih Bank ini sudah memiliki produk tabungan haji bukan cuma satu, tetapi dua buah. Yang kiranya sudah disesuaikan dengan kebutuhan faktual calon jama'ah haji.

berhaji selagi muda/ Fanpage Bank Danamon
berhaji selagi muda/ Fanpage Bank Danamon
Pertama, Rekening Tabungan Jama'ah Haji (RTJH). Tabungan ini hadir dengan prinsip Wadiah (titipan), dan dikhususkan kepada calon Jama'ah yang sudah memiliki (atau siap) dana 25 juta sebagai setoran awal, serta langsung mendapatkan nomor porsi haji.

Kedua, Tabungan Rencana Haji iB. tabungan ini hadir dengan prinsip bagi hasil (Mudharabah), dan diperuntukkan kepada mereka (nasabah) yang belum memiliki kesiapan dana sabanyak 25 juta.

Nantinya, mereka bisa memanfaatkan tabungan untuk berhaji ini dengan cara mengangsur selama 6 hingga 72 bulan, dengan nominal setoran dapat dimulai dari 300 ribu hingga 5 juta rupiah per bulan. Kerennya lagi, angsuran tersebut dapat didebit otomatis dari rekening sumber (source account).


Oleh karenanya, setiap nasabah (khususnya saya) bisa mendapat kenyamanan & ketenangan selama menabung. Kalau dahulu berhaji cenderung berat. Kini, berhaji menjadi sedemikian mudah berkat adanya Tabungan Haji inovatif ala Bank Danamon Syariah. 

Saya siap menabung untuk naik haji, Anda?

info lengkapnya di: disini

Referensi Buku:

The History of Java | Thomas Stamford Raffles
Betawi Tempo Doeloe | Abdul Chaer
Berhaji di Masa Kolonial | M. Dien Majid

signature
signature

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun